SAYA pertama kali mendapat kabar mengenai berhenti terbitnya halaman sastra di Harian Radar Banjarmasin dari seorang kawan karib. Dia adalah kawan yang sama yang merintis reputasi kepenulisannya dari Cakrawala Radar Banjarmasin puluhan tahun silam. Yah, benar sekali, saya dan beberapa kawan penulis (perempuan) ditahbiskan oleh halaman sastra ini. Saya mengenang itu sebagai masa-masa kompetitif yang menyenangkan sekaligus menyebalkan.
Redaktur halaman sastra waktu itu, Sandi Firly, bukanlah lelaki yang terlampau baik. Ada beberapa tulisan, fiksi dan nonfiksi saya dan kawan-kawan yang telah ditolaknya. Bahkan cerita salah seorang junior saya waktu kuliah yang selalu diulang-ulangnya sebagai sebuah joke menertawakan diri (kami) sendiri yang cukup epik dari dulu hingga sekarang adalah komentar sang redaktur terhadap salah satu cerpennya, “Aku tidak tega menerbitkan cerpenmu ini karena akan mempermalukan aku dan dirimu sendiri.” Touche, itu komentar yang dulu akan terasa sangat pedih, tapi seiring berjalannya waktu kami sadar tanpa komentar-komentar macam itu barangkali kepenulisan kami takkan pernah bertumbuh.
Hal lain yang juga patut dikenang dari masa-masa itu adalah honor menulis. Saya lupa kesenangan macam apa yang kami rasakan dengan honor-honor itu (kenapa saya bisa lupa ya) yang jelas honor adalah duit dan duit sangat berarti bagi mahasiswa macam kami. Saya juga ingat, dosen saya waktu itu, Bapak Sainul Hermawan yang budiman suka sekali mengambil honor menulisnya dengan sistem rapel. Bayangkan jika Beliau menulis sepuluh artikel sebulan, berapa duit yang berhasil dikumpulkan. Tapi toh honor si Bapak juga habis dia pakai buat mentraktir saya dan kawan-kawan. Hehe.
Sastra media massa menurut saya adalah salah satu penanda kondusifnya iklim sastra di suatu kawasan di samping penanda-penanda lain seperti maraknya penerbitan buku sastra, diskusi sastra, dan lainnya. Di Kalimantan Selatan kolom sastra media-media massa seperti Radar Banjarmasin dan Banjarmasin Post, kontinuitas gelaran Aruh Sastra, serta eksistensi penerbitan buku sastra oleh penerbit lokal seperti Scripta Cendikia atau Tahura Media telah membangun kondusivitas sastra. Sastra Kalimantan Selatan, meski kadang diiringi banyak keluh kesah, tetap hidup berkecukupan, jika tidak bisa disebut makmur. Ia menghirup oksigen dengan cukup leluasa, tidak sesak napas apalagi megap-megap.
Kembali ke halaman sastra Radar Banjarmasin, bagi orang seperti saya, atau beberapa gelintir lainnya yang tidak terlalu memikirkan atau berkeinginan mengirimkan tulisan ke media nasional bereputasi macam Kompas, atau Jawa Pos misalnya, akan merasakan betapa berarti dan agungnya halaman sastra Radar Banjarmasin itu. Ia adalah pemenuhan hasrat menulis yang lebih dari cukup. Menulis dan dibacanya tulisan oleh orang-orang yang memang kita ingin agar mereka membaca apa yang kita tulis adalah sebuah pencapaian tertinggi bagi orang-orang kecil macam saya.
Saya ingat betapa ungah-nya kami para penulis perempuan sezaman, Nailiya Nikmah, Rahmiyati, Ratih Ayuningrum, Rismiyana, atau Syafiqotul Mahmudah, jika puisi, cerpen, atau esai kami dimuat di halaman sastra Radar Banjarmasin. Kami akan memproklamirkan itu dengan tujuan terselubung untuk membuat iri sesama kami. Bagi kami, menulis di halaman sastra itu merupakan proses heroik menjadi lebih cerdas dan berperadaban. Proses yang mengubah kami pada akhirnya.
Saya mencatat, teman-teman yang sering menulis di halaman sastra Radar Banjarmasin itu hari ini sebagian besarnya masih tetap menulis, menerbitkan bukunya sendiri, dan untungnya, menjadi manusia yang cukup berguna. Jika tulisan bisa menunjukkan masa depan seseorang, barangkali peristiwa tulisan yang jatuh bangun di Cakrawala Radar Banjarmasin dulu itu cukup menunjukkan tanda-tandanya. Tanda kecemerlangan si penulis, dengan izin Tuhan.
Agaknya proses menjadi makhluk berguna bagi mereka yang menulis di halaman sastra Radar Banjarmasin ini juga berlaku bagi generasi-generasi setelah kami. Saya sendiri kurang mengikuti perkembangan karena setelah redaktur yang lama bermigrasi ke Media Kalimantan, tulisan saya ikut bermigrasi ke sana. Dalam periode yang cukup lama, bakteri (amit-amit, saya lagi alergi menyebut virus) malas menulis menggerogoti saya. Hingga setelah Media Kalimantan rest in peace, saya tidak pernah lagi mengirimkan tulisan ke media massa manapun. Saya hanya menulis untuk kepentingan yang sifatnya pragmatis, betapa titik nadirnya.