LELAKI-LELAKI TELANJANG

Siapa sanggup sembunyi dari cemas itu?

Nafas-nafas memburu
lelaki-lelaki gemetar telanjang
di perempatan jalan
tanpa lampu
diguyur ngeri
sampai ke tulang sungsum

Tembok-tembok makam berderak
gemetar.
cahaya pudar.
jam melompat-lompat
gila
detaknya diseret
dalam ceruk paling gulita

Ikan-ikan kehilangan arus
burung-burung kehilangan awan
hutan-hutan rontok rantingnya
pohon-pohon berbunga batu;

Lelaki-lelaki telanjang itu
tersesat di jantung malam
terlambat membaca hidup
dan alpa pada sejarah
terlampau sibuk
membangun menara-menara
dan mimpi menggiring matahari

sampailah di batas itu,
saat maut tak mau lagi kompromi
curahkan badai pasir api
menguruk tubuh lelaki-lelaki telanjang yang gemetar
: kau dan aku !

Ngawi, 2019-22020


PARA PELAYAT

kegelisahan itu juga milik kalian, saat kecemasan yang serupa membelah
wajah dan mimpi jadi sebongkah ketakutan.beringsut diam-diam
senyawa dengan waktu.mengintai dan menggeramkan malam
yang akan memaksa kalian menelan duri-duri hiu
tanpa nasi dan saus tomat.

pesta sedang berlangsung namun lampu di kamar sejak tadi telah padam
kalian dan seseorang lain telah melipat handuk basah
karena peluh yang meregang-regang menunggu waktu dengan jarumnya
menandai kalender dengan tusukan-tusukan atau lingkaran-lingkaran
merah sebagai penanda buat selusin malaikat pengusung keranda.

suara biola masih terdengar.mungkin sampai parak pagi
namun pintu-pintu kamar itu telah lama terkunci
tanpa lampu.tanpa desis suara
seorang pelayan akan menjemput dan membawa kalian menatap tembok
dingin, liat, dan sunyi.maka upacara paling purba akan dimulai
dari rasa takut yang merayap ke sudut-sudut.

rambut kalian rontok tiba-tiba saat dentang lonceng
lantas kalian dengan gemetar mematut-matut diri di hadapan sebuah nisan

: bercerminlah di sini!

Ngawi, di sebuah pemakaman-


REQUIM HUJAN

saban gerimis tiba
Kau selalu berkata
segala waktu segera rapuh,
tangis tak lagi mampu memberi arti
segalanya jadi buta
sesuram lorong gua manusia purba

saban gerimis tiba
Kau selalu ingatkan
kalian musyafir yang berangkat tua
melangkah gontai seperti seekor unta
terengah-engah seberangi jazirah-jazirah,
terkantuk-kantuk tapaki jalan-jalan rumpil,
penuh berserak batu dan duri.

inilah tempat yang harus kalian tuju ! hardikMu

(jariMu menuding ke atas cakrawala, entah melihat ketinggian apa)

inilah tempat terakhir meletakkan sujud,
isak penghabisan, dan secuil kenangan
barangkali bisa menjadi legenda buat anak cucu
yang kelak akan segera mewarisi tangis yang serupa

gerimis pun lebat
tak hanya saat senja
namun juga saban pagi
memaksa semuanya segera bersedekap jari

Facebook Comments