AsyikAsyik.Com – Beruntungnya saya tinggal di Kota yang umurnya terbilang masih muda. Satu ketika, saya pulang kampung ke Pelaihari, rumah orangtua dan saya lahir di sana. Ketika ditanya, kenapa lama tak pulang? saya jawab, saya bermukim dan bekerja di Banjarbaru.

“Wah, tinggal di Kota Sekarang ya! Jadi jarang pulang ke kampung?”

Nah, ini si ibu, tetangga ibu saya, gak tau kan ya, Banjarbaru gak seperti dia sangka. Banjarbaru, juga ada pojokannya, gak melulu soal gedung-gedung yang tanggung dibangun. Banjarbaru, seolah gak bisa dikatakan kampung. Ya, emang gak akan bisa.

Saya mengelilingi kota ini hampir setiap hari. Lebih dari 100 km dalam semalam. Bukan gak ada kerjaan, lho ya! Dengan cara demikian, saya berhasil melihat kosmetik kota ini, yang sedang membenahi drainasenya di sekitaran trikora, atau proyek pelebaran jalan menuju pengadilan, truk pengangkut tanah uruk di sekeliling bandara, pengerjaan tambal sulam jembatan yang ambruk tapi gak ketahuan media, plang renovasi gedung pertunjukkan yang terpasang tapi belum ada yang kerja, peresmian taman di setiap hari minggu, atau proyek taman yang terlalu banyak sebagai representasi kota ini emang kayak buat keluarga gitu. Ya emang idaman semua kaum.

Banjarbaru memang terlahir dari tangan-tangan dingin hasil didikan yang perih. Penuh perjuangan yang berdarah-darah dalam konotasi bathin. Banjarbaru terbilang luar biasa dalam hal percepatan pembangunan, kecuali pembebasan lahan bandara yang alot, catatan buruk sejarah Angkasa Pura sepanjang masa, se-Indonesia.

By the way, di luar konteks pandainya Banjarbaru dalam bersolek, kondisi geografis menjadikan Banjarbaru sebagai The Central of Future City.

Ngasal aja! Ya faktanya, Ia diplot oleh para tetua sebagai sentral perkembangan dan pergulatan ekonomi di Kalimantan Selatan. Ia menjadi satu titik segitiga bermuda yang direncanakan Paman Birin sebagai masa depan. Dua titik lain adalah Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Banjar. Sudah tahu dong, bagaimana Wisata Kiram mampu menjadi magnet masyarakat kita yang haus hiburan alam? Kabarnya, akhir tahun ini, tidak sedikit delegasi yang di datangkan dari luar negeri untuk menggunakan dolar-dolar mereka.

Well, secara data, pemerintah provinsi memang tidak mengharapkan banyak dari ibu kotanya, yaitu Banjarmasin yang… padat, kumuh, rawan banjir dan cenderung menyebabkan kebakaran besar, tapi masih bisa dijual kalau turis asing datang berkunjung. Selama pasar terapung dan siring laut nol kilometer terus menjadi project penampilan, maka roda ekonomi akan terus berputar.

Mengapa sebagian kalangan menganggap Banjarbaru sebagai pencapaian?

Kota ini sebenarnya miskin, tekhusus sumber daya alam lho ya! Tapi kaya dengan sumber daya manusia. Kalimat ini sudah berbuih-buih dalam sejarah. Urusan angka dan data biarlah pak EWA dengan sejumlah bukunya menyampaikan dengan terang benderang.

Banyak sarjana dan S2 arsitektur bahkan doktor yang sedang honorer tapi tidak punya wewenang bicara dalam perlemen. Atau profesor-profesor yang ceramah Di kelas tapi gak sampai ke gedung wakil rakyat. Padahal, mereka cakap mengutaran bagaimana makro ekonomi suatu kota yang sangat berpotensi menjadi super duper kaya bermakna.

Satu dari sekian banyak POI yang mendongkrak Banjarbaru adalah kemasan, bungkusan, yang penting pandai bersolek, lu bisa dijual dengan harga mahal. Tapi uangnya dari mana? Ya dari tambang batu bara, kayu, dan kelapa sawit yang ada di daerah lain. Kalau mau bergaya, ya setor dulu lah di kota ini.

