Mengapa jalan-jalan utama di Martapura, Ibukota Kabupaten Banjar, banyak yang gak asyik dijalani?

Alhamdulillah, setelah sekian tahun saya wara-wiri di jalan-jalan itu, akhirnya saya sampai pada sebuah kesadaran, betapa sesungguhnya jalan di dunia ini tidaklah amat penting dibandingkan jalan menuju akhirat. Jangan anggap sepele sebuah jalan. Dalam arti harfiah maupun metaforis, ia bisa membawa kita pada makna keilahian.

Sampai sebegitu kesadaran saya.

Coba, sebut saja jalan-jalan utama di Martapura, rata-rata sempit, berlubang, atau penuh tambalan kayak ucus ban yang sudah keseringan mampir di volkaniser—mestinya sudah ganti ucus baru alias diaspal ulang kembali. Tapi inilah hikmahnya, seperti saya katakan tadi, setiap melewati jalan-jalan itu kesabaran saya semakin terasah dan terlatih.  Bagaimana di jalan-jalan yang sudah sempit itu semakin kecil karena ada mobil parkir, jualan pedagang, serta lubang-lubang yang banyak mengadang, dan ketika melewati semua itu tiada lain hanya banyak-banyak berzikir.

Jalan beraspal itu sesungguhnya hanyalah bersifat keduniawian. Dan bagi masyarakat yang tingkat kesadaran dan ketaatannya dalam beragama tinggi, maka jalan dunia ini hanyalah sementara, fana, tidak abadi. Yang penting adalah jalan akhirat, jalan menuju keabadian.

Barangkali itulah yang (harus) kita rasakan dan pahami ketika berada di Kota Martapura. Inilah kota santri, kota para ulama. Pagi dan petang kita kerap melihat santri dan masyarakat bergamis berjalan menuju tempat-tempat ibadah, majelis atau pengajian. Setiap tahun juga akan terjadi lautan manusia berpakaian putih-putih yang datang dari segala penjuru menghadiri haulan Abah Guru.

Bahwa jalan akhirat teramatlah penting, juga bisa kita dengar setiap menjelang Jumatan. Yakni ketika diumumkannya kas Masjid Besar Al-Karomah yang jumlahnya miliaran rupiah—ini menunjukkan betapa tingginya kesadaran orang-orang membangun jalan yang baik bagi dirinya menuju akhirat.

Maka, bisa kita maklumi bila masyarakat Martapura tidak merasa perlu mengeluhkan jalan-jalan (dunia) di kotanya. Karena jalan sesungguhnya yang harus terus dibangun dan diperbaiki adalah jalan akhirat, jalan akhir satu-satunya yang harus kita tempuh kelak.

Lagi pula, adapun bagi yang ingin merasakan jalan dunia yang cukup baik, lebar, dan sekarang terus dilakukan perbaikan dan pembangunan, cukup jalan-jalan ke Banjarbaru yang masih tetanggaan dengan Martapura. Dan benar, jalan-jalan yang mulus itu kadang melenakan kita. Tidak halnya dengan jalan yang sempit dan rada-rada rusak, seperti di Martapura, akan membuat bibir kita seringkali basah dengan zikrullah.

Demikianlah. Percayalah, segala sesuatu itu selalu ada hikmahnya. Tak terkecuali hanya sebuah jalan. Masya Allah…@