SAYA tahu bahwa sebuah cerita, terutama yang bagus, pantang sekali dimulai dengan kalimat pada suatu pagi ala dongeng klasik. Tetapi cerita ini memang benar-benar harus dimulai dengan cara seperti itu: pada suatu pagi, pukul tujuh lebih kurang, saya memacu motor dari rumah menuju Banjarbaru, untuk kemudian dilanjutkan dengan perjalanan mobil di siang harinya menuju Palangka Raya, pada sebuah festival kesusastraan yang dihelat di kota tersebut: Dialog Lima Sungai, 30 Oktober sampai 1 November 2025.

Di sebuah desa tidak jauh dari titik mula berangkat, saya bertemu dengan seorang anak, usia kelas tiga atau empat sekolah dasar, berjalan di tepi pasar yang tutup, dia menggerakkan tangannya seperti sedang mengatur lalu lintas atau parkir, atau entahlah, lengkap dengan peluit di mulutnya. Saya tertawa dan memikirkan kejadian tersebut di sepanjang dua jam perjalanan dari rumah hingga kemudian tiba di Kota Banjarbaru.

Betapa lucunya hidup ini, saya pikir, kalau anak yang saya temui itu punya cita-cita, atau barangkali tujuan, atau sesuatu yang amat ia senangi, adalah menjadi tukang parkir. Mulanya saya sempat membayangkan akan menceritakan ini kepada H.E. Benyamine, rekan satu perjalanan saya ke Palangka Raya, tetapi ketika tiba di titik penjemputan, di Mingguraya, pukul sepuluh siang, saya terlupa dan begitulah hal tersebut tidak pernah terjadi hingga hari ini, Senin, 10 November 2025, lebih dari seminggu kemudian.

Dialog Lima Sungai, Festival Sastra Palangka Raya #1 2025 yang saya datangi adalah event susastra pertama kota tersebut, atau bahkan Kalimantan Tengah secara umum, dengan cakupan yang cukup luas. Bertema Meneguhkan Kembali Sungai Sebagai Syiar Sastra Masa Kini dan Akan Datang, mereka–para pelaksana–menghimpunkan sejumlah penyair nasional dalam sebuah buku antologi untuk kemudian diluncurkan secara simbolis di akhir acara, di sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota. Saya bukan bagian dari penyair yang beruntung itu. Sejujurnya saya bahkan tidak tahu alasan lain kenapa saya datang ke festival tersebut jika bukan semata karena rasa penasaran saya bagaimana tonggak sejarah kesusastraan di Palangka Raya akan berdiri.

Benar.

Saya yakin, dan tentu saja berharap besar, Dialog Lima Sungai dilaksanakan di tahun-tahun berikutnya dengan kualitas yang akan terus membaik seiring berjalannya waktu, sebab saya pikir festival ini, secara konsep, sungguh menarik dan sayang kalau harus berakhir di tahun pertama kelahirannya. Lahir dan mati. Sungguh bukan cara yang layak untuk merayakan sastra di bumi yang dianugerahi lokalitas kebudayaan begitu rupa, untuk sebuah wilayah yang disebut-sebut sebagai Tanah Dayak Besar sejak era kolonial.

Ketua pelaksana, Imam Qalyubi, dalam salah satu perjalanan ketika mengantar kami menuju penginapan, bicara banyak soal kenapa konsep lima sungai ini dipakai, utamanya kepada H.E. Benyamine dan Hudan Nur. Saya, bersama seorang kawan dari Banjarbaru lainnya, Nafidz, duduk di bangku belakang dan berusaha mencatat dalam kepala apa yang mereka diskusikan, kira-kira begini: bagi Imam Qalyubi, frasa lima sungai yang dicatut menjadi nama festival ini bukan semata simbol yang mewakili sungai-sungai besar di Kalimantan Tengah, ia menghendaki sungai di sini dibaca sebagai jalur pertemuan lintas kebudayaan, kepercayaan, bahasa, dan seluruh peradaban dari masyarakat adat yang mendiami sungai-sungai di wilayah itu. Imam menyebutkan lima sungai tersebut, tetapi saya lupa mencatatnya dan begitulah saya menduga-duga saja kemudian ini, lima sungai itu kalau tak salah adalah: Kahayan, Kapuas, Barito, Katingan, dan Mentaya. Kelima sungai tersebut merupakan ruang hidup bagi sub-suku dayak yang berbeda-beda, dan karena itu, frasa lima sungai  jadi terasa sangat masuk akal jika disandingkan dengan kata dialog di awalnya. Di kesempatan lain ia juga menyinggung soal integrasi sastra dan sungai sebagai denyut nadi kehidupan masyarakat itu sendiri.

