(Obituari H. Syarifuddin R)

Kematian adalah hal yang tak terbendung, ia datang seketika menjemput yang hidup. Seketika itu bisa berarti dibarengi sakit berkepanjangan, bisa pula tak. Seperti dulu ayah, lama juga beliau sakit, berkali-kali kukira telah akan sampai waktu beliau, namun nyatanya beliau terus bertahan. Dan ketika tak ada pikiran apapun tentang “waktu” datangnya, ia dijemput seketika itu saja.

Mengenang kematian datang pada seseorang yang pernah kita bersama dengannya, pada satu
ketika, kadang terasa perihnya. Berbagai kenangan hilir mudik, namun kadang ada terasa begitu biasa saja. Bukan karena tak ada empati, tapi sedemikian banyaknya perasaan campur aduk, dan pemahaman akan kepastiannya, membuat kita menerimanya seperti hal yang wajar. Biasa saja.

Ini saya rasakan beberapa waktu yang lalu, ketika mendengar kematian Bang Jamal. Saya tak ingin menulis, seperti biasanya saya buat obituari untuk orang-orang yang pernah saya dekat dengannya.

Saya merasa lapang saja menerimanya, dan tak merasa perlu mengucapkan rasa belasungkawa
seperti banyak ucapan ditunjukkan dalam lintasan media sosial.

Saya sedih, dan rasanya itu cukup. Begitu pula saat ini, ketika tengah asyik berbincang dengan
kawan-kawan dan berita kematian Pak Syarifuddin R atau Pak Udin–begitu sering saya sebut namanya–disampaikan isteri saya. Saya diam sesaaat lalu melanjutkan pembicaraan kami yang ke mana-mana. Tapi hati saya, jauh di dalamnya, terus mengingat namanya. Hingga sampai di rumah, saya merasa harus menulis meski sebenarnya tak ingin menulis. Agar sedikit kenangan ini berfaedah, minimal mengingatkan diri sendiri tentang kematian yang tak pernah jauh dari diri kita.

Saya mulai kenal Pak Syarifuddin ketika akan pameran tunggal di Taman Budaya, tahun 2007.
Sebelumnya saya sudah sering melihat beliau, mendengar beliau bicara, mendengar pembicaraan orang tentang kebaikan beliau, dst. Tapi saya belum benar-benar mengenal beliau, hingga hari itu saya menelpon beliau. Saya terkejut karena baru tahu beliau bisa juga “marah”, tapi marah itulah yang memuluskan pameran lukisan dan bedah buku saya dan Dian Jejak-jejak Angin di gedung Warga Sari, Taman Budaya Kalsel. Ya, beliau Kepala Taman Budaya ketika itu, hanya saya lupa itu sudah periode keberapa atau beliau pejabat sementara untuk mengisi kekosongan jabatan itu saat itu pada saat yang bersamaan juga beliau sudah menjabat Kabid Kesenian Disbudpar Kalsel.

Pak Udin orang baik. Karena kebaikannya saya bisa pameran tunggal yang pertama dan mengadakan diskusi buku kami–dengan mendatangkan Faruk HT–tanpa harus membayar sewa gedung ketika itu.

Saya tahu pula keromantisannya dengan isteri ketika sekamar dengan beliau saat Temu Sastrawan Indonesia di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Hingga kami sempat jalan-jalan pula ke Singapura, hanya berdua saja, mencuri waktu di sela-sela perhelatan sastra nasional itu; merasakan kelucuan-kelucuan seperti dicegat imigrasi pelabuhan cukup lama dengan banyak pertanyaan, naik bus di sana tanpa bayar dan kebingungan bicara dengan resepsionis hotel kecil yang tak bisa berbahasa Melayu; jalan kaki pagi hari ke perkampungan Melayu untuk sekadar sarapan, saling bergantian memoto di depan patung Merlion, dan hampir ketinggalan kapal ke Batam karena salah mengambil rute dan tujuan pelabuhan.

Selanjutnya, beliau selalu baik. Selalu hadir pada setiap perhelatan budaya, dari awal sampai akhir.

Bahkan undangan kecil sekalipun, yang pernah membuat kami kehabisan bensin berkali-kali
sepulang dari Pelaihari ke Banjarmasin dan kemudian mobil amblas di jalan berlumpur saat akan ke walimah perkawinan Abdussukur MH (alm.) sementara hari telah menjelang sore. Beliau tak menggerundel, biasa-biasa saja meski harus membayar berlipat-lipat untuk bensin dan orang-orang yang membantu mendorongkan mobil beliau.

Facebook Comments