Alih-alih ikut upacara bendera memeringati hari kemerdekaan, hal yang masih urung diadakan dalam dua tahun terakhir gegara pendemi, 17 Agustus lalu saya merayakan kemerdekaan itu dengan mengunjungi sebuah pameran lukisan yang diadakan oleh Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (digelar 12-21 Agustus 2021).

Bisa mengunjungi sebuah even kesenian yang dianggap sebagian besar orang masih bukan kebutuhan pokok dan bahkan tidak diperlukan, bagi saya adalah wujud kemerdekaan yang patut disyukuri dari waktu ke waktu. Itu menandakan Allah yang Maha Kuasa masih memberikan kebebasan untuk memilih hal-hal baik yang menyenangkan untuk dilakukan.

Dengan tema pameran ‘Semarak Topeng 71’, pengunjung akan disambut dengan pajangan topeng aneka rupa di depan pintu masuk ruang pameran. Ini semacam usaha yang memukau untuk menggiring alam pikiran pengunjung memasuki satu dimensi tetopeng dan filosofinya dalam menikmati lukisan demi lukisan di balik pintu itu. Tema ini menggayuti pikiran pengunjung, termasuk saya. HIngga ketika saya masuk dan menemukan banyak sekali lukisan beraneka topeng, entah mengapa saya merasa lega. Ini memang pameran lukisan yang sesuai tema, dan saya tidak salah masuk.

Hingga saya berjalan dari satu lukisan ke lukisan yang lain, tema ini masih menghantui saya. Ketika saya menemukan lukisan yang tampak tak ada hubungannya dengan topeng, saya mulai mempertanyakan relevansinya. Mengapa lukisannya begini? Di mana topeng-topeng itu berada? Dan ketika para pelukis itu menjelaskan filosofi topeng dalam lukisan-lukisan itu, saya serta merta mengamini.

Hal ini mengingatkan saya pada beberapa kegiatan temu sastrawan. Ketika mereka diminta menceritakan proses kreatifnya. Mereka menceritakan substansi cerita, dan saya juga mengamininya. Meski demikian, entah  mengapa, selalu saja hal tersebut meninggalkan perasaan janggal dalam jiwa saya. Saya merasa terbelenggu. Saya harus memarjinalkan kesan yang dibuat secara jujur oleh diri saya sendiri, menepi untuk ikut arahan penafsiran atas tema yang telah dibuat, oleh narasi yang telah disampaikan sang penulis. Perasaan itu, sedikit banyak saya rasakan kembali saat menikmati lukisan-lukisan itu.

Saya pikir, kemerdekaan terbesar bagi seorang pengunjung pameran lukisan adalah kebebasannya dalam menafsirkan lukisan-lukisan yang dilihatnya. Meski boleh jadi sang pelukis telah menyertakan judul, mendeskripsikan apa yang ia ingin sampaikan dalam lukisan itu, bahkan menceritakan latar belakang proses penciptaan lukisannya. Ketika lukisan tertangkap mata penikmatnya, maka segala penafsiran selanjutnya berada dalam kuasa penikmat lukisan.

Namun para penikmat ini juga tak hadir dengan karakter tunggal. Mereka beragam. Sebagian mereka memang membutuhkan panduan untuk mencoba memahami karya seni yang terpampang di hadapannya.

Barangkali menafsirkan memang bukan perkara mudah. Namun sebagian lain justru melepaskan diri dari panduan itu. Mereka menjadikan lukisan yang dilihatnya sebagai sesuatu yang intim. Entah mereka membawa lukisan-lukisan itu ke dalam diri mereka, atau mereka yang memasuki lukisan-lukisan itu dan menyepi di dalamnya.

Sebagian besar kita, termasuk saya, awalnya barangkali adalah penikmat lukisan tipe pertama. Saya telah menyiapkan diri untuk memasuki sebuah pameran lukisan dengan bekal tema besar pameran, dan arahan judul dari tiap lukisan. Saya lantas mencoba mencocok-cocokkan antara judul lukisan dan penafsiran saya atas lukisan-lukisan itu. Namun, tak bisa dipungkiri, menikmati lukisan adalah pengalaman spiritual yang sangat personal. Lukisan yang memukau kita barangkali tak dipahami dan tak disukai oleh pengunjung di samping kita, makna yang ditangkap oleh jiwa kita mungkin berbeda dari apa yang disampaikan oleh judul dan tema pameran. Maka memiliki tafsiran selain khazanah tafsiran yang disediakan, tentu itu sah dan boleh saja.

Topeng-Topeng dan Hal Lainnya

Dalam pameran ini, topeng-topeng dalam bentuk harfiahnya terserak di satu lukisan ke lukisan lainnya. Topeng-topeng itu hadir dengan berbagai ekspresi, berbagai warna, berbagai bentuk, barangkali menjadi representasi dari karakter suci macam malaikat, atau orang suci. Mungkin pula menjadi representasi dari karakter durjana macam iblis, penjahat, atau psikopat. Pada beberapa lukisan, topeng mengalami perluasan obyek. Topeng tak lagi mengambil bentuk konvensional, masker adalah topeng, cadar adalah topeng, senyum adalah topeng, badut adalah topeng, burung adalah topeng.

