AKU MENGENAL KA AGUS ketika masih anak bawang yang berkeliaran di Taman Budaya (Tebe). Kesan pertama, orang ini kurang bersahabat. Apalagi salah satu temanku awal masuk Tebe, adalah orang yang tidak suka dan tidak disukai Ka Agus. Biasalah pergaulan. Namun temaku yang lain, Erhamuddin mengenalkanku lebih dekat padanya. Hampir setiap malam kami duduk-duduk di depan kamarnya di belakang panggung pergelaran Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, itu. Memesan minum lewat Uwa Ipin yang rumahnya ada di belakang gedung. Bertiga kami sering ngobrol apa saja, puisi, teater, film, diiringi tawa dan bila-bila penuh hikmat saat membicarakan teman “sepergaulan”. Siapa saja, para tokoh, aktor yang ada di lingkungan Tebe hingga yang di Jogja, Bandung, Jakarta, dan para seniman dunia. Di situlah aku belajar banyak hal, sebagai anak bawang yang tak terlalu betah mendekam sendirian di kamar rumah ayah, di Pasir Mas.

Ka Agus pernah juga menyinggahi rumah kami, beberapa kali, terutama ketika pernah tinggal di seberang sungai arah ke Simpang Jagung. Entah itu sebelum beliau ngontrak di jalan Salatiga atau sesudahnya. Karena itulah Mamaku masih ingat dan mengenalnya saat berjumpa di Kampung Buku beberapa tahun yang lalu. Orang rumah tahu betul, ia adalah teman-dekat anaknya, seorang kakak yang membimbing anak mereka.

Kami—aku dan Erham—adalah adiknya, muridnya, sahabatnya, yang bagaimanapun kami pernah tak sependapat dengannya, sangat menghormatinya. Kami mengantarkannya waktu menikah di usia 30an tahun awal. Kami juga mengantarnya ketika ia pergi ke Pujon, Kalimantan Tengah, saat ia harus menemani sang istri yang bertugas sebagai guru di sana.

Sampai satu kali, terdengar kabar Ka Agus meninggal di Pujon. Kami menggeruduk ke rumah saudaranya di Pelambuan, juga ke rumah mertuanya di asrama tentara Kiwal. Kami menangis, bercerita macam-macam, siap menyambut jasadnya…, dan ternyata kabar itu palsu. Istrinya sedang pulang ke Banjar, Ka Agus tinggal sendiri dan mengirim kabar wesel yang disalahi maksudnya. Dikira ia meninggal. Setelah datang kabar berikutnya yang menyatakan maksud yang lebih jelas, kami pun lapang menarik napas lega. Setiap kali kami membicarakan hoaks ini, kami akan menertawakannya sambil tunjuk-tunjukan, siapa yang paling keras tangisnya waktu itu.
Waktu aku kuliah di Jogja Ka Agus rajin mengirimi surat. Bercerita apa saja. Kalimat-kalimatnya seperti isi cerpennya yang lincah dan imajinatif. Di situ ia memanggilku penuh kasih sebagai Kakak. Hal ini sering ditertawakan teman sekost-ku, sambil membacakan isi surat itu penuh mendayu-dayu. Ia bicara kabar di Banjar dan aku akan bercerita kabar seni dan lainnya di Jogja. Sesekali ia menyarankanku ke sini, ke situ, ke tokoh ini dan itu, agar aku punya banyak “ilmu”, dan dengan begitu ia juga “belajar” kabar terkini kesenian di pusat seni Indonesia. Dan setiap pulang ke Banjar, aku akan mampir ke Tebe, atau langsung ke tempat tinggal/kontrakannya terkini. Ia sangat antusias mendengarkan ceritaku, ia bertanya dan menanggapi—sesuai pengetahuannya yang pernah bertandang dalam lawatan budaya atau dari membaca kabar-kabar mutakhir dari pemberitaan media massa.
Seingatku, ketika akhirnya aku benar-benar pulang tahun 2003 akhir, Ka Agus sudah punya rumah sendiri. Ia bilang kredit, hingga telah lunas bertahun-tahun yang lalu, di rumahnya kini di AMD Permai Blok X B No. 256. Dia salah satu penghuni awal di situ, karenanya ia cukup disegani hingganya pernah berkali-kali diusung jadi Ketua RT, dan ia selalu menolaknya dengan berbagai alasan atau tidak menghadiri rapat pemilihan sama sekali. Dulu rasanya rumah itu jauh sekali, di penghabisan burung bernyanyi, sebelum kini ramai sekali dan telah ada jalan besar yang menghubungkan komplek perumahan itu ke Jembatan Sultan Suriansyah, Alalak, bertahun-tahun yang lewat.
Kami sering berbincang, berkonsultasi dan berbagi informasi ke rumah itu. Aku sendiri, bersama keluarga, atau jika ada sahabat seperti Erham yang kebetulan pulang ke Banjar—dari pekerjaannya merantau ke mana-mana tempat sesuai penugasannya sebagai seorang hakim. Atau, seringkali pula bertemu di Tebe. Dulu di Warung Komisi XI. Kadang juga di Sanggar Sholihin. Atau di Warung Mama Inun. Atau, setelah 2019, di Kampung Buku. Tidak hanya berbincang bebas santai ke mana-mana, tapi juga kadang merencanakan sesuatu.

Ka Agus memang memiliki pengalaman sebagai perencana—penulis naskah atau proposal, pelaksana dan pengambil keputusan yang cermat. Ia biasa menulis puisi, cerpen, esai, kisah dan peribahasa berbahasa Banjar, dan banyak lagi hal terkait literasi. Yang ia tak bisa, sepertiku, adalah melukis. Padahal, katanya sendiri, dulu ia sempat ingin jadi pelukis, namun sadar sebagai anak orang miskin ia tak punya modal beli perlekangkapan melukis.

Sebagai penulis dan pemerhati seni-budaya, ia telah berkarya banyak dan mendapatkan penghargaan yang tak kalah banyak pula. Padahal, seperti ceritanya, ia tidak pernah menamatkan sekolah, bahkan SD sekalipun. Ia hanya suka membaca dan bergaul dengan banyak orang, kemudian tinggal lama di Taman Budaya.

Y.S. Agus Suseno lahir di Banjarmasin, 23 Agustus 1964. Ia telah menulis sejak akhir tahun 1980-an, dan tulisannya tersebar di berbagai media seperti Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, tabloid kebudayaan Wanyi, bulanan kebudayaan Bandarmasih (Banjarmasin), Berita Buana, Kompas, Pelita, Sinar Harapan, Suara Karya, mingguan Swadesi (Jakarta), Bali Post (Denpasar), Yogya Post, Minggu Pagi (Yogyakarta), Surabaya Post, Surya (Surabaya), majalah Ceria Remaja (Jakarta), Hai (Jakarta), Nona (Jakarta), Nova (Jakarta), dan di majalah Senang (Jakarta). Manuskrip kumpulan puisinya Di Bawah Langit Beku terbit tahun 1991.

Facebook Comments