SAYA meyakini jika berhenti belajar, termasuk melakukan pengenalan terhadap masyarakat, jika mereka behenti bertanya dan mencari, maka kematian semasa masih bernapas pun tiba sehingga saya menjadi zombie minus kebudayaan, apalagi perubahan maju. Jika seorang seniman tapi tidak lagi punya keniscayaan belajar, termsuk riset, bertanya dan mencari, seniman itu sudah bukan seniman lagi tapi tukang yang tanpa kegelisahan, yang tidak lagi berada setapak atau berada di depan kejamakan. Padahal seyogianya seorang seniman itu adalah seorang pembidas (avant-guardists). Seorang avant-guardists itu tidak punya tabu karena itu ia mempunyai keberanian menantang arus, berpikir dan bertindak out of the box  , beyond the main stream.Dalam bahasa Dayak Ngaju saya menyebutnya maméh  Penciptaan dekat dengan semacam pemberontakan. Dalam kata-kata penyair Chairil Anwar:

“Jangan tambatkan pada siang dan malam/Pilih kuda yang paling jalang/Pacu-laju”. “Walau pun mungkin aku tak sampai kepadamu”.

Seorang kreator avant-guardist dalam konsepsi Dayak Ngaju, selain mempunyai komitmen sosial manusiawi yang kuat (bukan sekedarnya), juga perlu memiliki tritunggal karakter yaitu mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, cerdik-berbudi/beradat, kritis-tekun”.

Apa yang diburu oleh seorang pencari atau penanya? Saya kira yang dicari adalah kebenaran,  hakekat hal-ikhwal, betapapun relatifnya. Kebenaran sulit didekati dan berkembang jika berada  di bawah otoritarianisme dan isme sekeluarganya. Untuk bisa bertanya dengan baik dari si penanya dituntut untuk suka atau mau berpikir.

Apakah Kalteng suka berpikir? Pertanyaan ini muncul saat saya sering mendengar jawaban tanpa konteks: “Siap, Pak”, “Mohon izin bicara” padahal bicara adalah hak bawaan manusia. Saya memahami pernyataan-pernyataan seperti ini salah satu merupakan jasa dari Orde Baru Soeharto dalam merusak pola pikir dan mentalitas bangsa ini. Saya sendiri pada tahun 1990-an ketika mengemban pekerjaan yang diberikan oleh L’Institute Universtaire d’Étude de Dévélopement’ (IUED) Geneva, Swiss, untuk membantu perkembangan pendidikan tinggi di Kalteng, pernah dilarang oleh polisi berbicara di depan umum selama dua tahun. Buku-buku saya yang diterbitkan di Indonesia pun dipermasalahkan. Buku-buku yang kami terbitkan di luar negeri, begitu sampai di Indonesia tak berapa lama dinyatakan sebagai buku terlarang oleh pemegang kekuasaan pada waktu itu.

Kata-kata seperti “Siap, Pak”, “Mohon izin bicara”, kalau pemahaman saya benar, merupakan sisa-sisa budaya takut dan budakisme yang berkembang di zaman Orba dan nampaknya sampai hari ini masih ada di antara gaung gema samar ‘revolusi mental’-nya Presiden Joko Widodo (Jokowi), sesamar kebenaran itu sendiri di era ‘pasca-kebenaran’ (post truth) dan kebohongan (hoax) sekarang. Menulis sejarah adalah pertama-tama memburu kebenaran dan kemudian menuliskan atau menyampaikan kebenaran itu.

Menurut undangan, yang hadir dalam pertemuan saling belajar ini adalah, “penulis, pegiat budaya, pegiat komunitas sejarah, jurnalis, guru, mahasiswa, pelaku teater, dan pegawai ASN”. Sehubungan dengan premis di atas, pertanyaan saya: Apakah mereka bebas dari ‘upaya memburu dan melaksanakan kebenaran? Pasti tidak, kalau kita mau Republik dan Indonesia ini tetap ada (istilah kerennya: eksis) dan berkembang sehat; kalau kreator itu adalah kreator yang sehat dilihat dari kacamata tanggungjawab manusiawi.

Demikian beberapa premis penciptaan yang jadi pegangan saya hingga sekarang. Saya sampaikan tidak lebih dari sebagai bahan tukar pengalaman kerja. Terhadap prinsip-prinsip lain yang dianut oleh para kreator lain, saya menghadapinya dengan sikap ‘biar bunga mekar bersama seribu aliran bersaing suara’, di mana kemudian kritik  atau debat akademi akan meningkatkan pemahaman dan apresiasi, apalagi jika debat akademi atau kritik itu berangkat dari prinsip saling asih, saling asuh dan saling asah. Sayangnya di provinsi ini sering saya dapatkan kritik diperlakukan secara tidak pada tempatnya. Apakah ini pun merupakan petunjuk tentang tingkat kematangan berpikir, tingkat kecerdasan perasaan dan pengetahuan kita  sehingga tidak mampu memberi ruang luas bagi kebenaran orang lain? Yang lebih konyol lagi adalah pandangan yang menganggap kekuasaan sama sebangun dengan kebenaran yang membuat para penganut pandangan ini, walaupun punya mata tapi tidak bisa melihat, walau pun punya telinga tapi tak bisa mendengar.@

*Tulisan ini disarikan oleh redaksi dari makalah yang disampaikan penulis pada acara diskusi yang diorganisir oleh Kemendikbudristek dengan pelaksanaan Disbudpar Provinsi Kalimantan Tengah, Juli 2024, di Palangka Raya.