(Tulisan pengantar Pameran “Sampai Batas Tarung”, 21 Juni – 12 Juli 2024, Galnas, Jakarta)

“SENIMAN adalah warga negara yang tidak pernah melawan negara” (Sri Sultan HB IX)
Sebuah pameran dari Sanggar Bumi Tarung (selanjutnya kami sebut SBT) pada Desember 2023 di Bentara Budaya Yogyakarta lalu, diwacanakan sebagai “Pameran Terakhir dari SBT”. Pameran yang dirancang selama hampir dua tahun oleh Misbach Tamrin dan Djoko Pekik–dan kebetulan saya menjadi saksi dari pembicaraan dua tokoh SBT tersebut–rencananya akan menghadirkan Amrus Natalsya, Djoko Pekik, dan Misbach Tamrin. Namun, lima bulan sebelum pameran terjadi, Djoko Pekik mendahului dipanggil Yang Maha Kuasa, mendahului dua sahabatnya ini. Akhirnya diambillah sebuah tajuk “Dua Petarung: Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin”, dalam pameran yang digelar SBT sebagai pameran pertama sekaligus terakhir di kota dimana SBT dibentuk, yaitu Yogyakarta. Sebulan setelah pameran tersebut, Amrus Nalasya menyusul Djoko Pekik menghadap Yang Maha Kuasa. Sebenarnya, masih ada dua orang lagi anggota SBT yang masih hidup, yaitu Gultom dan Ginanjar. Akan tetapi keduanya sudah lama tidak berkarya karena sakit. Dalam pameran “Dua Petarung”, Amrus menghadirkan sederet lukisan bertajuk “Terima Kasih untuk Ilmuwan”, semenntara Misbach Tamrin menghadirkan beberapa karya yang melukiskan situasi Indonesia saat ini, di antaranya merespon kepindahan ibukota negara ke IKN, Kalimantan.

Pada pameran kali ini, di mana anggota SBT hanya tersisa Misbach Tamrin, sebagai pendekar terakhir SBT, tampil membawa SBT hadir kembali dalam sebuah pameran, dengan tajuk “WASIAT RAHASIA”, yang digelar pada 21 Juni-12 Juli 2024 di Galeri Nasional Indonesia. Pada pameran ini, dihadirkan karya-karya Amrus berupa patung dan relief kayu. Karyanya sangat kuat melekat dalam ingatan kita, di mana etos kerja masyarakat hadir dari tajamnya tatah dan ritme pukulan palu, menjadi satu irama penuh makna; Djoko Pekik hadir dengan lukisan terakhirnya, potret diri yang berjudul “Baju Merah“, 2023. Cukup menggelitik, lukisan ini seolah menggiring ingatan kita pada jargon “Jas Merah”. Mungkin juga, Baju Merah yang dimaksud Djoko Pekik adalah wasiat yang terselip: “Bangunlah dan Berjuang Membuat Sejarah”. Selain Amrus Natalsya, Djoko Pekik, dan Misbach Tamrin, dalam pameran SBT kelima ini juga menampilkan karya dari perupa SBT lainnya: Isa Hasanda, Hardjijo Pudjanadi, Gumelar, Gultom, Puji Tarigan, Mulyono. Dan yang cukup menarik adalah, pada pameran kali ini, SBT membawa serta beberapa perupa muda yang lahir di masa Orde Baru, dari Banjarmasin, Yogyakarta, dan Jakarta. Mereka adalah Hajriansyah, Sandy Firly, Badri, Jaya Sidhi Sugiwan, William, Melati Yusuf, Deva Silva, Diah Yulianti, Munir, Bob Arif, Didan Natalsya, dan Wiwid.

Mendengar kata “wasiat rahasia”, yang terbersit dalam benak kita tentu identik berkaitan dengan pembagian harta warisan. Akan tetapi “wasiat rahasia” yang ditampilkan kali ini adalah harta yang dibagikan kepada publik seni rupa Indonesia–sebuah sejarah dan pengetahuan yang layak kita catat bersama–wasiat dari sebuah ideologi dan pandangan politik dalam bentuk karya lukisan sebagai jalan pedang SBT.

