PADA suatu malam sabtu tahun 2023, di sebuah hotel tempat pelaksanaan Aruh Sastra Banjarmasin berlangsung, saya mengobrol dengan dua seniman yang berasal dari generasi seangkatan saya: Rizky Setiawan dan Ikhlas El-qasr. Diselingi celoteh ringan, kami membicarakan bagaimana Aruh Sastra di tahun itu hampir mendekati sempurna sebab terasa benar-benar nyastra, juga–tentu saja–hal-hal lain yang berkaitan dengan festival tahunan ini. Obrolan yang begitu membekas sampai-sampai saya mencatatnya untuk kemudian, rencananya, ingin saya publikasikan beberapa minggu setelah gelaran tersebut selesai. Tetapi kemudian polemik mulai terjadi dan saya membuang keinginan saya demi menghormati mereka yang menuntut hak kepada panitia. Pada gelaran Aruh Sastra 2024 di Barabai saya mengingat-ulang isi obrolan di tengah malam tersebut, tidak tahu kenapa, lalu kini setelah beberapa hari Aruh Sastra Barito Kuala 2025 selesai, hal yang sama terjadi lagi. Mungkin, ada baiknya, saya memang perlu membicarakannya meski dalam konteks yang tidak lagi sama.
Hal pertama yang saya ingat dari mengobrol-pandir itu adalah bahwa Aruh Sastra, sebagai sebuah event kesusastraan, merupakan festival yang sangat beruntung dan, karena itu, saya merasa takjub pada siapapun mereka yang pertama kali mencetuskan acara ini sampai kemudian bisa dibiayai oleh pemerintah daerah. Benar. Sejauh ini saya memang tidak pernah melangkah lebih jauh dari acara serupa di luar Kalimantan, tapi saya tahu betapa sulitnya menjadikan sebuah festival kesusastraan sebagai satu agenda tahunan yang oleh pemerintah daerah didukung secara finansial terlepas sedikit banyak anggaran yang dikeluarkan. Hal ini merupakan nilai lebih di mana, kita tahu, festival ini akan tetap jalan walaupun–amit-amit–para pelaku sastra itu sendiri malas melakukannya suatu hari yang entah. Saya kira ada banyak gelaran sastra di luar sana yang kaget dan takjub dengan keberuntungan yang kita miliki.
Konsep Aruh Sastra yang bergiliran untuk semua kabupaten/kota juga unik dan, sejauh yang saya tahu, jarang–untuk menyebut tak ada sama sekali–di Indonesia.
Saya ingat pernah membaca tentang satu program Unesco menyoal ibu kota buku, sebuah program di mana Unesco akan menunjuk satu kota untuk menjadi ibu kota buku di tahun itu, sifatnya bergiliran, mirip seperti ASKS. Selama satu tahun setelah ditunjuk, kota tersebut berkomitmen untuk mengadakan kegiatan literasi: buat anak; kaum marjinal; dan masyarakat umum. Ada festival, pertunjukan, revitalisasi perpustakaan, kolaborasi, perluasan jaringan antara sesama penulis atau penulis dan penerbit, dan lain-lain yang berkaitan dengan literasi. Benar. Ini Unesco dan kita tak punya bayangan akan melakukan hal sama dengan anggaran yang dikasih oleh pemerintah daerah. Tapi, sebentar, ini yang tiga tahun lalu tidak pernah ada dalam tulisan saya:
Aruh Sastra Kalimantan Selatan di Barito Kuala yang baru selesai beberapa hari telah lewat adalah gelaran mendekati akhir dari putaran kedua setelah lebih dari dua dekade berlangsung, pada tahun 2029 kelak–dengan tuan rumah Kabupaten Banjar–putaran kedua resmi selesai dan kita akan memasuki babak baru untuk ASKS berikutnya. Saya yakin di tahun itu akan ada banyak sekali penulis baru yang timbul, dan di saat bersamaan harus dipahami kita mungkin akan kehilangan beberapa sastrawan yang kita cintai, terutama yang bersusah payah-bapaluh lihir membersamai festival rutinan ini sejak mula berdiri–apapun alasannya. Begitulah hukum alam: datang dan pergi.
