SIAPA yang tidak kenal Abu Nawas, atau setidaknya pernah mendengar namanya?
Ya, tokoh yang bagi masyarakat awam dikenal sebagai seorang humoris dan cerdas itu sering kita dengar kisah tentangnya. Karena itu, tak mengherankan bila banyak buku yang berisi kumpulan anekdot, humor dan kejenakaan yang dinisbahkan kepadanya, meski menurut Gus Baha, tidak semua cerita itu benar berasal dari Abu Nawas.

Sebagian orang beranggapan bahwa cerita Abu Nawas hanyalah dongeng, dan tak pernah ada dalam dunia nyata. Dia cuma tokoh fiktif dalam buku “Seribu Satu Malam”. Padahal Abu Nawas adalah tokoh nyata, yang benar-benar pernah ada, dengan berbagai kontroversi tentang kehidupan pribadinya.

Bernana asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami, terkenal dengan nama Abu Nawas, Abu Nuwas dan Abu Nu’as (si Tukang Tidur), lahir di Ahwas-Iran, tahun 757 M. Ia hidup semasa dengan kholifah Harun ar-Rasyid (766-809 M) dari Dinasti Abbasiyah. Gelar Abu Nu’as ini melekat karena kebiasaanya tertidur akibat mabuk pada masa mudanya.

Tidak ada keterangan tentang istrinya, namun dari laqab (julukannya) Abu Ali, berarti dia punya anak laki-laki yang bernama Ali.

Sang ayah, Hani al-Hakami adalah seorang prajurit tentara pada masa khalifah Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Dinasti Bani Umaiyah. Sedangkan ibunya bernama Jelleban, seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Dengan demikian, Abu Nawas mewarisi darah militer dari sang ayah.

Meski tak sempat mengenal ayahnya yang wafat ketika ia masih kecil, Abu Nawas dibawa hijrah sang ibu ke Basrah, Iraq, yang menjadi pusat peradaban berbagai ilmu saat itu.

Di sanalah ia belajar bahasa dan sastra Arab yang akhirnya membuatnya sebagai penyair ulung, di antaranya kepada dua orang sastrawan Arab, yaitu Abu Zaid dan Abu Ubaidah. Di samping itu, ia jua belajat ilmu agama, seperti ilmu Hadis kepada Abdul Walid bin Ziyad, Mu’tamir bin Sulaiman, Yahya bin Sa’id al-Qattan, dan Azhar bin Sa’d as-Samman, serta belajar Al-Qur’an kepada Ya’kub al-Hadrami, yang pada akhir hayatnya membuatnya dikenal sebagai ulama sufi.

Ketenaran nama Abu Nawas berawal dari pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair.

Berkat kehebatannya menulis syair, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan, khususnya dengan Khalifah Harun al-Rasyid, yang akhirnya menjadikan Abu Nawas sebagai penyair istana.

Di puncak ketenarannya inilah Abu Nawas banyak mendapat fitnah. Di antaranya ia dikatakan suka mabuk-mabukan, musik dan dansa, berfoya-foya, main perempuan, dan penyuka anak-anak laki-laki yang ganteng, zindiq, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Di antara puisi yang membuatnya dianggap zindiq adalah puisi yang terkesan menghina orang yang shalat dan memuliakan orang yang mabuk:

Biarkan masjid diramaikan oleh orang-orang yang rajin ibadah.
Kita di sini saja, bersama para peminum khamer, dan saling menuangkan.
Tuhanmu tidak pernah berkata, “celakalah para pemabuk.” Tapi Dia pernah berkata, “celakalah orang-orang yang shalat.”

Dalam penilaian Ibnu Katsir, Abu Nawas memang pada mulanya suka mabuk-mabukan, musik dan dansa, serta berfoya-foya. Namun beliau membantah kalau Abu Nawas adalah seorang homo pedofil dan ahli zina. Karena itulah, di kalangan ahli Fiqih, Abu Nawas dicap sebagai ahli maksiat (fasik), sehingga diriwayatkan Imam Syafi’i sempat enggan menyalatkan janazah Abu Nawas, sebelum ia mengetahui bahwa Abu Nawas adalah seorang tokoh sufi (setelah bertaubat dari kefasikannya), melalui syair-syair sufistik yang ditulisnya beberapa tahun sebelum kematiannya.

***

Diriwayatkan, ketika Abu Nawas wafat, Imam Syafi’i tidak mau menyalatkan jenazahnya. Namun, ketika di kantong baju Abu Nawas ditemukan secarik kertas bertuliskan syair berikut ini:

“Wahai Tuhanku, dosa-dosaku terlalu besar dan banyak, tapi aku tahu bahwa ampunan-Mu lebih besar. Jika hanya orang baik yang boleh berharap kepada-Mu, kepada siapa pelaku maksiat akan berlindung dan memohon ampunan? Aku berdoa kepada-Mu, seperti yang Kau perintahkan, dengan segala kerendahan dan kehinaanku. Jika Kau tampik tanganku, lantas siapa yang memiliki kasih-sayang? Hanya harapan yang ada padaku ketika aku berhubungan dengan-Mu dan keindahan ampunan-Mu dan aku pasrah setelah ini.”

Setelah membaca syair tersebut, Imam Syafi’i menangis sejadi-jadinya. Beliau bergegas menyalatkam jenazah Abu Nawas bersama orang-orang yang hadir.

***

Mungkin Abu Nawas sendiri menyadari bahwa dirinya tidak layak menyandang jabatan keagamaan dalam pemerintahan, sehingga ia menolak berbagai jabatan yang ditawarkan Harun al-Rasyid kepadanya. Maka terkenallah cerita Abu Nawas pura-pura mati dan pura-pura gila, agar ia tidak diangkat sebagai pejabat.

Facebook Comments