Sam Mukhtar Chaniago (SMC) memberai jalan nasib, takdir Tuhan untuk dihayati dengan lapang dalam buku puisi mutakhirnya yang dirangkum dalam 50 puisi pilihan (TareBooks, Januari 2021 cetakan kedua). Adalah AKU LIRIK LAGUMU KAU LARIK SAJAKKU (ALLKLS) sebagai potret lintas peristiwa yang dibungkus ke alamat cinta. Ya, SMC berpelesir ke ruang kabar, sahabat-sahabat tercinta, pelajaran kehidupan yang memuliakan rasa.

Membaca beberapa puisinya yang berkutat pada intensifikasi dialog di setiap barisnya. Adakah makna intensional yang sebenarnya diburu oleh SMC?

1/

Saya tertarik dengan puisi berpasangan SMC yang membuka kotak imajinasi untuk saling berkelindan. Pernah membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Ahmad Tohari dan diterbitkan perdana pada 1982? Novel yang bercerita tentang selawat asmara antara Srintil si penari ronggeng dan Rasus yang seorang tentara. Tanpa menafikan jalan cerita yang dibuat Ahmad Tohari, SMC menulis sepasang puisi yang dialogis; AHMAD TOHARI TAK LAGI MENCARI RASUS dan RASUS TAK LAGI MENCARI AHMAD TOHARI. Tentu saya tidak akan berpanjang lebar tentang novel tersebut di sini. Mari simak penggalan dua puisi yang saya kutip masing-masing pada baris dan larik terakhir:

ahmad tohari telah menemukan tokoh ceritanya
dia tak lagi mencari rasus
(AHMAD TOHARI TAK LAGI MENCARI RASUS, hal. 4)


akhirnya, rasus telah mendapatkan jalan cintanya
dia tak lagi mencari ahmad tohari
(RASUS TAK LAGI MENCARI AHMAD TOHARI, hal. 5)

SMC menenteng Ahmad Tohari dalam larik puisi dengan keyakinan bahwa Rasus senantiasa mengejar cinta sampai darah menetes dari celah bibirnya. Puisi ini sekaligus kobar yang secara tidak langsung mengabadikan cinta yang tidak ranum. Tentu, ada harga yang dibayar tunai atas segala rasa lewat cinta yang tertinggal. Ketika SMC menulis ahmad tohari terus mengejar angin senja seolah-olah penyair yang lahir 1 Mei 1960 ini menghasut pikiran saya bahwa apa yang dikejar, demi apa cinta diburu adalah sebuah pengabdian manusia yang hidup berdampingan memuja cinta.

Lalu seraya bersedekap SMC yang memulai karir kepenyairan di era 1970-an ini menjentik telinga saya. Adalah larik-larik sajaknya yang seperti membiarkan indera dengar teriris ketika …apakah dia bisa bersama kekasih di hatinya?… Siapa yang bisa membaca telapak cinta dengan seksama? Adakah yang pernah tahu jalan cinta di kilometer usia? Di kilometer sekian dengan cinta tertentu. Lalu kelok sekian, jalan cinta menjadi goyang. Tak ayal, manusia terus mencari–mengetuk pintu untuk mengekalkan cinta.

2/

Puisi setali berikutnya adalah DAMIRI JUMPA CHAIRIL dan DAMIRI MENCARI CHAIRIL yang letaknya bersisian. Bila saya tidak salah menduga nama “damiri” yang dimaksud adalah Damiri Mahmud yang telah wafat pada akhir Desember 2019 di Deli Serdang Sumatera Utara. Ada salah satu bukunya RUMAH TERSEMBUNYI CHAIRIL ANWAR, apakah ini salah satu petunjuk SMC menulis dua puisi yang berdialog?

damiri diam termangu
dalam bilangan pertama
chairil hilang dalam pandangannya
(DAMIRI JUMPA CHAIRIL, hal.21)


damiri terus berusaha mencari chairil
mungkin damiri bisa menemukannya di karet
tempat persembunyian yang terakhir
(DAMIRI MENCARI CHAIRIL, hal. 22)

‘Jumpa’ adalah bertemu dengan seseorang atau sesuatu sedangkan ‘mencari’ adalah berusaha menemukan (mendapatkan), sementara SMC mencoba mendialogkan damiri dan chairil agar bersitatap dalam satu ruang; dalam baris-baris teks.

Berulang saya membaca …damiri terus saja mencari di unggun timbun sajak/ chairil terus berlarilari saja/ di selebar halaman sajak-sajaknya// kemana chairil bersembunyi, kemana damiri mencari, menapaki petilasan-petilasan sajak? sampai jengkal demi jengkal kata tertelusuri hingga ke peristirahantan terakhir di Karet Bivax.

SMC mengekalkan dirinya ke bilik estetis dalam kelambu cinta yang menguntai sepanjang masa. 60 tahun usia yang membentang telah mengantarkan dirinya sebagai insan yang mengejawantahan ekspresi, meleburkan kerinduan, dan merawat perasaan menolak renta. Semua puisi dalam ALLKLS ditulis pada rentang titimangsa 2017-2020 relatif senapas dalam pengungkapan terlepas ada atau tidaknya argumentasi puitik, terlepas ada atau tidaknya permainan kata. Saya melihat vista puisi mengalir dengan datar, pilihan kata yang sesak dengan perjalanan yang lebih setengah abad menjadikan puisi-puisi di sini cukup berlapis pemaknaan, pemahaman khusus atas bait-bait interteks yang menggoda untuk ditelisik.

3/

Hal lain yang didialogkan SMC dalam ALLKLS yaitu perjalanan spiritual, jejak religiusitas yang bertranformasi ke pengalaman nonfisik. Rekonstruksi cerita yang diadon SMC dalam baris sajak menambah cita rasa sendiri ketika ingatan, peristiwa, dan kenangan diterjemahkan dengan diksi-diksi yang lugas, tentu jauh dari kesan arkhais.

Selain yang saya sebut di atas ada nama lain yang sengaja dilemakan oleh SMC untuk diseru-seru yaitu Rendra, Asrizal Nur, Roymon Lemosol, Romi Sastra, Sahaya Santayana. Ketimpangan sosial yang senantiasa dihembuskan oleh sesama penyair di belahan dunia, ikhwal keprihatinan selalu sensasi menjadi buah bibir yang tak jemu untuk disuarakan. Sebagaimana tamsil manusia yang turun temurun memiliki ruas, vista, dan batas maka setiap penyair yang sudah diuji waktu tentu akan memiliki kekhasan. Puisi-puisi SMC tidak melakukan akrobatik kata yang membebaskan makna dari kata.

Demikianlah SMC berdialog, menyuguhkan kesederhanan sehingga segmen penikmat puisinya tak terbatas. Ada satu kredo kecil dari puisinya yang berjudul AKU TERUS SAJA MENULIS PUISI, berkali-kali saya hayati dan menjadi simpul akhir yang akan dikalungkan ke leher penyair SMC. Ya! penyair istiqomah.

aku terus saja menulis puisi
walau senja membiarkanku pergi
menata diri []

 

Banjarbaru rain,
medio januari 2021

Facebook Comments