SEMASA menempuh S1, saya pernah mempresentasikan corak drama bergenre ‘tragedi’ karya Shakespeare di kelas ‘Play Performance’. Bagi yang pernah mempelajari drama-drama klasik Inggris, tentu sudah tahu bahwa salah satu ciri paling menonjol dari drama Shakespeare bergenre ‘tragedi’ adalah endingnya, yakni ‘kematian’. Sebutlah ‘Romeo and Juliet’ atau ‘Anthony and Cleopatra’. Keduanya memiliki ending yang sama. Baik kisah cinta Romeo dan Juliet maupun Anthony dan Cleopatra sama-sama harus diakhiri dengan ‘kematian’.

Selama mempersiapkan presentasi ini, saya bertanya-tanya di dalam hati, mengapa ending-ending dari karya tragedi milik Shakespeare harus selalu berupa ‘sad ending’? Dan mengapa tokoh utamanya harus ‘mati’? Kalaupun ingin menonjolkan sisi tragedinya, kenapa harus dengan ‘kematian’? Bukankah perpisahan dalam percintaan tidak harus selalu dengan ‘kematian’? Akhirnya, setelah merenung, sehari sebelum presentasi, saya temukan jawabannya:

‘Tidak ada tragedi yang paling pahit kecuali perpisahan akibat kematian’.

Belakangan ini, setiap hari rasanya hidup saya sesak oleh berita kematian, baik yang dikumandangkan melalui pengeras suara di mesjid dekat rumah maupun disiarkan di media sosial. Kini, mobil-mobil ambulance yang berseliweran di jalanan merupakan pemandangan yang begitu akrab. Mereka terlihat beriringan membawa jasad yang tak lagi bernyawa, sepanjang hari, sepanjang waktu. Penyebab kematiannya tidak melulu karena virus yang acap kali kita lafalkan dan dengarkan akhir-akhir ini, tetapi banyak pula yang tanpa aba-aba alias mendadak.

Satu per satu ulama berpulang. Sanak saudara, kerabat, tetangga, suami, istri, muda dan tua kembali ke hadirat-Nya. Ada yang selang 40 hari kehilangan suaminya, harus kehilangan kakak iparnya lagi. Ada yang baru 3 hari kehilangan ayahnya, harus kehilangan kakeknya. Bahkan, ada yang harus kehilangan ibu dan ibu mertuanya di hari yang sama. Sungguh, rasanya overwhelm sekali.

Hingga detik itu, ‘kematian’ tampaknya tak asing meski masih memberikan cekaman yang sama. Sampai akhirnya, saya tiba di satu titik yang terasa benar-benar seperti tragedi. Ya, kematian menjemput paman saya. Tentu, berita kematian orang lain atau kolega dan berita kematian keluarga sendiri rasanya jauh berbeda bukan?

Kami pun bertolak ke Amuntai untuk memberikan penghormatan terakhir kepada paman yang merupakan adik kandung ayah. Sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, kakak sepupu saya yang merupakan anak pertama beliau tampak tak mampu membendung air mata. Ia menangis sejadi-jadinya memandangi jasad sang ayah yang tak bernapas lagi. Ah, bukankah air mata yang melimpah ruah merupakan bukti dari tragedi? Arkian, pemandangan itu membangkitkan kenangan 18 tahun silam ketika ayah saya meninggal.

Bagi orang yang belum pernah merasakan kehilangan orang tua di usia anak-anak, mungkin tulisan ini dianggap terlalu ‘drama’ dan ‘emosional’. Sebab, biasanya rasa empati tidak akan muncul jika kita belum pernah berada di posisi yang sama. Pada saat itu, saya hanya berdiam diri memandang pusara ayah. Ibu dan keempat kakak laki-laki saya berdiri melingkari pusara tersebut. Dengan air mata yang masih menetes di wajah mereka, kami melantunkan Surah Yasin dan doa. Jujur, kala itu saya ingin sekali menangis (agar terlihat sama dengan yang lain), tetapi saya tidak bisa. Air mata saya tidak keluar sama sekali. Orang-orang masih memandangi saya dengan sayu, mungkin juga kasihan. Secara bergantian, mereka memeluk saya sambil berujar ‘Sabar ya, Nak. Jangan lupa doakan abah selalu’.

