/1/

Novel Augustan yang diterbitkan oleh Scripta Cendikia pada Agustus 2019 memiliki tebal 560 halaman cukup mengerutkan kening pembaca. Bukan hanya ketebalan, esensi yang dihadirkan oleh penulisnya juga memberai firkah-firkah persepsi.

Ada jiwa yang senantiasa berontak dalam novel ini, suara lantang nan nyaring terasa hambar ketika tokoh sentral Syahnur menguraikan duka laranya. Syahnur adalah putri keluarga adat di banua yang tersebar, terdiri 80 keluarga adat. Menikah di usia belia, sangat muda sekali. Syahnurmemiliki genetika kecerdasan yang mengalir deras di darah birunya. Tidak hanya itu, Syahnur diceritakan juga sangat menarik, ia mudah menempatkan diri. Pandai bergaul, dan cekatan.

Syahnur menikah dengan Zulfikar Ardiansyah di usia 15 tahun, pada perjalanan hidupnya berhasil menghalau dukanya. Cinta tumpang tindih menggerogoti hasratnya sebagai insan.Ia melanjutkan pendidikan, mendewasakan diri. Tak ada yang lebih berat melawan kemiskinan jiwanya yang kerontang.

Persoalan bertandang saat Zulfikar Ardiansyah yang tertukar dengan Zulfikar Ardiansyah palsu menjadi seorang penguasa kota, menjadi wali kota. Pada titik ini dituturkan Zulfikar, suka main perempuan.Ia bisa mencumbu wanita di sembarang tempat. Suatu hari, ia menikah dengan Maysarah yang memiliki keluarga adat Bakumpai. Dan bercerai dengan Syahnur.

Ada nama-nama yang bersliweran dalam cerita Augustan mulai para amang yang bertidak sebagai penjaga keluarga adat, antara lain Amang Ihlas, Amang Usai, Amang Kapau, dan lain-lain. Kemudian muncul tokoh figuran, seperti Acil Imai, Ibu Yusie, Makacil Amnah, Rusfian, dan masih banyak nama-nama lain.

Setelah Syahnur bercerai dengan Zulfikar Ardiansyah, di kenduri pesta yang menyedot ribuan orang bertandang.Ia bertemu Savas Ali, seorang tentara yang wajahnya seperti lukisan. Jodoh tidak ada yang tahu kapan datangnya. Ketika takdir mempertemukan seseorang yang kita anggukkan maka jadilah jodoh yang terbaca dalam pemahaman yang datar. Pembaca akan iri dengan pertemuan antara Syahnur dan Savas Ali. Bahkan di saat Savas Ali ingin mempersunting Syahnur. Diceritakan Syahnur menatap Savas Ali dengan harapan mendalam.Matanya berkaca-kaca.Mendadak Savas Ali memeluknya, menciumi bibir dan dadanya.Syahnur mengangguk dan menangis dalam pelukan Savas Ali. Saat pertama kali menyebutnya Nyonya Syahnur, walau dia tak sanggup menceritakan bahwa ini adalah pilihan yang tak bisa ditolak, kecuali Syahnur akan kehilangan Savas Ali untuk selamanya. Syahnur merasakan cinta mereka adalah cinta orang dewasa, yang sudah memahami pilihannya. Bagi Savas Ali, Syahnur adalah penggoda yang terlatih dan Savas Ali tidak mampu menertibkan gairahnya.

Savas Ali mulai menciumi dan membasahi cintanya pada tubuhnya.Syahnur senantiasa mengharapkannya, Savas Alipun membayarnya.Mereka bergerak ke kamar Syahnur dan melepaskan dahaga rindu dan saling menerima.

Naidee secara tidak langsung berhasil menghasut pikiran saya sebagai penyimak untuk berselancar, ke buih-buih dahaga cinta. Lautan cinta yang tak bertepi. Tanjung cinta yang berpalung di kedalaman hati. Ubun-ubun rasa berhasil menggugah imajinasi, berkelana ke pelatar rindu.Suasana yang paling curam, tak terjangkau ukuran. Membebaskan rasio dan mengetuk hati secara pelan. Saya sempoyongan, pikiran saya seperti meronta-ronta membaca bait-bait paragrafnya.

/2/ 

Sejatinya, Penulis Naidee adalah penulis memoar yang memberangkatkan kenangan, ingatan yang membekas dalam novelnya. Saya acap tersipu, membaca narasi yang begitu menggelora. Maka, penting kiranya memberi label sasaran pembaca atau memoles bahasa agar tidak terkesan vulgar tanpa menanggalkan misi yang akan diusung. Saya kira tanpa memandang suku, semua manusia memiliki hasrat yang sama, kadarnya saja yang bertingkat. Mengangkat budaya Banjar dari pakem tradisi yang mengakar, tidak sekadar memasukkan semua memoar. Ada kontemplasi yang bertahap, mau tidak mau melalui proses yang sedemikian panjang dan selektif. Tidak hanya diksi, tapi kerenyahan cerita yang tidak patah-patah.

Dengan menitikberatkan pada hasil karya dan sang kreatornya maka secara ekspresif apa yang ingin diungkap oleh Naidee berangkat dari pengalamannya yang secara biografis bersentuhan dengan kehidupan nyata sang penulis.

Apakah benar orang Banjar sulit bersuara? Apakah benar orang Banjar malas berdebat?Apakah benar orang Banjar pasrah saja menerima apapun, sebagai jalan Tuhan?Apakah pernah orang Banjar duduk bersama menghadapi persoalan Bangsa?Apakah orang Banjar begitu apatis dengan jalan Tuhan?Adakah orang Banjar yang benar-benar teruji dan mampu menghadapi persoalan bangsa secara sungguh-sungguh?

Beban memoar yang dipikul Naidee cukup menjentik telinga saya untuk mendengar.Apakah sedemikian adanya, suasana yang terjadi dan mengakar di masyarakat Banjar?Maka, bagaimana mungkin Banjar memiliki suara dan mempunyai suara?Kenyataan yang ada adalah orang Banjar suka mendengar, senang mewarung.Kegiatan turun temurun dan sudah menjadi siklus berakibat orang Banjar malas membaca.Sementara, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah bacaan-bacaan yang mereka asup.Orang Banjar yang memiliki tradisi mewarung akhirnya hanya memiliki taraf di kelas komentator.Pikirannya terkerangkeng dari bahasan ujar ke ujar.Dari mulut ke mulut, lalu dikomentari ulang.Sementara dunia terus bergerak, dan berkembang.Akhirnya, orang Banjar tidak memiliki perspektif sendiri.Orang Banjar pada kenyataannya adalah mimesis genetik yang santuy.

Harus lapang dada ketika bahasa Banjar yang telah mengakar dalam tubuh kerajaan Banjar sekitar tahun 1527, secara leksikostatistik hanya sampai pada morfologi.Suku Banjar yang kita bangga-banggakan, yang gaungnya hingga ke beberapa negara kandas ke dalam mitos dan cerita-cerita saja.Dalam kurun 20 terakhir ini, ramai tematik kenduri yang mengusung Mengangkat Batang Terendam pada riilnya tidak terangkat-angkat.

 

/3/

Facebook Comments