DISKUSI sore itu sangat menarik dan menggelitik, membahas soal puasa dalam perspektif yang berbeda, yaitu dengan cara pandang antropologi dan budaya. Tema diskusinya sederhana saja, yaitu, “puasa, antara religi dan fenomena budaya”.
Nasrullah, pengajar mata kuliah antropologi dari FKIP ULM, dan Kornelius Karianto, Ketua PGIW Kalsel, mewakili agamawan. Sejak awal diskusi, sudah dihantarkan satu pemahaman bahwa puasa merupakan ibadah tertua bagi umat manusia. Ritual puasa itu dilakukan oleh semua agama dan budaya dari berbagai suku bangsa.
Kornelius menyampaikan tentang sejarah puasa sebagai satu tradisi yang dilakukan agama-agama Ibrahim dan agama di luar Ibrahim. Berbagai jenis puasa disampaikan secara sangat kronologis, termasuk jenis puasa dari agama-agama suku yang ada di nusantara.
Semua puasa tersebut untuk menggambarkan ketundukan kepada Tuhan, dan sebagai bentuk pengabdian serta kerendah hatian individu yang menjalankannya. Tidak bisa dianggap puasa, kalau masih ada sikap sombong, dan tidak peduli sesama, kata Kornelius.
Sementara itu, Nasrullah melihat puasa dari sisi antropologi, dan melihatnya dari cara orang Bakumpai memaknai dan menjalankan puasa. Bakumpai, adalah sub etnik dayak minoritas di tengah etik lainnya yang mayoritas. Dari sisi agama dia mayoritas Islam, sehingga menjadi bagian dari etnik Banjar, namun dari sisi etnik, dia minoritas, maka dapat dianggap bahwa Bakumpai adalah mayoritas yang minoritas. Karena minoritas, cara pandangnya terhadap puasa juga unik.

Setidaknya Nasrullah mengenalkan tiga jenis puasa yang dilakoni etnik Bakumpai;
Pertama, yaotu puasa mamagang, sebagai mengawali puasa. Puasa itu yang penting awalnya. Tidak boleh tidak puasa pada awal Ramadhan, sebab bagian dari penghormatan terhadap bulan tersebut. Setelah itu, sangat bergantung pada kemampuan individu yang bersangkuatan, berapa hari dia dapat menunaikannya. Menjelang akhir Ramadhan, kembali harus berpuasa, sebagai cara maantar bulan, atau mengantar kepergian Ramadhan.
Puasa kedua dia sebut dengan puasa karariang, yaitu puasa dalam tahap belajar, dimulai dari waktu sahur, namun waktu berbukanya ditentukan berdasarkan kemampuan, kalau hanya mampu hingga pukul 10, maka akan buka di waktu tersebut. Karena belajar, besok harinya boleh jadi waktu berbukanya mundur menjadi pukul 11 atau 12. Demikian seterusnya, hingga tahan berbuasa sehari penuh.
Dan puasa yang ketiga disebut dimpah bulan, yaitu puasa sebulan penuh dengan segala bentuk ibadah yang dijalankannya, kata Nasrullah.
Puasa dikenal sebagai satu kewajiban bagi umat Islam yang beriman. Muncul pertanyaan menggelitik, ‘seandainya tidak turun perintah kewajiban puasa, apakah umat Islam akan tetap puasa?’. Tetap puasa, kata Ilham Masykurie Hamdie, Ketua FKUB Kalimantan Selatan dengan penuh kepastian. Ayat tersebut bernada menegaskan bahwa puasa sebagai satu ritual ibadah, sudah diwajibkan kepada umat-umat sebelum Islam. Sebab dulunya sudah diwajibkan, maka yang wajib tersebut menjadi tradisi dari umat manusia. Tidak disebutkan sejak kapan diwajibkannya, mungkin sejak zaman Daud atau bahkan Adam.
Lalu muncul lagi pertanyaan yang cukup menarik, bagaimana dengan orang Banjar, seandainya Islam tidak menjadi agama mayoritas bagi orang Banjar, apakah orang Banjar akan tetap puasa? Tetap puasa, jawab Humaidy, dosen senior UIN Antasari.
Jauh sebelum mengenal Islam, orang Banjar sudah melakukan puasa yang disebut dengan balampah. Bahkan balampah, lebih ekstrem dari pada puasa yang dikenalkan Islam. Waktu balampah lebih lama, dursi waktunya siang hingga malam, bahkan dilakukan dalam beberapa hari, sesuai niat dan tujuannya. Balampah memberikan pemahaman mendalam soal etika permintaan kepada yang maha kuasa.
Bagaimana pengorbanan yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang meminta. Bahwa setiap permohonan dipanjatkan, mesti disertai dengan pengorbanan, sebagai bentuk kesungguhan atas permintaan tersebut.
Balampah adalah bentuk pengorbanan dan kesungguhan. Semakin lama dilakukan, semakin bersungguh-sungguh permohonan yang dipanjatkan. Dan semakin serius suatu hal dimintakan, semakin lama waktu balampah dilakukan.
Maka ketika Banjar mengenal Islam, dan Islam mewajibkan puasa, bagi orang Banjar puasa sudah bukan suatu kendala, sebab balampah lebih berat dari puasa. Tidak perlu memaksa orang Banjar puasa dengan cara memberi sanksi atau apapun yang diatur secara formil. Orang Banjar tahu, agar doa-doa dikabulkan, perlu pengorbanan dan kesungguhan. Bentuk kesungguhan itu bukan hanya dengan menahan tidak makan dan minum, namun juga menidurkan seluruh panca indera – menahan segala nafsu dan keinginan yang merendahkan derajat manusia.@