Mungkin terdengar jahat sekali kalau saya bilang helatan ASKS selama ini begitu-begitu saja, bahkan mungkin argumen ini tak seutuhnya valid karena saya sendiri baru mulai ikut baaruhan hanya dari 2016 silam, tapi setidaknya dari tahun-tahun yang saya ikuti, begitulah yang terjadi. Barangkali sebab alasan itulah saya ogah menulis catatan atau apapun menyoal ASKS 2025 di Barito Kuala secara khusus, bukan karena saya tak punya etika dan enggan berterima kasih walau pulang dalam keadaan bahagia, tak, tapi begitulah ASKS. Seminar, silaturahmi, penampilan, jalan-jalan di akhir sesi. Seorang kawan pecinta sastra yang datang dari suatu kota, seorang diri, tanpa tahu apa-apa tentang pelaksanaan sebelumnya, bertanya kepada saya: Memang selalu seremonial seperti ini, ya?
Saya menjawabnya hanya dengan tertawa.
Kawan saya ini lahir setelah tahun 2000, generasi Z. Di Antologi Puisi ASKS tahun 2025 ini, juga pengirim lomba manuskrip puisi dan cerpen, penulis-penulis seusia dia berhamburan di lembar-lembar halaman buku. Saya sempat ingin menjawabnya dengan: Ya, beginilah sejak dulu, terima saja kenyataannya. Tetapi rasa-rasanya ada yang salah dengan jawaban itu. Berjarak beberapa obrolan melipir soal hal lain, saya mengatakan padanya bahwa gelaran ini sempat menemui titik segar kala tahun 2024 di Hulu Sungai Tengah. Ketika itu penyelenggara sempat mengadakan, atau boleh dikatakan, memikirkan mini riset untuk sastrawan yang hadir guna menghasilkan karya dari pengalaman tersebut. Tetapi rencana itu tenggelam. Saya tahu ada banyak variabel dari kegagalannya, tetapi fakta bahwa tidak ada tindak lanjut dari rencana tersebut hingga hari ini sangat cukup untuk mengatakannya sebagai suatu kegagalan.
Sejauh ini kita fokus pada silaturahmi sastra, ajang kumpul-kumpul dan pulang tanpa meninggalkan jejak berarti untuk daerah penyelenggara selain sejubel laporan untuk dipertanggungjawabkan ke pemerintah daerah–yah, mungkin buku antologi merupakan satu-satunya pengecualian, sih, ya. Tapi lihatlah. Itu saja.
Bagaimana mungkin kita bisa mengaku bahwa sastra adalah suatu hal yang bermakna untuk daerah kalau yang kita tinggalkan selepas perkumpulan tersebut cuma kenangan?
Saya tahu saban baaruhan, kabupaten/kota selalu punya masalah di keuangan. Saya pun, kiranya duduk tidak di posisi sebagai pelaku sastra, barangkali juga akan mempertanyakan kenapa perkumpulan sastrawan ini perlu uang yang banyak. Apa dampak nyatanya terhadap daerah yang saya pimpin. Kenapa sastrawan tidak di rumah masing-masing saja, menulis, misalnya, atau membaca puisi nyaring-nyaring di perkumpulan mereka, bisa pula merapal mantra untuk redaktur koran agar karyanya bisa dimuat dan dibicarakan di lingkup mereka saja, kenapa mesti kumpul dalam seremonial-seremonial ala pemerintahan?