Misbach Tamrin dan penulis saat pers tour, Jumat (21/6/2024), jelang pembukaan pameran di Gedung D, Galnas, Jakarta.

Realisme Revolusioner
Mengulik sejarah SBT yang berdiri pada tahun 1961 dalam lingkungan Kampus ASRI Yogyakarta oleh sekelompok seniman muda ASRI, yang mana mereka juga bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Dapat dikatakan keberadaan LEKRA sejalan dengan semangat SBT. Peristiwa 1965 membuat SBT berusia cukup pendek, meskipun begitu gaung karya-karya SBT masih tetap mengisi sejarah dan perkembangan seni rupa hingga saat ini. Banyak catatan tentang ekspresi realisme sosialis dalam karya-karya seniman yang tergabung dalam SBT di Yogyakarta, 1961, dengan menelusuri karya-karya mereka dari pameran pertamanya di Balai Budaya tahun 1962. Dan jargon “realisme revolusioner”, SBT terdengar begitu heroik. Apakah ini adalah pandangan politik mereka?

Realisme revolusioner yang didengungkan kembali oleh SBT dalam pameran terakhir kali ini, bukanlah sekadar romantisme saja. SBT dengan semangat realisme dan narasi revolusionernya adalah sebuah satu counter culture, merupakan sebuah jawaban untuk menghadapi pendangkalan dan perlumpuhan kebudayaan. Pameran kali ini bukan sekadar kembali mengingatkan akan SBT, tetapi sekaligus momen untuk menitipkan wasiat daya tarung untuk melawan lupa akan sejarah. Ada monumen kebohongan dalam monumen memorabilia, di mana masih banyak kebenaran yang disembunyikan, kekuatan dan pemikiran yang mulia dari masa lalu tidak boleh dilupakan. Masa mendatang membutuhkan keberanian tegak berdiri untuk menyatakan diri.

Jacob Sumardjo berpendapat, ” Kodrat seni dan politik sungguh bertentangan secara diametral kalau dilihat dari sisi pencarian kebenaran. Kebenaran politik amat bersifat sektarian, kontekstual, dan sementara, sedangkan seni bersifat umum, universal, dan kekal. Bagaimanapun, dunia politik dan dunia seni berada di tempat saling berseberangan. Yang satu material-duniawi dan yang lain rohani. Seni tidak mungkin mengabdi pada kepentingan politik, sebab akan mengingkari kodratnya. Sementara itu, apakah mungkin politik mengabdi kepada seni? Inilah yang kita harapkan. Tetapi, dalam catatan sejarah, mana ada politik mengabdi kepada seni? Memang banyak kekuasaan dalam sejarah yang mengembangkan seni, tetapi itu hanya sebagian saja dari kegiatan duniawinya. Perhatian politik kepada seni tetap demi kepentingan politik.”

Lukisan-lukisan itu tidak sekadar menggambarkan eksotisme alam dan sosial kerakyatan semata. Seringkali dinilai sterotipe dengan realisme yang dibawa oleh SIM (Seniman Indonesia Muda) dan Sanggar Pelukis Rakyat (PR). Hari ini waktu yang tepat untuk mengulik bersama-sama apa itu “realisme revolusioner” yang menjadi jargon SBT. Menurut Misbach Tamrin, “Seniman selayaknya memahami apa itu Politik, tetapi kata Politik yang ditulis dengan huruf  “P” besar, bukan politik yang ditulis huruf “p” kecil. Artinya seniman memahami politik bukan lantas masuk dalam politik praktis.” Kekaryaan mereka adalah sikap dan pandangan politik, dimana melukiskan realitas kehidupan rakyat dengan dibalut dengan peristiwa-peristiwa di baliknya.

