Beberapa hari ini, Gustam tak menyalakan televisi. Kotak bercahaya itu nyaris memecahkan gendang telinganya. Dari dalam benda yang tak lebih besar dari tubuh anak kecil itu, puluhan mulut berebut mengumbar ribut. Kata-kata berjumpalitan sampai kehilangan makna, sampai tak bisa dibedakan lagi mana suara manusia mana suara binatang. Semua menyerupai auman, salakan, cicit, dan koak hewan-hewan.
Tidak ada manusia di televisi hari ini, kemarin, dan barangkali sejak jauh hari.
Ia hanya duduk mematung menghadap layar datar yang gelap dan berdebu. Kepalanya belum segar betul. Ia baru beberapa puluh menit tiba di rumah selepas melewati perjalanan yang keparat dari kantor ke rumah. Ratusan kendaraan memadati jalanan seperti segerombolan laba-laba dijatuhkan dari langit. Salah satu laba-laba itu adalah mobil sedan silver kepunyaan Gustam. Ia telah keluar dari tubuh laba-laba itu dan kini di atas kepalanya laba-laba sungguhan diam-diam sedang membuat sarang.
Ia tak peduli.
Gustam sedang memutar sendi leher ketika suara desis muncul dari arah pintu. Pintu itu setengah terbuka dan memungkinkan benda apa saja yang seukuran celah udara memasuki ruangan tanpa kendala.
Seekor ular bermotif kacau—kulit hijau tua dengan sekujur tubuh seperti ditempeli dedaunan tua yang diinjak-injak—melaju mulus. Ular itu bergeming di kaki sofa. Lidahnya menjulur-julur menampakkan daging lunak merah muda yang tipis dan basah. Desisannya seperti alun angin yang tak dapat diabaikan. Hanya satu-dua jengkal dari kepala ular itu, sepasang kaki Gustam yang masih bersepatu diam tegak dan tegang.
Gustam menengok. Ia kaget setengah mati tatkala menemukan ular sebesar lengan anak kecil dengan panjang sekira satu setengah meter sedang memandanginya serupa predator menanti kelengahan mangsa. Ular itu memanjang seolah sengaja mempertegas kehadirannya kepada Gustam.
Ia bangkit dari sofa dan berlari mengambil tongkat yang tersandar dekat rak sepatu. Di dalam lemari khusus dalam kamarnya ia menyimpan senapan, di dapur tiga bilah pisau tajam menganggur, dan bor listrik tergeletak tak jauh dari dapur. Namun, ia merasa tongkat sudah cukup. Bagaimanapun, apa yang sedang dihadapinya hanyalah seekor ular. Bukan harimau, perampok bersenjata, atau seorang psikopat yang kabur dari rumah sakit.
Dengan ketangkasan seorang pekerja yang tengah dirundung letih, Gustam menghantamkan tongkat ke bagian tengah tubuh ular. Kena. Hewan itu menggeliat, perutnya gepeng, koyak, dan isinya berhamburan.
Ia pikir tongkat yang mencumbui tubuh ular dengan telak dapat menyelesaikan semuanya. Ia keliru.
Ular itu memang menggeliat seperti sekarat, tubuhnya koyak seperti baju tersangkut kawat, dan isi perutnya muncrat. Namun, ular itu tidak mati. Dari dalam perutnya, ular-ular baru seukuran anak lindung justru bermunculan. Ular-ular itu berjumlah lebih dari dua puluh dan entah terkena efek apa hanya dalam hitungan detik tubuh mereka menggemuk dan memanjang. Terkoyak satu, tumbuh dua puluh.
Gustam mundur teratur sambil menggeleng-geleng. Bulir-bulir keringat berguguran dari kening dan lehernya. Kini ruang depan rumahnya terlihat serupa penangkaran ular. Dua puluhan ular merayap ke berbagai arah. Dua puluhan ular mendesis hingga menimbulkan kebisingan yang asing.
Salah seekor ular merambati dudukan televisi, dan dengan ujung kepalanya yang keras berhasil menekan tombol power. Televisi menyala dan seketika kebisingan tambah meraja. Gustam ingin menutup telinganya, tapi urung kala didengarnya cuap-cuap dari layar kotak bercahaya itu. Suara-suara yang telah berusaha ia jauhi. Namun kembali hadir tanpa diundang.
“Pada Pemilu kali ini dilaporkan sebanyak 119 petugas KPPS mening—“
Seekor ular yang lain merambati televisi dan menekan tombol pengganti kanal.
“Kami curiga KPU melakukan kecurangan. Tidak boleh ini. Kami terima siapa saja yang nanti bakal terpilih. Kami terima kalau kami kalah. Asal bukan dengan cara curang. Kalau terbukti ada kecurangan, maka kami akan—“
Seekor ular lain merambat.
“KPK kembali menciduk seorang wali kota yang tertangkap basah sedang—“
Ular lain merambat. Ular-ular lain merambat. Dalam sekejap layar televisi tertutupi puluhan ular yang saling bertumpuk dan menyemut. Sebelum padam dan sepenuhnya berubah menjadi sarang ular dadakan, layar sempat menayangkan sosok dua calon penguasa yang namanya ramai dibincangkan beberapa waktu belakangan. Lalu, suara dari televisi tak lagi terdengar, kalah oleh desis ular-ular.