Dampak nyata yang saya maksud tidak berarti bahwa kabupaten/kota bisa berubah dalam hal-hal yang besar sekejap mata, tetapi dampak sastra itu sendiri, kecil pun tak apa, saya menyebut upaya Hulu Sungai Tengah yang gagal itu sebagai angin segar karena yakin kalau hal itu terjadi, karya yang lahir tidak lagi datang dari riset hambar dan seadanya dari situs internet tanpa pernah berjumpa-bersentuh dengan apa yang seseorang tulis. Saya bahkan bertemu dengan salah satu penulis yang mengaku telah berpesan kepada induk semang penginapan agar diizinkan menginap di sana selama beberapa waktu guna menulis tentang Barikin jika hal tersebut benar-benar terjadi. Lihat, itu dampak nyata yang meski kecil tetapi sejauh ini tidak pernah benar-benar kita lakukan. Di Aruh Sastra Barito Kuala kemarin memang ada hal yang baru: Mawarung. Tapi konsep ini benar-benar ajaib dan tak ubahnya acara seremonial lainnya yang diadakan dengan dalih acara santai. Kalau ini hendak dilanjutkan, perlu ada pematangan konsep menyeluruh agar sastrawan di rentang usia berbeda merasa ini relevan. Selain itu saya melihat ada upaya mendokumentasikan buku ASKS menjadi bentuk digital dan kita layak mengapresiasi Barito Kuala untuk hal ini. Sisanya saya kira sama saja, bahkan seminar-seminar itu, serius, di luar apa yang dibicarakan, kata seminar sendiri sungguh sudah berjarak dari generasi pasca 90an.
Festival-festival hari ini sudah terbiasa mengadakan mini-lab, lokakarya, residensi kilat, ruang baca terbuka, bahkan sesi penulis langsung. ASKS belum. Di usia yang telah mencapai 22 tahun, kita terlambat sekian tahun dari zaman yang bergerak, tertambat pada pola nyaman dengan dalih asal silaturahmi sastra tetap terjaga.
Sampai di sini, kita baru bicara satu aspek, kita bahkan belum menyentuh persoalan tema yang berulang, gagasan yang sama, dan lain-lain. Isu-isu menyoal bias gender, kesehatan mental, iklim kota, revitalisasi naskah, dan lain-lain tidak pernah disentuh sejauh yang bisa saya ketahui. Pertemuan-pertemuan hanya berlangsung sebagai berbagi kabar selama satu tahun terakhir. Mengapa kita tidak, misalnya, melibatkan penerbit dari luar daerah alih-alih mengundang pembicara nasional yang anggarannya kadang memberatkan., kenapa kita sejauh ini tidak memiliki web resmi untuk orang di luar daerah sana bisa tahu, kenapa tak ada upaya untuk membuat satu yayasan tak resmi yang diwakili oleh masing-masing kabupaten/kota agar penyelenggaraan dari satu tempat ke tempat lain tetap punya tujuan yang sama; bentuk yang berkesinambungan; punya identitas dan arah yang jelas, bagaimana soal pengumpulan buku-buku aruh terdahulu, sudahkah kita punya perpustakaan khusus untuk acara ini, apakah kita sudah punya sosial media khusus yang tetap baik itu facebook (yang tidak lagi dipakai oleh sebagian besar anak muda) atau instagram, dan, selain itu, sudahkah kita memikirkan transisi dari periode pertama dan kedua ke periode ketiga dan selanjutnya agar ASKS menjadi festival sastra yang lebih baik, lebih layak, yang bisa dinikmati oleh semua kalangan baik dalam hal usia atau golongan masyarakat.
Di awal tadi saya menyinggung soal ibu kota buku atau World Book Capital dari Unesco, ASKS saya kira bisa belajar dari sana sebab kemiripan konsep yang keduanya miliki, juga dari festival-festival sastra lain di Indonesia yang lebih mapan meski tidak masuk ke anggaran pemerintahan.
Sudah.
Saya kira apa yang saya sampaikan sejauh ini bukan hal luar biasa, tak, ini persoalan mendasar sebuah acara kesusastraan yang saya yakin telah dipikirkan pula oleh banyak pelaku sastra sebelumnya. Saya hanya menulis evaluasi menyeluruh festival ASKS ini dengan sedikit lebih kasar dari sudut pandang generasi yang kelak akan mewarisinya. Jika diperhalus, seluruh tulisan ini bisa disingkat lewat satu pertanyaan dengan 17 kata dan jawaban pendek belaka, seperti ini: Sudahkah kita bersiap untuk menjadikan Aruh Sastra Kalimantan Selatan lebih besar dari yang selama ini kita ketahui?
Tak.
Rantau Bakula | 2025



