Diskusi politik pernah ditampilkan SBT dalam sebuah lukisan potret kolektif yang dikerjakan pasca perhelatan Pameran Bersama Sanggar Bumi Tarung yang kedua pada Juli 2008 di Galeri Nasional Indonesia. Kala itu setelah acara, Misbach Tamrin dan Amrus Natalsya singgah di Mess Galeri Nasional Indonesia, kemudian personil lainnya datang, lalu bersama-sama melukis dan lahirlah karya lukisan Diskusi di Pameran Sanggar Bumi Tarung. Sebenarnya, karya serupa pernah dibuat oleh Misbach Tamrin dengan judul “Diskusi dalam Sanggar Bumi Tarung”. Karya ini diyakini bernilai historis yang sangat kuat, ditandai dengan anggota-anggota SBT yang tergambarkan sedang berdiskusi dengan rasa kekeluargaan, keakraban, dan kehangatan, digarap dengan gaya realis. Terlihat detail-detail dalam lukisan yang menegaskan keberpihakan SBT kepada gerakan rakyat, misalnya buku Pramoedya Ananta Toer yang tergeletak di meja, lukisan celeng (babi hutan) khas Djoko Pekik tergantung di dinding, dan suasana keseharian rakyat jelata yang tergambar di balik jendela.

Mencoba mengulas realisme revolusioner SBT menggunakan metode sejarah yang terdiri atas empat kegiatan pokok yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan terdiri atas arsip, surat kabar, majalah, jurnal, buku-buku, dan sumber audiovisual. Seperti yang kita tahu, SBT yang berdiri di Yogyakarta pada tahun 1961, merupakan sanggar yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan mendapat suntikan dana dari LEKRA. Setiap anggotanya otomatis dianggap merupakan anggota LEKRA. Sanggar ini berada di bawah Lembaga Seni Rupa (Lesrupa) milik LEKRA dan mengamalkan realisme sosial sebagai konsep estetik. Selain itu, sanggar ini juga menggunakan asas, kombinasi, dan metode yang sudah ditentukan oleh LEKRA untuk membuat karya.

Keadaan politik masa itu mempengaruhi semua bidang, termasuk wilayah kebudayaan. Kepribadian Indonesia termasuk ke dalam Manipol USDEK yang digunakan Orde Lama untuk mencari kesenian yang besifat Indonesia. Sementara LEKRA menganggap bahwa realisme sosialis menjadi aliran yang sesuai dengan pencarian tersebut. Realisme revolusioner muncul sebagai jargon pewacanaan SBT, yang muncul sebagai bentuk realisme sosialis Indonesia yang bernuansa lokal dan kontekstual dengan persoalan kebangsaan di awal kemerdekaan. SBT lahir di saat seni rupa internasional sedang marak dengan abstrak dan minimalism.

Dari acuan yang ditentukan oleh LEKRA, SBT berhasil membuat beberapa karya seni lukis dan cukilan kayu yang masih bisa dilacak.Tema yang digunakan dalam karya seniman sanggar ini adalah gambaran rakyat buruh dan tani. Karya yang dihasilkan diharapkan mempunyai peran sosial tidak hanya peran etis. Kelompok anak muda ini kemudian tidak hanya mengamini dan membuat karya–karya seni sosial. Bila ditilik secara visual, akan selalu menempel pada realisme sosialis diprakarsai oleh Maxim Gorky, dan dikenal sebagai aliran seni yang menggambarkan kondisi rakyat. Dalam buku Amrus dan SBT, yang ditulis oleh Misbach Tamrin, tampak dengan tegas SBT bukan sekumpulan seniman yang sekadar ikut-ikutan mengusung semangat realisme sosial. “Kami tidak sekadar mengekor atau berkiblat secara teoritis ke Moskow atau Beijing yaitu mengacu pada teori 1-5-1 sebagai pedoman berkreasi”–aturan tersebut dikenal sebagai 1-5-1 yaitu asas politik sebagai Panglima, Lima Kombinasi, dan Metode Kerja Turba (Turun ke Bawah).

