BEGITU ramainya perdagangan intan pada tahun 1970 hingga akhir 1980-an, siapapun yang bergelut di bidang ini, baik sebagai pedagang atau pekerja penggosok intan, pasti dinilai memiliki status ekonomi dan sosial yang tinggi. Maka tak heran, perjaka di kalangan keluarga “perintanan” ini menjadi calon-calon menantu idaman.
Menurut Zarnawi (56 tahun), warga Pesayangan, Martapura, keluarga dari kalangan “perintanan” memiliki kedudukan yang istimewa di mata masyarakat umum kebanyakan, khususnya warga Martapura, Kabupaten Banjar. Dan karenanya, dalam keitannya dengan perjodohan atau kawin-mawin, kalangan keluarga “perintanan” ini bisa dibilang masuk dalam daftar list teratas soal pinang-meminang.
“Bahkan, status PNS pun kalah,” ujarnya sambil tersenyum dalam perbincangan suatu sore di awal bulan Juli 2023.
Padahal kita tahu, seorang perjaka berstatus pegawai negeri, sejak dulu bahkan hingga sekarang, selalu menjadi calon menantu idaman. Hal ini tidak terlepas dari stereotype bahwa mereka yang berstatus PNS sudah pasti terjamin dalam hal gaji atau kesejahteraan. Tetapi ternyata hal itu tidak berlaku pada masyarakat Martapura di kala bisnis intan masih menjadi primadona.
“Saat masih duduk di bangkus sekolah, saya ingat, begitu ditanya anak siapa oleh guru, dan dijawab anak si anu yang dikenal sebagai keluarga perintanan, guru itu pasti selalu terkesan. Dan si anak akan mendapat perlakuan yang agak diistimewakan,” cerita Zarnawi, yang juga adalah putra dari seorang perintanan yang terkenal di masanya.
Pak Awi, begitu panggilan akrabnya, lebih jauh bercerita soal kawin-mawin keluarga perintanan ini. Dikatakan, lantaran tingginya status keluarga perintanan, sehingga mereka lebih memilih untuk mengawinkan anak-anak mereka dengan keluarga terdekat.