Ariffin Noor Hasby

HALLO BANJARBARU, APA KABAR

(bagi: Pak Walikota)

aku mencari lenganmu berpuluh tahun
di antara percakapan musim
yang mengantarkanmu berdzikir
mengasuh masjid-masjid-Nya

tapi, beratus surat telah kutulis
kepada cakrawala yang menjanjikan
selalu saja irama matahari
mengembalikan kata-kata
yang kutulis dengan wangi tubuhmu

hallo Banjarbaru, apa kabar?
suaramu menggamitku untuk berkemas
membuka pintu untuk tamu yang datang
membagi senyuman dan pengalaman!

Banjarbaru, Maret 2000

 

Sekilas tentang Sejarah Perjalanan Sastra Kalimantan Selatan 

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang/sastrawan, penerbit, kritik sastra, aliran-aliran sastra, pengajaran sastra, dan lain-lain.

Hingga hari ini, sejarah perjalanan Kalimantan Selatan telah berlangsung relatif panjang dengan perkembangannya yang terbilang pesat dengan berbagai dinamikanya, sehinggga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar bagi para ahli sastra, akademisi sastra, dan para sastrawan sendiri untuk melakukan penelitian, menulis, dan menerbitkannya menjadi sebuah buku sejarah sastra yang lengkap dan representatif.

Pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan sesungguhnya dimulai sebelum perang dunia kedua, di sekitar pertengahan atau akhir tahun 1930-an, atau hampir bersamaan dengan kurun waktu kegiatan penulisan yang dilakukan oleh para sastrawan Angkatan 1930-an (Angkatan Pujangga Baru). Meskipun pada kurun waktu awal penulisan para sastrawan Kalimantan Selatan tidak setenar Angkatan Pujangga Baru, karena sastrawan Kalsel pada umumnya menulis pada penerbitan (majalah dan koran) lokal, tidak sebagaimana sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang karyanya menjadi karya monumental karena menulis dan dimuat di majalah Pujangga Baru – satu-satunya penerbitan penting yang memuat karya sastra para sastrawan di zamannya.

Para sastrawan Kalsel yang memulai kegiatan penulisan karya sastra pada periode 1930-1942 (sastrawan generasi zaman penjajahan Belanda) ini antara lain: Abdul Hamid Utir, Abdul Jabbar, Abdul Muin Cuty, Abdurrahman Karim, Ahmad Basuni, Amir Hassan Bondan, Anak Martapura, Arsyad Manan, Artum Artha, Asmail Gafuri, Asnawi Rais, Darmawi Saruji, Gusti Abdul Malik Thaha, Gusti Abdurrahman, Gusti Abubakar, Gusti Mayur, Hadharyah M. Sulaiman, Hamdi Redwansyah, Harun Muhammad Arsyad, Haspan Hadna, Hassan Basry, HMAS Amandit, Kasyful Anwar (Kesuma Amandit), Masdari, Merah Daniel Bangsawan, Merah Johansyah, Merayu Sukma, Muhammad Yusuf Aziddin, Ramlan Marlim, Sarasakti, dan Zafry Zamzam (ayahnya penyair Fitry Zamzam atau Dewa Pahuluan). Para sastrawan inilah diklaim sebagai generasi sastrawan perintis kesusastraan Indonesia modern di Kalimantan.

Kemudian, pada kurun waktu 1942 s.d. awal 1950-an, kesusastraan Indonesia diisi oleh generasi atau yang dikenal dengan Angkatan ’45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Beberapa nama sastrawan yang berkiprah di khasanah kesusastraan Kalsel, terutama pada kurun waktu 1942-1945 (sastrawan generasi zaman penjajahan Jepang), antara lain: Abubakar Razi, Ahmad Samidri, Ahmad Zakaria, Aliansyah Ludji, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), Asyikin Noor Zuhri, Fahruddin Mohani, Gusti Maswan, Husien Razak, Ilham Se Banjar, Maseri Matali (yang sajak-sajaknya pernah dipuji oleh kritikus sastra HB. Jassin), SM Darul, Sir Rosihan, Syahran Syahdan, Tamar Eka, Zafury Zumri, dan Zainal.