Lukisan karya Misbach Tamrin berjudul “Tritis” yang menggambarkan tentang Turba.

Walaupun realisme sosialis menjadi aliran resmi LEKRA pada 1959, tetapi “Seni untuk Rakyat” sudah menjadi konsep kesenian lembaga ini semenjak pendiriannya pada 1950. Aliran ini kemudian disebarkan oleh LEKRA pada berbagai bidang seni seperti kethoprak, lukis, musik, sastra, dan lainnya. Realisme sosialis yang diusulkan oleh sastrawan Pramudya Ananta Toer  juga disebarkan ke berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta. Tentu saja Realisme Sosial bukan sebuah aliran resmi milik LEKRA. Lukisan-lukisan  realisme sosial juga banyak dibuat oleh seniman-seniman di luar LEKRA, sebut saja Itji Tarmiji, Sunarto Pr, Wardojo dan sebagainya.  SBT juga sangat lantang melontarkan kritik kepada pelukis Abstrak di masa itu, mereka dianggap tidak punya sikap dan tidak peka terhadap keadaan sosial masyarakat.

Realisme revolusioner bertolak pada cita-cita masyarakat sosialis yang masih belum berwujud dan masih harus diperjuangkan. SBT berpendapat bahwa karya seni masyarakat kita belum mencerminkan masyarakat sosialis, oleh karena itu harus mampu menggambarkan perjuangan untuk mencapai cita-cita itu. Kata realisme revolusioner sendiri muncul dari sastrawan muda masa itu, yaitu Pramoedya Ananta Toer dan Amrus Natalsya. Kesadaran akan estetik dalam visi dan misi kekaryaan, kemudian SBT membawa konsep realisme revolusioner, walaupun hingga kini masih menjadi perdebatan. Senada dengan kritik tokoh-tokoh Manikeboe, Danarto–rival SBT dari Sanggarbambu–mengkritisi dengan keras, jika semangat dan pedoman seni kerakyatan sebagai satu-satunya pedoman yang digaungkan ini tampak dipaksakan, apakah demikian? Pameran terakhir kali ini, setidaknya mampu menjawabnya.
Membicarakan SBT, tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Kelompok Sanggarbambu. Konon Sanggarbambu (SB), yang berdiri 1959, adalah magnet kuat dibentuknya SBT. Hubungan SBT dan SB-pun konon sangat intim, walaupun sering saling kritik. Bahkan kedua anggota sanggar ini, sampai tahun 1965, sering terlibat diskusi hingga larut malam sambil jajan gudeg di warung Bu Wongso dan Mbah Joyo los Pasar Serangan, timur Kampus ASRI. Kedekatan mereka terbaca dengan gurauan yang saling mereka lontarkan. Jika Sunarto PR, Mulyadi W, Wardoyo, Danarto, dan kawan-kawan SB lainnya sedang berjalan lewat di depan markas SBT, mereka akan saling melontarkan candaan, “Elok, senimannya sibuk !” Dan sebaliknya, anggota SBT akan meneriaki anak-anak SB, “Wuih, seniman borjuis, kok rajin sekolah….”

Di awal berdirinya, sebagai pendiri SBT, Amrus membiayai kehidupan sanggar ini, setelah lukisannya dikoleksi Soekarno. Selanjutnya, dengan adanya pesanan lukisan dan patung yang dikerjakan bersama-sama–dapat digunakan utuk membiayai hidup, berkarya dan menyewa sanggar di bekas tobong gamping (sekarang Museum Amri Yahya), depan kampus ASRI/ISI Gampingan Yogyakarta (sekarang JNM)–di antaranya proyek melukis poster/baliho potret presiden atau perdana mentri dari negara lain, ataupun tamu negara.

