: tulisan ini disampaikan pada “1 Abad Gusti Sholihin Hasan” – Seminar Kajian Ruang Tata Pamer Lukisan Gusti Sholihin Hasan, 6-7 Mei 2025, di Hotel Aeris Banjarbaru, diselenggarakan Museum Lambung Mangkurat Prov Kalimantan Selatan.

WACANA seratus tahun atau satu abad untuk mengevaluasi satu rentang perjalanan manusia, adalah wacana yang lazim dan layak untuk menilai kesinambungan pencapaian dan tantangan serta masa depan bagi sebuah gerak kebudayaan manusia. Apa saja yang telah terjadi, kenapa dan bagaimana tantangan kehidupan yang dijalani, serta akan bagaimana nasib manusia dan kreativitas yang dilakukannya ke depan. Terkait kreativitas, manusia adalah makhluk yang tak pernah diam dan selalu melakukan sesuatu untuk terus bertahan hidup menghadapi tantangan-tantangan di hadapannya. Dalam hal ini ia memiliki ingatan kolektif yang dapat membantunya menganalisa tantangan tersebut dan mengolahnya menjadi suatu “bahan” untuk diolah lebih lanjut dengan kecerdikan serta berbagai usaha mengatasi dan melampaui persoalan hidupnya.

Museum menyimpan ingatan kolektif masyarakat dan kebudayaan yang mengitarinya. Dalam rangka melihat rekam jejak kebudayaan, museum dapat menjadi referensi mendefinisikan atau setidaknya membatasi kerangka berpikir yang abstrak untuk keluar dari kungkungan rutinitas atau tawaran “berpikir” yang terlampau banyak dan sesak. Museum dalam detail-detail koleksinya dapat menawarkan suatu gagasan atau titik tolak dari kejumudan rohaniah berpikir tadi. Anggaplah, kita merasa stagnan dalam melihat perkembangan seni rupa Kalimantan Selatan, atau di sisi lain merasa mendapatkan “kebaruan” kreativitas padahal nyatanya tidak demikian, dengan melihat rekam jejak yang tersurat pada benda-benda koleksi beserta wacana yang menyertainya kita dapat mengambil langkah strategis yang menentukan bagi kesinambungan atau kontinuitas jejak berikutnya. Jejak personal maupun kolektif, yang berarti bagi linieritas garis kemajuan seni rupa Indonesia, khususnya di daerah Kalimantan Selatan.

Melalui pengamatan terhadap benda-benda museum mungkin terasakan kesunyian yang mendalam. Namun begitulah seringkali, suatu gerak kemajuan yang berarti dimulai dari suatu kesunyian dan refleksi yang baik atas amatan-amatan yang objektif. Bahkan gerak melingkar sekalipun menghasilkan efek sentrifugal yang dapat memberi pengaruh lebih luas. Tak terkecuali dalam merefleksikan satu abad Gusti Sholihin Hasan kali ini, di mana dalam beberapa tahun terakhir terasa aktivitas seni rupa di Kalimantan Selatan kelihatan makin dinamis.

Suasana saat seminar berlangsung di Hotel Aeris Banjarbaru.

Dinamika Seni Rupa Kalsel
Saya akan mengulang kembali beberapa hal yang telah pernah saya kemukakan, dengan beberapa tekanan, terkait perkembangan seni rupa atau seni lukis di Kalimantan Selatan. Seperti diketahui, masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan adalah masyarakat religius Islam yang mayoritas cenderung ortodoks sedemikian sehingga pada suatu periode tertentu lukisan atau karya seni rupa tidak mudah untuk diterima dalam perbincangan kebudayaan, apalagi jika terkait dengan penggambaran makhluk hidup. Hal ini beralasan, dalam beberapa diskusi publik di masa lalu yang semacam ini mengemuka dipertanyakan terkait hukum agama Islam (syariat). Mungkin sekarang sudah tidak terlalu terasa seiring pengaruh media sosial yang mengglobal, namun ketika ada pembangunan monumen kota di masa lalu muncul suara-suara kecil maupun lantang yang mempertanyakan bentuk tiga dimensionalnya berkaitan dengan pemikiran keagamaan orang Banjar. Juga saat diskusi tentang sendatnya laju perkembangan seni lukis Kalsel di sebuah pameran, ada yang menghubungkannya dengan keyakinan beragama orang atau masyarakat Banjar. Meski begitu, kita tak dapat menghindari “fakta” sejarah terkait catatan Claire Holt yang menyebut bahwa raja-raja Banjar sejak abad ke-17 telah menerima hadiah lukisan-lukisan ‘modern’ dari misi dagang Belanda. Belum termasuk, di antaranya pula, cerita lisan bahwa Syekh Arsyad al-Banjari yang dikenal sebagai perancang sistem hukum kerajaan yang berlandaskan syariat Islam dikatakan pernah melukis potret dirinya.

Sejauh telusuran yang pernah dilakukan, sejarah seni lukis modern Kalimantan Selatan dimulai dari kiprah Gusti Sholihin yang belajar melukis dari dua orang Jepang di masa revolusi pra-kemerdekaan Indonesia dan sebelum proklamasi penyatuan daerah Kalimantan ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia 1949. Tidak jelas benar siapa Kasa dan Kawazura yang dimaksud sebagai mentor Sholihin tersebut, namun bukti bahwa ia pernah belajar melukis dalam suatu metode klasik dibuktikan melalui karya drawing potret dirinya yang dibuat pada tahun 1946 dan sebuah lukisan alam benda yang dibuat pada tahun 1947. Kedua lukisan ini saat ini ada di rumah keluarga (keponakan-keponakan) Sholihin secara terpisah.