Setelah Angkatan ’45, sebuah angkatan baru dicetuskan lagi di Yogyakarta, yaitu Angkatan 50 yang dipelopori oleh WS Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, dan lain-lain. Para sastrawan Kalsel yang muncul dan mulai aktif menulis dalam berbagai genre penulisan (puisi, cerpen, novel, dan naskah drama), adalah Hijaz Yamani, Ramta Martha (Rahmat Marlim), Azn. Ariffin, Dachry Oskandar, Darmansyah Zauhidhie, Taufiqurrahman, Nawawi Hanafiah (Nawhan), Yustan Aziddin, Salim Fachry, Sholihin Hasan, Rustam Effendi Karel, Adjim Arijadi, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, Syamsul Suhud, Syamsur Bahriar AA, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh, dan lain-lain.

Generasi sastrawan tahun 1960-an yang dikenal dengan Angkatan 66 (dideklarasikan oleh H.B. Jassin). Para sastrawan Kalsel yang berkiprah pada periode ini, antara lain M.H. Hadharyah Roch, A.S. Ibahy, Ardiansyah M. Murjani Bawi, Bachtar Suryani, Andi Amrullah, Gusti Muhammad Farid, M. Sulaiman Najam, Amir Husaini Zamzam, dan lain-lain. Pada tahun 1963 untuk pertama kali terbit antologi puisi penyair se- Kalimantan, yaitu Perkenalan di Dalam Sajak Penyair Kalimantan. Kemudian terbit pula beberapa antologi puisi perorangan dari penyair D. Zauhidhie (Imajinasi, 1960), Bachtar Suryani (Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968).

Pada periode 1970-an, perkembangan sastra(wan) di Kalimantan Selatan terbilang sangat pesat, sebagaimana ramainya percaturan sastra di tanah air. Sastrawan Kalsel yang muncul pada periode ini adalah Eza Thabry Husano, Arsyad Indradi, Hamami Adaby, Ajamuddin Tifani, M. Syarkawi Mar’ie, Yuniar M. Ary, A. Rasyidi Umar, Bakhtiar Sanderta, Sabrie Hermantedo, Syukrani Maswan, H.M. Nansi, Ibrahim Yati, Sofyan Surya, A. Mudjahidin S, Ulie S. Sebastian, Ibramsyah Amandit, Iberamsyah Barbary, Roeck Syamsuri Saberi, A. Dimyati Riesma, Syarkian Noor Hadie, Jaka Mustika (Maskuni), Alfian Noor, Johan Kalayan, Yan Pieter A.K. (Nayan van Houten), Dardy C. Hendrawan, Mas Husaini Maratus, Abdul Karim Amar, dan lain-lain.

Periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an adalah ‘puncak’ perkembangan sastra di Kalsel. Namun pada periode ini karya sastra yang paling dominan hadir adalah genre puisi. Generasi sastrawan periode ini adalah Ahmad Fahrawi, M. Rifani Djamhari, Rizhanuddin Rangga, Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Y.S. Agus Suseno, Ersis Warmansyah Abbas, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Fahrurrazi Asmuni, Eko Suryadi WS, Radius Ardanias Hadariah, Maman S. Tawie, Jamal T. Suryanata, Iwan Yusi, Aria Patrajaya, Muhammad Radi, Zain Noktah, MS. Sailillah, Antung Kusairi, Ahmad Syarmidin, Rosydi Aryadi Saleh, Samsuni Sarman, Rietna Imran, Sri Supeni, Nellawati Agen, Lilies Martadiana, Abdul Karim, dan lain-lain untuk menyebut hanya beberapa nama.

Pertengahan 1990-an hingga memasuki abad 21, yaitu awal 2000-an dan menjelang akhir tahun 2019 ini, iklim bersastra di Kalsel makin semarak. Denyut kehidupan dan kegairahan para sastrawan untuk berkarya tidak pernah mengalami stagnasi atau kemandekan. Para sastrawan terkini dari generasi 2000-an atau generasi sastrawan muda milenial yang sedang berproses, kreatif dan produktif mulai bermunculan ikut menyumbangkan bentuk, warna dan pengucapan literer, dan mereka pun bersemangat merayakan kreativitas bersastra, bersaing bersama sastrawan generasi sebelumnya (sastrawan generasi 1990-an serta disokong oleh generasi 1980-an dan beberapa dari generasi 1970-an yang masih menunjukkan vitalitas berkarya).

