SAYA iseng-iseng nelusur di Datu Gogel tentang buaya. Kalau mau dibilang riset, boleh. Gak dibilang riset juga tak masalah, suka-suka kau lah. Dan, ternyata luas juga problematika kebu(d)ayaan ini. Bentangannya bisa ditarik dari Thailand, Belitong, Betawi, Surabaya, sampai Banjar. Bagian tulisan ini kita mulai dari Thailand.

Di Thailand, yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Siam (ada beras Siam, kembar Siam, jambu Siam, etc.,) ada mitologi unik, sebut saja hikayat, atawa dongeng rakyat terkait dengan buaya. Mitologi ini dikenal dengan nama Krai Thong. Kisah rakyat ini berasal dari Provinsi Phichit.

Kisah ini menceritakan tentang Chalawan, seorang raja buaya, menculik putri seorang bangsawan Phichit, dan Krai Thong, seorang pedagang dari Nonthaburry berusaha membunuh sang raja buaya tersebut.

Isi lengkap ini ceritera harus diawali dengan kata: ALKISAH… dulu di suatu masa, terdapat goa bawah sungai (bingung juga menyebutnya, kalau bahasa Inggris mah gampang: underwater) yang berada di bawah air tempat buaya hidup. Orang Banjar punya sebutan tempat ini sebagai lu’uk. Di dalam goa, ada sebuah bola kristal ajaib yang mengambang di udara. Bola kristal ini bersinar kemilau layaknya sinar matahari di siang hari. Raja buaya yang menguasai goa ini dikenal dengan nama Chalawan (bisa dipastikan blio bukan dari Jawa Timur (Cak Lawan) atau pun dari Argentina (Che Lawan Guevara). Goa itu pun dikenal sesuai namanya, goa Chalawan. Setiap buaya yang memasuki goa akan berubah wujud menjadi manusia dan tidak butuh makan.

Chalawan mewarisi posisinya sebagai penguasa dari kakeknya, setelah ayahnya tewas dalam pertarungan melawan dua ekor buaya lain. (Tampaknya, dunia bawah air ini tidak kenal yang namanya demokrasi atawa pemilihan umum. Kalo khilafah? Maksudnya ISIS atau HTI, wah entahlah. Definisi khilafah yang lain? Wah mbulet alias taputar itu) Chalawan punya dua istri buaya yang tinggal bersamanya. Karena sifatnya yang agresif dan kebutuhan agar diakui sebagai orang kuat, Chalawan merasa tidak puas dengan apa yang dia punya. Chalawan mau makan daging manusia hidup, kontras dengan kakeknya yang vegetarian karena turut ajaran-ajaran Budha.

Di provinsi Phichit lantas beredar desas-desus bahwa buaya berburu orang di sungai. Satu hari, dua orang putri dari bangsawan Phichit yang bernama Tapao Kaew dan Tapao Thong ingin bermain-main di sungai. Tak menggubris larangan sang ayah, keduanya bersuka-ria di sungai. Chalawan yang keluar dari goanya dalam bentuk buaya untuk memangsa manusia, melihat kedua putri tersebut. Dia jatuh cinta. Dia menculik Tapao Thong dan membawa ke goanya.

Tapao Thong diculik dalam keadaan tak sadar diri. Saat terbangun di dalam goa, dia terpukau dengan keindahan di dalamnya. Chalawan yang sudah berubah bentuk menjadi lelaki ganteng berusaha memikat Tapao Thong agar jatuh hati. Sayang seribu sayang, bertepuk sebelah tangan. Tak apa, cinta ditolak, mantra bertindak (bukan dukun lho ya. Dia sudah di dunia gaib, masa’ perlu dukun lagi). Dirapal mantra, Tapao Thong jatuh cinta pada Chalawan dan bersedia jadi istrinya.

Sementara itu, sadar satu putrinya dialap buaya (dialap loh, bukan dilahap), bangsawan Phichit tenggelam dalam sedih-dendam. Dia membikin maklumat bahwa sesiapa yang bisa mengalahkan buaya dan mengembalikan jasad putrinya, maka akan diganjarnya banyak hadiah berharga dan akan dikawinkan dengan putrinya yang lain, Tapao Kaew. Namun, tak seorang pun bisa mengalahkan Chalawan. Krai Thong, seorang lelaki budiman (tanpa sujatmiko) dari Nonthabury, terlatih untuk menaklukkan buaya dan menguasai keterampilan langka ini. Dia dengan sukarela mengajukan diri untuk berupaya mengalahkan Chalawan dan membawa pulang Tapao Thong.

Krai Thong pun berlayar dari Nonthabury ke Phichit. Jaraknya bila dihitung sekitar 315,7 Km ke utara, demikian Oom Gogel bilang. Krai Thong sudah siap menghadapi Chalawan. Dia membawa serta belati sakti pemberian gurunya, Khong (patut diingat, wahai akhi, ini bukan cerita Sun Go Kong, tapi Krai Thong. Kesamaan nama kebetulan belaka).

Facebook Comments
1
2
Artikel sebelumnyaDEMOKRASI; MEMILIH UNTUK DISALAHKAN
Artikel berikutnyaGAGAL HIJRAH, HIJRAH LAGI; TUHAN MAHA ASYIK, KOK…
Riza Bahtiar
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.