Lukisan potret diri tampak dibuat menggunakan charcoal (arang) di atas kertas, sedangkan lukisan alam benda dengan gaya naturalistik menggunakan cat minyak di kanvas. Kedua lukisan dibuat sangat baik dengan pendekatan realistik klasik, baik aspek pencahayaan dan gelap terangnya, postur menyamping dan susunan objeknya-objeknya yang cukup detail. Hal ini akan berbeda sekali dengan lukisan-lukisannya yang lain pada koleksi Museum Lambung Mangkurat, yang dibuatnya di Yogyakarta antara tahun 1940-an akhir hingga tahun 1950-an. Lukisan-lukisan koleksi museum tampaknya merupakan periode gaya berikutnya, hasil dari pergaulan dan interaksinya dalam dunia seni rupa modern Indonesia yang lebih luas, yang cenderung impresionistik bahkan ekspresif.

Ada tiga orang yang saya kenal pernah bersentuhan langsung dengan Sholihin. Pertama, Misbach Tamrin, ia adalah murid dan rekan Sholihin ketika mendirikan Tunas Pelukis Muda (TPM) di tahun 1958. Saat itu Misbach berstatus pelajar dan Sholihin datang mengajar di SMA Mulawarman atas ajakan temannya, Gusti Iberahim Aman yang merupakan guru di mana Misbach sekolah tersebut. Sholihin tinggal di Banjarmasin ketika itu kurang lebih setahun saja, lalu balik ke Yogyakarta lagi karena proyek monumen yang akan dikerjakannya tak kunjung jadi dikerjakan. Dibandingkan dua pelukis lainnya nanti, Misbach lebih intens bertemu dan belajar dari Sholihin, ia bahkan kemudian melanjutkan studi ke Yogyakarta atas rekomendasi gurunya ini. Karya-karya awal Misbach juga sangat dipengaruhi Sholihin dalam gaya impresionistik, lalu kemudian berubah karena pengaruh pergaulan dan studi di ASRI Yogyakarta. Yang kedua, Noorman Semawi atau Noor S, ia adalah seorang guru dan pelukis. Ia mengaku tidak terlalu intens berhubungan dengan Sholihin. Hanya karena ketika masa kecilnya di kampung Sungai Jingah, Banjarmasin, ia bertetangga dengannya sesekali ia pernah melihat langsung Sholihin melukis, dan itu menginspirasinya mengembangkan bakat melukisnya. Noorman karena profesinya kemudian sebagai guru, akan cukup berpengaruh pada perkembangan apresiasi seni rupa anak-anak didiknya. Di luar kiprahnya sebagai guru ia juga melukis secara profesional sehingga dikenal sebagai perupa/pelukis Kalimantan Selatan yang memiliki pengaruh pada masanya. Beberapa pelukis Kalimantan Selatan periode berikutnya adalah murid-muridnya.

Yang ketiga adalah Adjim Arijadi. Ia lebih dikenal sebagai dramawan Kalsel yang sangat berpengaruh, karena sempat kuliah di ASDRAFI Yogyakarta dan memiliki jaringan yang cukup luas dalam dunia perteateran tanah air. Adjim tidak pernah bercerita langsung kepada penulis, apakah ia pernah belajar dari Sholihin, tapi tampaknya—dari tulisannya yang ada di katalog mengenang 40 tahun Sholihin—ia pernah bersentuhan pula dengannya, entah ketika di Yogyakarta atau Banjarmasin. Dari tulisan itulah, kita dapat mengenal pula bakat Sholihin yang lain dalam dunia teater maupun kepenulisan. Adjim selain dikenal pakar dalam teater juga melukis, dan ia aktif mengikuti pameran-pameran sejak tahun ‘70-an hingga menjelang wafatnya di tahun 2000-an. Karena itu pula, melalui Sanggar Budaya yang didirikan dan dikelolanya ia memiliki pengaruh dalam pertumbuhan seni lukis Kalsel. Seperti diketahui, Sanggar Budaya tidak hanya aktif di bidang teater, namun juga seni-seni lainnya termasuk seni lukis.

Kecuali Misbach, dua lainnya dari tiga orang di atas, sudah meninggal beberapa tahun yang lewat. Mereka memiliki pengaruh dalam perkembangan seni rupa di Kalimantan Selatan, aktif melaksanakan dan mengikuti pameran-pameran lukisan, baik di Kalimantan Selatan maupun di luar Kalsel. Misbach bahkan lebih jauh dikenal sebagai bagian dari catatan sejarah seni rupa Indonesia secara nasional mengingat perannya bersama kelompoknya ketika di Yogyakarta, Sanggar Bumi Tarung. Masing-masing dari mereka memiliki pengaruh di lingkarannya, besar kecilnya bagi pertumbuhan seni rupa modern; seperti Noorman melalui anak didiknya di sekolah ia mengajar dan pergaulan kesenian secara umum, Adjim melalui Sanggar Budaya dan pergaulan keseniannya, serta Misbach melalui nama besar dan tulisan-tulisannya yang masih up-to-date hingga sekarang. (Bersambung)