Jika ditelusuri, faktor utama SBT terbentuk adalah upaya para perupa SBT mengkritisi senior-seniornya–seperti Sanggar SIM dan Sanggar PR–yang semakin borjuis, karena para seniornya yang semakin terbuka dengan pasar, dan tak lagi menampakkan gagasan seni kerakyatan. Di mana, kala itu situasi ekonomi dalam situasi sulit, antara lain terjadinya antrean pembelian minyak tanah, sementara pelukis justru antre membeli minyak tanah hanya untuk mencuci kuas. Sebagai contoh, Trubus Sudarsono intens melukis tari Bali, dan Trubuslah pelukis Jogja pertama yang melukis penari Bali dan dikenal sangat laku di pasaran. SBT juga mengkritisi seniornya, para pelukis abstrak, karena karya –karya abstrak kala itu tampak hanya sebagai permainan artistik, namun kosong isi–tidak ada kedekatan dengan masyarakat.

Mengutip pernyataan Sudarmadji, “Sesungguhnyalah para pelukis Indonesia pada periode ini semuanya datang dari rakyat kecil yang miskin. Itulah sebabnya mereka hanya mampu hidup berhimpitan di kampung dalam perumahan sempit yang tak sehat. Mereka hayati percekcokan keluarga lantaran kurang makan dan pakaian. Mereka hayati perkelahian antar keluarga lantaran pertengkaran antara anak mereka yang belasan jumlahnya. Mereka mendambakan hidup yang layak. Semboyan ‘Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ terdengar dikumandangkan, dan sampai juga ke dalam dunia seni lukis.”

Mendapat kritikan, untuk mengobarkan cita kerakyatan tampil kembali, S. Sudjojono sebagai penganjur sekaligus ketua SIM–bersama Affandi dan Hendra dari PR–Sudjojono menganjurkan wujud seni lukis Indonesia baru, yaitu seni yang mudah ditangkap dan dimengerti rakyat, seni yang gamblang. Itulah yang kemudian disebut realisme–menyuarakan realita masyarakatnya.

Benarkah Revolusi Belum Selesai?
Revolusi belum selesai–demikian dikatakan Bung Karno, memang masih relevan dan kontekstual untuk situasi sekarang–dan seniman-seniman SBT mengajak kita untuk melanjutkan perjuangan menuntaskan revolusi yang belum selesai itu. Karya-karya anggota SBT dengan semangat estetika realisme revolusioner tentu saja menjadi penting untuk sejarah seni rupa di negeri ini. Karya-karya mereka membawa semangat dan menjadi penanda perubahan zaman, tentang bagaimana seniman menyikapi dan mengkritisi keadaan masyarakat secara nyata. Karena pada masa itu, antara ilmu pengetahuan, seni, dan politik sering kali tidak sejalan, mungkin soal waktu dan kesempatan. Pemangku kebijakan dan politikus di negara ini pada masa itu berada dalam tidak tahu akan ketidaktahuannya. Gagasan ideologi kesenian realisme revolusioner SBT yang merespon situasi terkini masyarakat, terpaksa harus berhadapan dengan Tap MPRS no XXV/ th. 1966, dan dituduh penganut faham Marxisme. Sementara, pada saat itu, tak sedikit pemimpin besar sebuah negara–di luar negara sosialis–juga mengambil Marxisme sebagai acuan pengetahuan dan wacana politik, seperti halnya Soekarno, Nehru, dan Ali Butho. Apakah benar estetika realisme revolusioner adalah sebuah bagian dari pandangan Marxisme? Karena pandangan kesenian inilah yang kemudian mengantarnya ke penjara, sementara SBT tidak pernah masuk dalam politik praktis.