Saya menyukai gagasan itu. Sebagai anak kemarin sore dalam dunia sastra, saya merasa dialog semacam ini sangat diperlukan untuk menyelaraskan antara seni dan kehidupan kultural masyarakat sehingga tidak tercipta jarak antara keduanya. Dengan kata lain, kita amatlah perlu untuk bertemu-sapa di sebuah sungai yang menjadi titik temu persilangan bahasa, pengalaman, kepercayaan, dan kebudayaan dari hulu hingga ke hilir. Sebab menurut saya keterpisahan seni dari tempat asalnya, apapun bentuk kebudayaan yang tempat itu miliki, adalah awal dari keruntuhan pelaku seni itu sendiri.

Saya yakin begitu.

Namun, keyakinan semacam itu sering kali diuji oleh kenyataan. Saya menyadari betapa tidak mudah menjadikan sungai, dengan segala keterbukaannya, sebagai model bagi kehidupan kesenian. Dalam praktiknya, sungai justru sering diubah menjadi pagar halus yang memisahkan antara pusat dan pinggiran.

Mungkin karena itu saya merasa ada sesuatu yang belum selesai dari festival ini. Ruang yang semestinya menjadi pertemuan lintas arus, justru tampak seperti danau yang tenang, seperti sungai Kereng Bangkirai yang hitam itu. Saya tidak ingin menyalahkan siapapun; setiap perhelatan pertama tentu punya keterbatasannya sendiri. Tetapi perasaan itu menempel, seperti arus yang tersumbat  batang-raba di tengah riam, hingga lantas catatan ini saya tulis dengan segala keterlambatannya.

Saya datang ke Palangka Raya pada pukul empat sore, Kamis, beberapa saat sebelum kota tersebut dilanda hujan hingga malam dan besok harinya. Lepas magrib, saya dan teman-teman berangkat dari penginapan menuju tempat pembukaan acara tersebut di Rumah Jabatan Wali Kota. Dengan bercampurnya dingin-banyam hujan di luar dan mesin pendingin di dalam ruangan, tempat itu serasa membeku seiring waktu. Saya tak bisa bertahan lebih lama di sana. Bersama Nafidz kemudian saya melipir ke pasar rakyat untuk bertemu beberapa rekan komunitas yang selama ini hanya saya kenal lewat sosial media. Aneh sekali, tempat itu terasa lebih hangat meski terbuka belaka, dan hujan masih juga turun, saya memesan segelas kopi dan berbincang dengan orang-orang di sana perihal Dialog Lima Sungai. Pikir saya, sebagai komunitas sastra dan literasi, orang-orang di sana pastilah tahu dan memutuskan untuk tidak terlibat. Bagaimanapun, itu sebuah keputusan. Tetapi banyak dari mereka tidak tahu festival yang saya bicarakan meski dari tempat itu ke Rumah Jabatan Wali Kota–tempat acara berlangsung–hanya sejauh dua puluh ribu grab car saja. Komunitas-komunitas tersebut, untuk tak menyebutkan salah satu di antara nama-nama mereka, menghidupkan literasi kota itu dengan cara yang lain: mereka kerap mengadakan diskusi buku, pelatihan menulis–baik fiksi maupun non fiksi–dan membicarakan sastra serta literasi dari sudut pandang berbeda.