Dari jarak sekitar lima meter, sambil memegangi gagang pintu kamar, Gustam menyaksikan pemandangan itu dengan takjub. Ular-ular sedemikian banyak yang kini merubungi televisi. Ular-ular itu terus mendesis dengan desisan yang kian nyaring. Ia berpikir untuk menerobos kamar, mengambil senapan, lalu dengan cepat menembak ular-ular itu. Tapi ia tak yakin rencananya tersebut berjalan lancar. Bukan mustahil ular-ular itu akan kembali menghamburkan isi perutnya dan mengeluarkan benih-benih ular baru. Memikirkan kemungkinan ratusan ular memenuhi rumahnya membuat Gustam bergidik. Dua puluh ekor saja sudah membuatnya pening bukan kepalang. Apalagi ratusan.
Ia masih memandangi atraksi puluhan ular itu. Mereka merayap dan memutari badan televisi seakan-akan benda itu adalah bangkai seekor rusa yang gemuk dan lezat. Desis para ular semakin menggeremeng dan itu bikin kepala Gustam rusuh. Ia sangat terganggu dengan suara itu. Ia selalu terganggu dengan suara-suara bising. Itulah sebabnya ia mematikan televisi beberapa hari terakhir, membenci jalanan, menonaktifkan ponsel dan hanya mengaktifkannya kembali pada waktu pagi dan malam, berhenti mendengarkan musik, dan enggan bergaul dengan orang-orang yang berisik.
Belakangan semua orang menjadi begitu berisik. Bicara apa saja. Dari yang tidak penting hingga yang sangat tidak penting. Dari perkara rumah tangga, agama, ekonomi, hingga politik dan politik dan politik. Itu pula mengapa Gustam jarang keluar dan memilih berdiam diri di dalam rumah. Pada waktu seperti itu kata-kata seorang filsuf Prancis yang acap ia dengar dan baca berseliwer di dalam kepalanya. “Neraka adalah orang lain. Neraka adalah orang lain. Neraka adalah orang lain.” Dan Gustam meyakini betul kata-kata itu.
Beberapa menit berlalu dan ular-ular itu tak juga berhenti bergerak dan mendesis-desis. Sesungguhnyalah Gustam hendak melihat ular-ular itu dari dekat. Tapi ia masih terlalu berhati-hati. Bagaimanapun segerombol ular adalah segerombol ular—yang bisa menjemput ajalnya lebih cepat. Ia tak mau mati konyol dicabik-cabik puluhan ekor ular di dalam rumahnya sendiri.
Lamat-lamat, ia menemukan keanehan di sana. Di sekitar area televisi. Ular-ular itu masih berkerumun. Namun, jumlah ular itu berkurang. Semakin lama kerumunan itu semakin sepi. Ular-ular itu seperti terisap. Terisap masuk ke layar televisi yang tengah mati.
Gustam terbengong-bengong menyaksikan segerombolan ular itu telah lenyap begitu saja. Lenyapnya mereka secepat kemunculan mereka yang begitu tiba-tiba beberapa menit silam. Setelah meletakkan tongkat kembali ke tempatnya, Gustam mendekati televisi dan meraba-raba layarnya. Tak ada yang ganjil. Layar itu masih sama mulus dengan sebelumnya. Sedikit debu menempel di telapak. Tapi, ada yang tak lumrah di telapak Gustam. Selain debu, kelupasan sisik ular tercampur di antara debu itu.
Ia kembali mundur, duduk di sofa, dan menarik napas dengan perlahan-lahan. Di atas meja di depan sofa remote televisi tergeletak bersebelahan dengan asbak batu yang kosong. Ia meraihnya dan tak bisa menahan diri untuk memencet tombol power. Cahaya terbias dari layar dengan gegas. Suara-suara meyusul segera.
Muka Gustam memucat. Ia tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya di dalam layar.
Ia menekan-nekan tombol remote, mengganti-ganti saluran televisi, tapi tetap saja apa yang dilihatnya tak berubah. Kening Gustam berkerut dan mukanya kian pucat. Semua televisi itu menyiarkan gambar yang sama dengan latar suara yang sama pula. Gambar puluhan ular berjubel sambil mendesis. Di antara ular-ular itu ada yang berdasi, berpeci, berlencana, berseragam, berbaris, berkerumun, dan berteriak-teriak—masih dalam bahasa seekor ular. Ular-ular itu tampak riuh, ricuh, ribut, dan seperti hendak baku hantam.
Gustam berdiri dari sofa. Televisi ia biarkan menyala. Ia menuju ke dalam kamar. Berbelok ke kanan, membuka sebuah lemari kayu kecil yang terkunci, mengambil sepucuk senapan. Senapan itu sudah erat di genggaman tangannya yang gemetar. Ia berjalan keluar kamar, menghampiri televisi, mengarahkan moncong senapan ke layar. Membidik ular-ular di dalam layar. “Kurasa aku harus tembak yang berdasi sekaligus berpeci itu dulu. Ia yang paling berisik,” ujar Gustam dalam hati. Senapan telah dikokang. Target telah dibidik. Sebuah letusan terdengar. Kemudian letusan-letusan lain. Disusul desis-desis yang teramat ramai. Televisi sudah mati. Layarnya berwarna merah darah.
Gustam telah benar-benar mematikan televisi. Ia berharap, setelah ini tak lagi ada bising. Tak lagi ada suara-suara yang membuat kepalanya nyaris meledak.@