MENGHADIRKAN dua pemantik, Sutarto Hadi dan Sainul Hermawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), diskusi buku kumpulan cerpen “Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi” karya Sandi Firly berlangsung meriah dan mencerahkan, Sabtu (11/3/2023).

Ruang diskusi d Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, penuh sesak dengan peserta yang merupakan mahasiswa Bahasa Indonesia ULM.
Dipandu moderator Nailiya Nikmah dari Dewan Kesenian Banjarmasin selaku penyelenggara dengan dimotori Atin Septiana, acara terlebih dulu dimulai dengan penampilan musik kelompok Ugahari yang membawakan  3 lagu mereka sendiri dengan lirik puisi Nailiya dan Hajri serta dari cerpen Sandi.

Setelah penampilan apik dan memukau dari Ugahari, diskusi dimulai dengan pemaparan oleh Sutarto Hadi.

“Saya membaca buku ini pada suatu pagi ketika istri sedang memasak untuk sarapan. Indah sekali hidup ini, kan..,” buka Sutarto, yang langsung memberikan gambaran suasana di pagi itu. Beliau duduk membaca di meja makan, sementara istri menyiapkan sarapan.

“Begitu sarapan siap, saya sudah menyelesaikan setengah dari buku ini. Setelah menyelesaikan sarapan, saya menyambung membaca hingga selesai,” ucap Sutarto.

Kemudian Sutarto mengisahkan apa yang ia peroleh dari membaca buku kumcer Sandi Firly itu.

“Ini buku sastra yang bagus. Setiap menyelesaikan satu cerpen, saya berpikir bagaimana Sandi bisa memperoleh imajinasi dari ceritanya itu dan menuliskannya dengan sangat baik. Saya atau mungkin kita tak pernah membayangkan, bagaimana misalnya Sandi menghadirkan cerita yang menggetarkan tentang seorang ibu yang kehilangan anak dalam cerpen Senja Kuning Sungai Martapura. Mungkin itu pengalamannya saat menjadi jurnalis,” papar Sutarto.

Lalu, lanjutnya, Sandi juga entah bagaimana mampu mempertemukan tiga penyair besar dalam suatu ruang kafe dan berdialog tentang cinta pada cerpen yang menjadi judul buku ini.

“Tidak mungkin penyair Chairil bisa bertemu Sapardi dan Sutardji, tapi Sandi mampu mempertemukannya. Itulah kekuatan imajinasi,” cetus Sutarto.

Dan dari keselurahan cerpen di buku itu, Sutarto mengaku paling menyukai cerpen Malam Melepas Seekor Api. “Ini cerpen yang sangat bagus. Dan saya berpikir cerpen semacam ini harusnya tampil di koran Kompas. Tapi, pas saya baca di sumber tulisan di belakang, ternyata cerpen itu memang pernah terbit di Kompas,” ucapnya sambil tersenyum.

Sebagai seorang penikmat karya sastra, Sutarto yang baru saja usai menjabat Rektor ULM ini menyimpulkan, “Bila sarapan tadi mengenyangkan perut saya, maka membaca buku Sandi mengenyangkan batin saya,” katanya.

Perihal cerpen “Dicari; Pencuri Tiga Telur Angsa” yang ditulis Sandi terinspirasi dari status FB Sutarto saat menjabat rektor pada tahun 2016, Sutarto menyebut cerpen itu sangat menghibur.

“Saya sebenarnya sangat sedih ketika telur angsa itu dicuri, namun ketika membaca cerpen Sandi tentang itu, saya merasa terhibur. Meskipun akhir cerita tak sama dengan kenyataan, tapi itulah kebebasan imajinasi dari penulisnya,” ucap Sutarto, yang pada kesempatan itu juga membayarkan 10 eks buku Sandi untuk diberikan kepada peserta mahasiswa yang bertanya.

Sainul Hermawan, dosen pengajar kritik sastra, dalam kesempatan kedua bicara mempertebal pernyataan Sutarto Hadi.

“Jadi, apa yang disampaikan oleh Pak Sutarto, itulah gunanya membaca karya sastra. Karya sastra membuat kita berpikir, memberikan kekayaan imajinasi, serta mengenyangkan batin kita,” ujarnya di hadapan mahasiswa.

Ia mengingatkan pentingnya membaca di tengah beragam konten di media sosial sekarang ini. “Membaca tidak hanya aktivitas dengan buku, tapi mengakses konten di medsos yang memberikan pengetahuan dan wawasan juga adalah aktivitas membaca. Karena itu jangan sampai kita lebih banyak menikmati konten yang tak berguna dan tak memberikan apa-apa,” ujarnya.

Sementara Sandi Firly menceritakan tentang proses kreatif dari beberapa cerpennya.

“Misal pada cerpen yang menjadi judul buku ini, itu bermula dari saya membayangkan bagaimana seandainya Chairil, Sutardji, dan Sapardi bertemu, dan apa kira-kira yang mereka bicarakan,” katanya.

Atau pada cerpen Dicari; Pencuri Telur Angsa, Sandi mengaku merasa tergelitik dengan status FB Pak Sutarto sehingga menjadi sebuah cerpen. “Kala itu saya tulis dengan semangat humor. Sebab bagi saya, seorang rektor membuat sayembara untuk menemukan pencuri telur angsa, itu unik dan menarik,” bebernya.

Sedangkan cerpen Malam Melepas Seekor Api yang menjadi kesukaan Sutarto, Sandi mengaku itu adalah cerita dari kampung halamannya di Kalimantan Tengah.

“Nama Balipat dalam cerpen itu, memang benar ada dan menjadi tempat lokalisasi, tempat sebagian besar anak muda di kampung saya melepaskan keperjakaannya di sana,” kisahnya.

Semakin seru ketika diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Dan sebelumnya, Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin Hariansyah juga menyampaikan, bahwa  menghadirkan Sutarto Hadi yang seorang sains menjadi sangat menarik.

“Kita bisa mendapatkan pemahaman baru bagaimana sastra dibaca oleh seorang yang keahliannya di bidang sains,” ucapnya.

Acara diakhiri dengan pemutaran film pendek produksi asyik-asyik.com yang diangkat dari cerpen Sandi berjudul: “Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagu.” @