Kemunculan SBT pada pameran pertamanya langsung mendapat perhatian. Semangat para seniman muda kala itu cukup signifikan menandai zaman. Karya lukisan yang didominasi warna hitam, cokelat, dan kemerahan dianggap menandai masa masa menjelang berakhirnya Orde Lama. Hingga meletusnya peristiwa ’65, satu-persatu seniman yang dianggap berhaluan kiri ditangkap, termasuk SBT, membuat anggota-anggotanya tercerai-berai dan hampir semuanya terpaksa mendekam di penjara sebagai tahanan politik. Dari tahun 1965 sampai 1970-an awal, nyaris tidak ada kegiatan pameran seni rupa yang berarti, kecuali setelah munculnya GSRB: Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1974.

Ketika masuk pertengahan Orde Baru, satu-persatu tahanan politik dibebaskan, termasuk para anggota SBT, tidak berarti lantas begitu saja dengan mudah meniti kembali karir mereka yang sempat hilang. Kekaryaan anggota SBT periode 1965-1980-an nyaris susah ditelusuri. Walaupun kemudian ditemukan karya-karya anggota SBT yang dibuat masa menjadi tahanan. Kenangan sebagai tahanan, dilukiskan Misbach Tamrin, dalam karya berjudul “Kerja Dan Matahari”, 2016, di mana ia melukiskan saat para tahanan bekerja memanggul batu, setelah gunung batu diruntuhkan dan dipecahkan, untuk membuat proyek pengerasan jalan di Kalimantan Selatan. Keadaan sedikit mendapat angin segar, bermula dari sebuah program budaya, yaitu Pameran KIAS di Amerika tahun 1989 yang dikurasi Astri Wright, mengangkat kembali nama Djoko Pekik. Beruntung Djoko Pekik tinggal di Yogyakarta, sehingga mudah mendapat tempat di khasanah seni rupa saat kembali berkarir di awal 1980-an. Kemunculan Djoko Pekik, diakui atau tidak, adalah martir meletupnya kembali semangat realisme revolusioner SBT.
Lantas seperti apakah sikap yang ditunjukkan SBT dalam perkembangan seni seperti sekarang ini, terutama mengenai realisme revolusioner? Mengutip pernyataan Amrus Natalsya dalam katalog pameran SBT, bahwa ideologi SBT harus selaras dengan perkembangan zaman dan harus mampu masuk dalam perkembangan itu, supaya SBT mampu menjawab tantangan zaman, demikian tutur beliau “Kita SBT ini menganut realisme revolusioner, artinya realisme yang menjunjung atau mau menyelesaikan tujuan revolusi, yaitu masyarakat adil dan makmur. Ini memang belum tercapai, tapi sudah masuk dalam samudera kontemporer. Tapi, walaupun begitu revolusionernya jangan hilang. Jadi kita maju dengan dayung revolusioner, menjadi realisme kontemporer revolusioner, jadi tetap satu rel.”

Wasiat Sanggar Bumi Tarung
SBT sebagai sanggar muda di akhir Orde Lama pernah dicap sebagai “Kelompok yang Anarkis” oleh kritikus Sudarmadji. Sanggar yang notabene beranggotakan mahasiswa ASRI Yogyakarta dan para anggotanya adalah sejumlah seniman kiri, di antaranya: Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Ng Sembiring, Isa Hasanda, Kuslan Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suhardjijo Pudjanadi, Sudjatmoko, Harmani, Haryatno, Gultom, dan Suhadi. Benarkah hal itu, mengingat pengertian anarkis adalah membuat keonaran, memberontak pada tatanan yang berlaku?

Setelah menggelar pameran pertamanya tahun 1962, SBT hadir dalam aksi menentang imperialisme dan penjajahan yang pernah dilakukan SBT salah satunya adalah terlibat dalam aksi Ganjang Malaysia 1963 di Jakarta. SBT kala itu membuat patung kepala Tengku Abdurrahman, dan menjadi aksi teatrikal di tengah demontrasi kala itu. Patung kepala itu ditarik bersama-sama, sebagai aksi protes mereka atas kemerdekaan Negeri Jiran itu, yang hanya sebuah hadiah dari Inggris yang dianggap sebagai tipu daya. Karena semestinya sebuah kemerdekaan itu harus diperjuangkan sendiri oleh sebuah negara, untuk menentukan nasibnya. Mungkin cap sebagai kelompok seni rupa yang anarkis seperti yang lontarkan Sudarmadji kurang tepat—mungkin lebih tepatnya sebagai kelompok yang radikal.

