SALAH satu ciri, atau tanda, seseorang itu baik adalah saat meninggal dunia. Bila khalayak merasa sangat kehilangan atas meninggal dunianya seseorang, maka almarhum yang bersangkutan dapat dipastikan adalah orang baik. Dan itu terjadi pada almarhum YS Agus Suseno.
Mas Agus, demikian aku biasa memanggil. Kak Agus, begitu kakawanan Banjar mengiyau sidin. Adalah penyair atau sastrawan yang benar-benar totalitas dalam kepenyair-sastrawanannya. Beliau totalitas dalam berkarya. Artinya, totalitas beliau selain berkarya di bidang kepenyair-sastrawanan, sekaligus jua beliau mencari nafkah ya di situ. Benar-benar totalitas. Los dol.
Coba Anda teliti, adakah profesi utama beliau? Sehingga kepenyairan atau kesastrawanan dijadikan profesi sampingan alias “ban serep”, sebab takut karena belum menjamin bakal “ngebul dapur” pelakunya?
Tidak. Paranoid klasik seperti itu tidak berlaku bagi seorang YS Agus Suseno. Kenapa demikian? Karena sejatinya Agus adalah pelaku tarikat. Tarikat totalitas keyakinan.
Iya, keyakinan Agus sangat totalitas. Termasuk totalitas yakin soal kepastian jatah rezeki.
Agus totalitas yakin akan kemaha-kayaan dan kemaha-murahan Tuhan terhadap kesungguh-sungguhan hambaNya. Sehingga kepenyair-sastrawanan Agus, sangatlah total. Sangatlah sungguh-sungguh. Sangatlah tidak main-main. Karena kesungguh-sungguhan itu adalah kejujuran.
Maka tak heran, Agus berkaryapun sangatlah sungguh-sungguh. Sangatlah jujur. Sangatlah totalitas. Tak peduli meradang kawan. Tak peduli makin benci lawan.
Tentu saja, selain totalitas dalam menelorkan karya-karya kritis edukatif bermutu. Totalitas Agus juga berbentuk “perilaku empiris kritis” terhadap kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada rakyat. Baik penguasa pusat maupun penguasa daerah. Beliau totalitas “teriak-lawankan”.
Bahkan totalitas kepenyair-sastrawanan beliau, “dibuktikan” melalui pilihan diksi yang “kada talalu mangalihi”. Terutama pada karya-karya puisinya. Pilihan diksi puisi-puisinya cenderung lugas. Cenderung memilih diksi yang gampang dipahami publik.
Iya, totalitas kepenyair-sastrawanan seorang YS Agus Suseno tak terbantahkan. Totalitas pada keyakinan, etos kerja dan interaksi sosial. Pada setiap momen sastra apapun dan di manapun, tak terkecuali momen Aruh Sastra, totalitas ringan tangan Agus sukar untuk dibantah. Meskipun ada beberapa episode Aruh Sastra, beliau “puasa” terlibat. Namun ketidak-terlibatan beliau tersebut adalah wujud konsekuensi dari pilihan sikap totalitas beliau.
Iya, totalitas kepenyair-sastrawanan YS Agus Suseno ditempuh dan ditempa oleh perjalanan yang panjang. Tidak instan. Totalitas itulah, yang memperjalankan beliau musti duduk sejajar selaku narasumber. Duduk di depan di acara-acara seminar bersama beberapa narasumber lainnya yang bergelar akademik mewah. Sedang Agus, tak perlu sebijipun gelar sarjana untuk duduk bersama di singgasana sastra.
Iya, totalitas kepenyair-sastrawanan YS Agus Susenolah, yang membuat bicaranya selalu “ngeciwis” alias “lantih” tak kehabisan bahan. Tahan berjam-jam untuk bicara soal sastra yang keniscayaannya berdialektika dengan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan budaya, yang —sedang, akan, bahkan telah— berlangsung di masyarakat.