AsyikAsyik.Com – Kita sudah dekat dengan musim pemilu, musim pemilihan caleg. Walau sebenarnya baru digelar tahun 2019 nanti, tetapi bau-baunya sudah tercium dan memenuhi ruang-ruang pembicaraan, termasuk ruang media sosial macam fesbuk.

Kita sudah lihat wajah-wajah caleg itu wara-wiri di media sosial. Hhmmm…, melihat wajah-wajah itu, saya seringkali merasa kasihan, namun juga sekaligus menaruh harapan.

Entahlah, mengapa saya harus merasa kasihan (maafkan saya), walau mereka pasti tidak ingin dikasihani (atau barangkali mau dikasihani asal nanti nyoblos nama mereka). Ibarat seorang pelamar kerja, nasib mereka sama dengan pelamar-pelamar kerja di kantoran atau pabrikan; pakai foto wajah, dan ‘surat lamaran’ yang inti isinya sama saja, ujung-ujungnya terbaca seperti memohon, “Pilihlah saya, pilihlah, plis…” Soal bahwa mereka menampilkan (apapun itu bentuknya; kata-kata intelek, quote-quote bijak, gambar-gambar memesona, dll) itu hanya upaya untuk meyakinkan saja bahwa mereka memang merasa layak dipilih karena itu. Sialnya, terkadang itu tidak mempan dan tak berarti apa-apa di mata masyarakat. Yang iya-nya, apa yang mereka lakukan di hari pemilihan. Kalian tahulah itu, yang istilahnya seringkali disebut dengan serangan fajar.

Itu fakta, namun tabu. Atau cuma dibicarakan malu-malu.

Baiklah. Terlepas itu, pernah kita mencoba mendalami apa yang ada dalam benak mereka yang mencaleg itu? Apa tujuannya?

Ya, itu pertanyaan sederhana. Dan jawabannya pun pasti sama, yakni; “Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.” Ok. Sip. Top. Super. Keren. Mereka akan menjadi pahlawan kita. Terima kasih. Ya, kita harus berterima kasih karena ada orang-orang seperti mereka yang mau menjadi “wakil kita” (baca: wakil rakyat) dengan tujuan dan niat mulai seperti itu. Tidak semua orang mau dan berani, kan… Sebagian besar sih mungkin karena nggak ada modal juga.

Ideal. Itulah jawaban yang ideal. “Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.” Tidak ada lagi yang lebih baik dari itu. Karena dengan jawaban itu maka diharapkan tercapai cita-cita; masyarakat yang sejahtera dan bahagia. Harus ada “bahagia”, karena sejahtera belum tentu bahagia. Misalnya sejahtera karena sandang pangan tercukupi, memiliki motor dan mobil, tapi apa bisa bahagia menjalankan mobil di jalan-jalan rusak atau bergerak merayap karena jalan kecil? Apa bisa bahagia bila air leding sering macet dan listrik mati? Apa bisa bahagia bila tidak ada ruang-ruang untuk mengekspresikan diri dan menyalurkan bakat-bakat yang dikandung badan? Apa bisa bahagia bila berobat susah karena pelayanan kesehatan yang tidak baik? Apa bisa bahagia… (silakan ditambah sendiri).

Cukup. Kita kembali lagi ke soal caleg tadi.
Selanjutnya, pertanyaannya adalah; apa sebenarnya yang caleg itu cari?

Itu pertanyaan yang mungkin rada-rada sulit, dan jawabannya pasti beragam alias macam-macam. Yang (sok) idealis, mungkin akan menjawab, “Tidak. Tidak ada yang saya cari. Saya murni hanya ingin menjadi wakil rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.” Persis seperti jawaban di atas tadi. Oke, kita percaya saja…

Apakah mungkin di antara para caleg itu mencaleg karena ingin mendapatkan penghasilan?

Ya, uang, gaji. Jikapun ada yang menjawab seperti itu, ya wajar-wajar juga. Sebab menjadi anggota legislatif, wakil rakyat, itu juga melakukan sesuatu, bekerja. Dengan demikian, wajar dan sudah seharusnya dibayar, digaji. Bodoh, atau kelewat kaya saja yang tidak mau menerima atas apa yang telah ia kerjakan dengan mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, dan waktu. Terlebih lagi bagi para caleg yang memang tidak punya pekerjaan lain—dan mencaleg itu pun lantaran karena ngangur.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang memang sudah kaya, berduit, apakah penghasilan atau gaji itu menjadi salah satu yang mereka inginkan? Ya, bisa saja. Kenapa tidak? Bukankah tidak ada batasan seseorang memiliki seberapa banyak harta kekayaan? Tetapi, untuk caleg yang seperti ini, barangkali mereka lebih ingin agar di masyarakat memiliki “kedudukan” atau status sosial yang lebih terhormat. “Terhormat”, bukankah itu pula yang sering diucapkan orang untuk menyebut para wakil rakyat?

Diakui atau tidak, terkadang masih sering kita dengar orang-orang membicarakan para wakil rakyat atau anggota dewan ini dengan sinis, terkadang nyinyir—terkait dengan apa yang dikerjakannya sebagai wakil rakyat, termasuk juga banyaknya oknum-oknum yang tersangkut perkara korupsi. Namun di sisi lain, masih banyak juga orang yang menginginkan menjadi anggota dewan (bahkan mungkin termasuk mereka yang pernah menyinyiri jabatan ini).

Sekarang, mari kita balik, apakah kira-kira yang masyarakat atau rakyat cari atau harapkan dari para caleg ini?

Untuk pertanyaan itu, saya persilakan kalian yang bukan caleg dan juga bukan wakil rakyat untuk menjawabnya.@