Saya tidak mengerti kenapa orang-orang harus menyabari saya. Berkali-kali saya mencari jawabannya, namun tidak ketemu. Yang saya pahami waktu itu hanya satu: Faktanya, ayah saya telah tiada. Dampaknya? Saya tidak tahu. Nalar bocah saya tak mampu mengupasnya. Apakah saya sedih? Tentu saja. Tetapi, apakah saya benar-benar bisa memaknai kesedihan itu? Tampaknya tidak. Di usia tersebut, rupanya saya hanya bisa merasakan kesedihan, tetapi belum mampu memaknainya secara mendalam. Mungkin, itu pula yang menyebabkan saya tidak menangis sama sekali saat saya menyaksikan jasad ayah dimasukkan ke liang lahat. Saya belum tahu bahwa ini adalah sebenar-benar “tragedi”.

Perjalanan waktu dan pertambahan usia mematangkan pikiran ini. Perlahan, saya mulai mampu menerjemahkan kesedihan dan rasa iba yang orang berikan di hari kematian ayah. Apalagi setelah 18 tahun berlalu. Air mata para pelayat yang terbit di hari Senin yang suram itu semakin jelas maknanya. Itulah rupanya yang disebut sebagai ‘tragedi’. Ya, memangnya apa yang bisa dilakukan di saat kita sudah dipisahkan oleh kematian? Sekuat apapun mencari, ia tidak akan ditemukan. Sekuat apapun menunggu, ia tidak akan kembali. Bukankah itu pahit sekali?

Sejatinya, berita kematian membangunkan kesadaran kita bahwa dunia ini fana.

Kita juga sadar, bahwa waktu bersama orang-orang terkasih sangatlah berharga. Lebih dari itu, kita semakin yakin bahwa Tuhanlah yang Maha. Tak perlu menunggu lama, tak perlu banyak wacana, jika Ia sudah merindukan kita, malaikat maut yang diutusnya akan tiba saat itu juga. Ya, kematian tidak pernah bisa diduga. Ia menutup rapat-rapat pintu kompromi, karena itu bukanlah otoritasnya.

Selayaknya gelap dan terang serta dingin dan panas, pertemuan dan perpisahan adalah sebuah keniscayaan. Pertemuan mesti menerbitkan kebahagiaan. Perpisahan mesti menerbitkan kesedihan. Kita tidak bisa mengelak dari keduanya. Kesedihan yang ditimbulkan dari perpisahan akibat kematian adalah tragedi besar. Namun, tak perlulah kiranya seperti Juliet dan Anthony yang memilih mengakhiri hidupnya ketika Romeo dan Cleopatra kehilangan nyawa. Sebab, sesungguhnya melalui tragedi ini, Tuhan mendidik kita untuk lebih kuat dan mendekatkan diri hanya kepada-Nya.

Sebagaimana karya-karya Shakespeare yang selalu memiliki ending, hidup kita juga demikian. Tuhan sudah mempersiapkan ending untuk peran kita masing-masing. Bedanya, Romeo dan Cleopatra tidak bisa membujuk Shakespeare untuk mengubah ending mereka. Tetapi, kita sebagai manusia masih bisa membujuk Tuhan untuk mengubah ending kita, dengan cara berdoa dan melakukan kebaikan di waktu yang tersisa. Maka, jangan terlena dengan dunia. Kematian mengintai setiap waktu. Bangkit dan bujuklah Tuhan yang Maha Baik agar memberi kita ending yang baik.

Adakah akhir yang lebih didambakan selain husnul khatimah?@