Dari sudut pandang mereka saya melihat jarak yang lebar bagaimana sastra dari sudut kota Palangka Raya, sastra yang tidak dirayakan dengan cara megah di gedung berpagar pemerintahan. Saya menyebut dua nama besar yang menjadi narasumber di Festival Dialog Lima Sungai: Sosiawan Leak dan Sutardji Calzoum Bachri. Mereka kenal dua orang ini, tetapi tidak lebih mengenal daripada nama-nama mentor menulis yang mengajari mereka di meja makan warung-warung di pasar tersebut. Saya kerap kali mendengar anggapan negatif soal festival sastra pertama kota tersebut dari mulut mereka; dan, rasa-rasanya, sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa pendapat itu valid meski keliru belaka.

Satu kegiatan di acara festival sastra Dialog Lima Sungai, Palangka Raya.

Festival Sastra Dialog Lima Sungai berlangsung dari pagi hingga sore, Jumat dan Sabtu. Hari jumat berada di kampus, di sana saya bertemu banyak anak muda–kebanyakan mahasiswa. Hari Sabtu kami dibawa mengarungi Sungai Hitam Kereng Bangkirai dari pagi ke siang, lalu dilanjutkan dengan acara peluncuran buku dari sore hingga malam untuk penutupan acara di Palangka Raya Mall. Di kedua tempat tersebut, benar, memang ada banyak sekali anak muda. Dan saya rasa cukup terbuka juga. Tetapi, saya kira, untuk meneguhkan kembali dialog sungai dalam sebuah festival sastra yang mengangkat tema begitu besar, ke depannya akan sangat penting untuk merangkul komunitas sastra dan literasi di wilayah tersebut, kalau tak memungkinkan ke seluruh Kalimantan Tengah, maka tak apa misalnya bekerjasama dengan komunitas-komunitas lokal di kota itu saja.

Saya mencintai sastra. Sungguh. Barangkali usia perasaan itu memang baru seumur jagung. Tetapi saya mencintai sastra dan berharap festival-festival kesusastraan (juga kesenian secara umum) terus tumbuh dan berkembang, termasuk juga Dialog Lima Sungai di Palangka Raya.

Sebab itulah, alih-alih menulis ini dengan semangat marah atau kebencian tak berdasar, saya hanya berharap jarak antara sastra yang digaungkan di festival tidak terlalu jauh dengan sastra yang dihidupkan dari lentera pasar tradisional–yang, kita tahu, jauh dari hingar-bingar. Peleburan antara keduanya saya kira akan jauh lebih berharga daripada sekadar mengumpulkan penulis dari luar daerah untuk datang ke sana dan melihat bagaimana kota itu bekerja. Dengan kata lain, keberjarakan antara satu dan yang lain hanya menumbuhkan bibit idealisasi sastra yang berbeda, yang terkungkung pada perspektif sempit, dalam dunia yang itu lagi itu lagi.

Saya kira, dalam hal ini, persoalan anak kecil si peniru tukang parkir yang saya singgung di awal tadi cukup relevan: ruang hidup yang sempit, sudut pandang terbatas, terjebak pada dunia ideal yang dibentuk oleh lingkungannya bertumbuh. Saya tahu sastra tidak berakar dalam tanah yang selalu sama, tetapi memperluas cakupan sudut pandang bagaimana sastra berkembang adalah hal lain: Palangka Raya perlu itu jika hendak meneguhkan diri sebagai kota sastra.

Baiklah, itu saja, saya kira. Sebagai penutup, karena tak sempat mengirim puisi untuk Dialog Lima Sungai, maka izinkanlah saya mengakhiri catatan pasca-arus ini dengan puisi seadanya yang saya tulis ketika berada di buritan kapal saat menyusuri Sungai Hitam Kereng Bangkirai:

 

BANGKAI-RATIK

 

sepasang mata sungai

mengintip di antara batang rasau

hitam ulak, merah air

mengapungkan kapal yang

menyusur-mandusur

risau sebangau.

 

di buritan langit

awan putih kecil jatuh.

seorang pemancing lewat

kelotok kecil, berambut ikal

 

mula dermaga kereng bangkirai

telah biru aku di hadapan

umbul kumpai: di kail

mana seekor ikan besar

yang dimakan leluhur ikau itu

kembali ditarik-bangkit;

 

di dapur mana ia akan dimasak

lalu menjelma manusia

yang membangkai-ratik?

 

Kereng Bangkirai, 2025