Terlepas dari ke hedonisan masyarakat yang tentram dalam pemukiman, para petinggi kita hakikatnya sedang berusaha menjual kemasan pariwisata, kita di Banjarbaru gak peduli lu kalau ke Kalsel mau ke mana, mau tak mau, lu harus nginjak kaki di sini, dan keluar duit sebelum masuk pintu gerbang yang lain.

Banjarbaru sedang menaikkan pamornya sebagai trensetter, Aerocity apa, sih?

Mungkin akan kita bahas di artikel lain. Lu kalau mau gaya, datang di sini, kita punya suguhan budaya yang beragam. Ada mall, pasar yang alot direlokasi bertahun-tahun, dan tentu saja perumahan-perumahan kelas pertamax. Di saat yang lain cuma jago kandang, Banjarbaru bisa petantang-petenteng menjual bahan mentah daerah lain, mengemasnya dalam bungkusan menarik, dan mendatangkan investor-investor dengan angka yang amazing. Thats’it. Dan gak salah juga, kita memang sedang berusaha agar bisa gaya.

Mengatur masyarakat Banjarbaru cenderung susah-susah gampang. Kantong-kantong suara pemilih memang tidak banyak, tapi roda pegerakan yang mengikut para tokohnya ada di Banjarbaru. Konferensi musyawarah mufakat se-Kalimantan Selatan terjadi di sudut kota ini.

Sekelas Lamborghini dan Porche gak akan membuat decak kagum masyarakat pegunungan kalau si owner gak ngajak jalan di aspalnya Murjani. Atau setidaknya numpang lewat lah di aspal Banjarbaru. Kita punya wadah untuk para pesohor yang ingin bergaya hyperbeast. Lantas bagaimana dengan masyarakat kelas bawah.

Mereka tetap dibina, lahan-lahan pertanian yang sudah ada tidak terlalu mengganggu. Perkebunan punya plot tersendiri agar tidak terkendala pembebasan yang berkesinambungan jika kelak pengerjaan tol berjalan. Sport Center yang sempat bermasalah di lahan rawa beberapa tahun silam sudah dipaku di wilayah gunung. Gak ada yang bakal bisa protes. Karena saya bilang, itu bagian segitiga bermuda. Saya memang tidak menjelaskan di mana bukti kota ini miskin tapi punya banyak gaya. Tapi nyatanya, tanah-tanahnya sedang merangkak menuju harga-harga yang tinggi tak terkira.

Saya beribu sayang tuan, kota ini miskin lagi, maksudnya, sedikit sekali kepeduliannya akan situs sejarah.

Emang sih, ada saja caranya untuk mempertahankan sisa-sisa penginggalan si Belanda, tapi banyak yang sudah terlanjur menangis dan hilang. Kabarnya, eks rumah perancang/arsitektur kota ini sudah deal untuk dijadikan dealer otomotif ternama. Eh…. Eh, kata siapa sih? Tanyakan saja kepada duo srigala yang bergoyang.

Seolah tak mau kalah dengan daerah yang punya tambang, kota ini mencabut urusan perizinan yang berbelit-belit, suara sepakat, palu dihempaskan. Tak lama lagi, akan ada tambang pengolahan berlian yang segera beroperasi di sudut persimpangan jalan. Kita tak pernah tau berapa income yang didapat kelak. Sebenar-benarnya angka. Tentu saja banyak, lapangan kerja terbuka lebar diiringi tanah-tanahnya yang juga menganga. Kota ini perlahan, merangkak berdiri dari kemisikinan, namun sayang tak mampu berlari karena terbentur bunga di pinggir jalan.

Sebagaian tetua hanya bisa tutup mulut meski matanya sudah membuka. Lah, pemukiman saya yang awalnya di pojokan bisa menjadi sarana lalu lalang transportasi pabrik, atau dampak positifnya, semakin ramai akses menuju tambang itu maka roda ekonomi pun juga meningkat. Harapannya. Harapan orang awam.@