Gebrakan SBT kembali terdengar bersamaan dengan berakhirnya Orde Baru, dengan adanya peristiwa Reformasi 1998, yang disambut dengan pameran tunggal Djoko Pekik, Indonesia Berburu Celeng, pada Agustus 1998, yang kemudian dilanjut dengan Trilogi Celeng pada bulan Agustus dan September 1999. Dalam wacana selanjutnya, karya Trilogi Celeng Djoko Pekik dianggap sebagai penanda jatuhnya rezim Orde Baru di masa reformasi.
Pada tahun 2001, Misbach Tamrin berusaha kembali mengumpulkan balung pisah SBT, dan berhasil membuat pertemuan reuni kecil-kecilan SBT dan berlanjut dengan pameran Jejak Rupa pada 2003 di Plataran Djoko Pekik. Pameran ini menghadirkan anggota SBT dan seniman segenerasinya, antara lain: Sunarto PR, Edi Sunarso, Kustiyah, Sutopo, Fadjar Sidik, Wardojo, dan Lian Sahar. Di balik tangan dingin Misbach Tamrin dan kematangan strategi Amrus Natalsya sebagai ketua, para anggota SBT mampu menyalakan kembali semangat SBT. Pada tahun 2008 SBT menggelar pameran keduanya di Galeri Nasional, setelah vakum hampir 46 tahun. Disusul pada tahun 2011, SBT kembali berpameran di Galeri Nasional untuk merayakan 50 Tahun SBT. Dua pameran terakhir SBT; Dua Petarung pada tahun 2023 dan pameran SBT kelima ini, Wasiat Rahasia, menjadi perwujudan tanggung jawab akhir seorang Misbach Tamrin sebagai sekretaris sekaligus motor penggerak organisasi. SBT bukan sekadar komunitas atau kelompok seni rupa dengan semangat paguyuban. Ada cita-cita besar yang terselip dalam gerakan artistik dan estetik yang diusungnya. Siasat dan Azimat di balik realisme revolusioner adalah Wasiat Rahasia, yang setidaknya layak diungkap dari sisi pengetahuan, bukan lantas hanya membahas nilai harga karya dari satu atau dua anggota SBT yang mencapai ratusan juta atau milyaran rupiah.

Dari dua pamera terakhir SBT ini, setidaknya kita mampu menggarisbawahi apa itu “realisme revolusioner”. Pada titik puncaknya, “Realisme Revolusioner yang diusung SBT, adalah sebuah ekspresi artistik dan estetik yang menggaungkan semangat perubahan dengan cita rasa lokalitas, yang kemudian mampu menjawab kebenaran universal.” Narasi-narasi visual di setiap karya adalah warisan bagi generasi untuk mengawal sejarah seni dan budaya bangsa ini. Pameran SBT terakhir kalinya ini, sekaligus mengukuhkan perjuangan SBT: Sampai Batas Tarung para seniman perupa SBT secara spiritual, juga sekaligus penyelesaian tugas para perupa SBT dengan tuntas sesuai dengan tantangan zamannya. Realisme revolusioner kelak akan menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah seni rupa kita. Dengan tegas, SBT tidak membuat regenerasi, kecuali hanya meninggalkan Wasiat Rahasia di setiap karya-karya mereka.

Seni bukanlah tujuan, tetapi untuk memenangkan revolusi “ ( SBT, 1962)

Studio Bodo, 1 Juni 2024
Yaksa Agus
Penulis yang fitrah sesungguhnya pelukis