Bagaimana melihat burung sebagai topeng? Burung dengan warna-warna homogen, coklat terang, coklat gelap, krim dan nuansa warna coklat lainnya hadir dalam lukisan Rizky A. Setiawan yang berjudul Unbeauty and The Seven Capital Sins. Pada lukisan ini, saya kembali mengalami tarik menarik interpretasi, yang berasal dari luar dan dalam diri. Melihat burung sebagai topeng adalah cara pelukis menafsirkan lukisannya. Menurut sang pelukis, burung selalu harus tampil indah, entah suara, bulu, dan apapun yang ada pada dirinya. Burung tak bisa digambarkan sebagai sesuatu yang lusuh, kusam, dan nista. Burung senantiasa mengenakan topeng. Saya tak bisa menolak penfsiran ini.

Meski demikian, ketika saya terpaku menikmati garis dan warna samar serta garis dan warna tegas yang dibuat membentuk sosok burung, saya memiliki penafsiran lain. Lukisan ini tak hanya menggunakan cat di atas kanvas saja, pelukis menambahkan potongan cermin sebegai bagian dari sayap burung, dan menambahkan lembaran kulit daun atau kulit kayu sebagai ekornya. Garis dan warna tegas serta tambahan cermin di bagian sayap menunjukkan itu adalah bagian paling vital dari tubuh burung. Helaian bulu sayapnya dilukis menyerupai apa yang menurut saya mirip dengan airmata, juga mirip dengan batu permata. Bulu-bulu itu dilukis dengan garis yang kuat, diwarnai dengan kombinasi warna gelap dan terang yang kontras, diakhiri dengan potongan-potongan cermin di bagian ujung, sementara bagian tubuh dan ekor dilukis dengan garis samar, warna gelap, dan homogen.

Mengapa bagian sayap demikian kuat, sementara bagian lainnya lemah? Seakan burung menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya dengan sayap-sayapnya. Apa yang terjadi dengan sayap burung jika ia rusak, atau patah? Burung takkan bisa terbang. Maka saya melihat lukisan ini sebagai sebuah pernyataan bahwa tiap makhluk harus menunjukkan bagian yang paling berharga, paling bisa diandalkan, bagian paling powerfull dari dirinya pada dunia. Bagian yang paling orisinil, yang justru bukan topeng atau kepura-puraan, bagian di mana makhluk lain justru bisa merefleksikan diri mereka. Bahwa tiap makhluk memiliki bagian paling penting dari dirinya yang perlu ditegaskannya pada sesiapapun. Cermin yang juga bisa menjadi refleksi bagi si burung bahwa dalam keadaan apapun, ia harus tahu bahwa ia punya sayap yang sangat berharga, sayap miliknya yang diberikan penciptanya dengan begitu rupa.

Maka, demikianlah perjalanan dari satu lukisan ke lukisan lainnya. Penafsiran boleh saja disediakan, namun para penikmat akan menafsirkan lukian-lukisan itu sesuai dengan kondisi jiwanya masing-masing. Luasnya penafsiran terasa lebih kuat saat saya menikmati lukisan-lukisan abstrak yang dipajang di beberapa bagian pameran. Salah satu yang mampu membuat saya masuk dan menepi ke dalamnya adalah lukisan yang berjudul Berisik karya Rizka Azizah. Lukisan itu dilukis dengan warna dasar kanvas hitam. Hitam yang solid, dan masif. Di permukaannya garis dan warna tumpah ruah saling berkelindan. Mulai dari sapuan lebar hingga gegaris sempit memanjang yang ditoreh dengan tegas. Warna-warna hadir mulai dari warna gelap hingga cerah terkesan dipadukan asal-asalan namun justru tertangkap mata sebagai suatu tampilan visual yang harmonis. Bagaimana hal yang terkesan karut marut justru bisa demikian indah. Mengapa apa yang mungkin didefinisikan pelukis sebagai keadaan berisik, bisa menjadi demikian memukau? Lukisan ini seakan ingin menyampaikan, pada keadaan paling chaos sekalipun kita akan bisa menemukan kedamaian.  Manusia mungkin terlalu sering melihat keluar dirinya, menemukan berbagai kondisi yang membuat hidupnya sedemikian kompleks. Di antara semua peristiwa yang jalin menjalin, semua terlihat demikian kacau. Perlulah manusia-manusia itu pada akhirnya melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa keindahan, kedamaian, ketenangan bisa ditemukan di antara semua yang terserak berantakan. Demikianlah kiranya.

Akhirnya, pameran yang diadakan Taman Budaya Provinsi Kalsel dari tanggal 12-21 Agustus 2021 ini telah memenuhi saya secara artistik. Beberapa lukisan hingga saat ini masih mendiami kenangan saya, membawa perasaan-perasaan tertentu. Hanya saja satu kritik saya untuk penyelenggara kegiatan, tempat penyelenggaraan sungguh memilukan. Sudah saatnya kota ini memiliki galeri lukis yang layak, bukan begitu?

Wallahua’alam.@

 

 

Facebook Comments