“SAYA angkatannya Hajriansyah. Terima kasih telah datang,” ucap lelaki bertopi dan berhem putih bersih itu sembari menyalami pelukis Misbach Tamrin sesaat tiba di Sangkring Art Project, Bantul, Yogyakarta, sore Rabu (22/5/2024).
Lelaki bertopi bermata sedih itulah rupanya yang sedang menggelar hajatan pameran tunggal di Sangkring Art Project. Dia Maslihar. Dan nama Hajriansyah yang dia sebut seangkatan (di ISI), tak lain adalah pelukis asal Banjarmasin pemilik Kampung Buku, yang dia tahu dekat dengan Tamrin– panggilan yang lebih dikenal para pelukis Yogya untuk Misbach.
Saya bersama beberapa kawan datang ke Yogya sebenarnya tak khusus menghadiri pameran Maslihar, melainkan untuk proses pembuatan film dokumenter pelukis Misbach. Dan kami sebelum ke Sangkring acara pembukaan pameran Maslihar, terlebih dulu menemui Mikke Susanto di Jurusan Tata Kelola Seni ISI, mendatangi pelukis muda Munir, dan mengunjungi ASRI tempat kuliah Misbach dulu.
Menghadiri pameran Maslihar ini semacam bonus dalam “kunjungan kerja” kami ke Yogya yang masih akan berlanjut dalam beberapa hari ke depan.

Pembukaan pameran Maslihar yang kerap juga dipanggil Panjul oleh dua pembawa acara– yang dari panggilan keakraban itu menandakan keduanya teman Maslihar dan pastinya juga seniman, dimulai dengan beberapa sambutan. Mulai dari Putu Sutawijaya, Yaksa Agus sebagai penulis pengantar, hingga Nasirun yang didapuk untuk membuka secara resmi pameran yang akan berlangsung hingga 3 Juni 2024 itu.
Sebelumnya, Maslihar terlebih dulu memberikan pengantar untuk pamerannya yang diberi tajuk “Bebrayan”. Dan yang membuat rakan-rekannya salut, Maslihar mengajak kedua orangtuanya berserta anak istrinya ke pamerannya itu.
Maslihar, saat diminta naik ke panggung Bale Banjar Sangkring, ia yang semula duduk di bangku depan langsung berbalik berjalan untuk sungkem mencium tangan ayah-ibunya yang duduk di bangku belakang.
“Bebrayan adalah bahasa Jawa, yang artinya berkeluarga. Banyak lukisan saya ini yang terinspirasi dari kehidupan keluarga saya. Dari kenangan masa kecil saya dengan orangtua, hingga saya memiliki keluarga sendiri dan beranak tiga,” tuturnya.

Ia lalu menceritakan kenangan masa kecilnya ketika oleh ibunya sering dipaksa pergi ke mushala untuk shalat dan mengaji. “Pokoknya, tidak perlu paham mengapa dipaksa ke mushala, saya harus ke mushala. Sebab, sesuatu yang dilakukan terus-menerus, lama-lama juga akan mengerti sendiri mengapa itu harus dikerjakan,” ucapnya.
Tak ketinggalan, Maslihar menceritakan pula tentang perkenalan pertamanya dengan istrinya yang ia panggil Hani. Dan untuk itu ia berterima kasih kepada Putu Sutawijaya yang telah menjodohkan mereka. “Mas Putu-lah yang menikahkan saya,” katanya sambil menyampaikan hormatnya kepada Putu.
Tepat sesaat menjelang azan magrib, pameran Bebrayah dibuka. Ruang Sangkring Art Project berada di lantai dua, dengan bangunan beton yang tampak sangat kokoh. Pengunjung yang telah hadir sejak sore, terus berdatangan menjelang malam.

Ada satu pengunjung yang menarik perhatian, yakni Nabil Muhdor atau yang dikenal dengan Bill Mohdor di media sosialnya. Selain terlihat berbincang dengan seniman lain, Bill Mohdor juga merekam lukisan-lukisan yang dipamerkan.
Tanpa sekat panel, lebih dari 40 lukisan Maslihar dipajang menghiasi dinding. Lukisan-lukisan bergaya naif. Sebagian berwarna cerah ceria, sebagian lain sewarna tanah dan kayu. Selalu ada karakter wajah “masa kecil” dalam hampir semua lukisannya, yang terus-menerus dieksplorasi dalam beragam bentuk, warna, serta obyek-obyek yang menyertainya seperti burung-burung, kerbau, harimau, pun bunga-bunga.
Barangkali Maslihar Panjul mengalami masa kecil yang bahagia, sangat bahagia, hingga karakter wajah kanak-kanaknya itu nyaris selalu melentingkan senyuman. Dan seperti sore hingga malam itu, ia pun senantiasa tersenyum bahagia menyambut tamu, rekan, dan para penikmat karya seninya.@