Sederet nama sastrawan baru dari generasi 1990-an hingga 2000-an ini antara lain: Sandi Firly, Hajriansyah, M. Hasbi Salim, Mahmud Jauhari Ali, Sainul Hermawan, Aliansyah Jumbawuya, Randu Alamsyah, Harie Insani Putra, Abdurrahman El Husaini, M. Nahdiansyah Abdi, Muhammad Fuad Rahman, Andi Jamaluddin AR. AK, Bram Lesmana (Syibram Mulsi), Taberi Lipani, Joni Wijaya, M. Johansyah, Arief Rahman Heriansyah, Aspihan N. Hidin, Gusti Indra Setyawan, Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara, Tato Setyawan, Abdillah Mubarak Nurin, Aan Setiawan, Aliman Syahrani, M. Amin Mustika Muda Ginting, Isuur Loeweng, Mulyadi Razak, Ahmad Husaini, M. Irwan Aprialdy, Muhammad Daffa, dan beberapa nama sastrawan muda lainnya. Pada periode ini bermunculan pula para penulis perempuan yang cukup produktif, seperti Hudan Nur, Agustina Thamrin, Trisia Chandra, Nina Idhiana, Rahmatiah, Nonon Jazouly, Ratih Ayuningrum, Dewi Alfianti, Nailiya Nikmah JKF, Imraatul Jannah, Syafiqotul Machmudah, Rahmiyati, Erika Adriani, Rismiyana, Farah Hidayati, Kalsum Belgis, Seroja Murni, Helwatin Najwa, Mariyana, Rika Hadi, Sri Naida, dan beberapa lagi nama baru penulis perempuan lainnya. Di antara para sastrawati perempuan yang menulis berbagai genre sastra ini (puisi, cerpen, novel, dan esai sastra), ada beberapa nama penulis yang pintar, cerdas dan memiliki potensi hebat dalam mengeksplorasi sumber-sumber penciptaan yang beraneka-warna, menjelajahi berbagai kemungkinan bentuk maupun gaya pengucapan atau gaya Bahasa. Kehadiran maupun peran para sastrawan dan sastrawati generasi baru ini setidaknya turut pula memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan. Apalagi kehadiran generasi baru ini disemarakkan lagi dengan gencarnya penerbitan karya sastra mereka berupa antologi puisi dan cerpen (antologi tunggal maupun antologi bersama), serta penerbitan buku-buku novel.

Berkaca pada pengalaman, hanya sastrawan yang memang benar-benar mempunyai ketangguhan dan kesungguhan yang terus-menerus untuk menciptakan karya yang berkualitas secara estetik maupun tematik, gigih, tekun dan konsistenlah yang kemudian mampu memertahankan eksistensi kesastrawanannya.

Sastra Banjarbaru sebagai Barometer dan Puncak Sastra Kalimantan Selatan

Sastra(wan) di Kalimantan Selatan tentu tidak bernama sastra(wan) Kalimantan Selatan tanpa adanya sastra(wan) di daerah Kabupaten/Kota, dalam konteks ini termasuk keberadaan sastra dan sastrawan Kota Banjarbaru. Tersebab tak bisa dimungkiri bahwasanya sastrawan Banjarbaru juga ikut membentuk historisnya kesusastraan Kalimantan Selatan. Pada konteks ini, tersirat bahwa sastrawan Banjarbaru memiliki peran penting dalam membentuk eksistensi dan perjalanan sastra di Kalsel, serta lebih luas lagi memiliki andil yang besar dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Artinya, bahwa keberadaan sastra(wan) Banjarbaru, juga sastra(wan) di kabupaten/kota lainnya merupakan puncak-puncak kesusastraan Kalimantan Selatan. Diakui ataupun tidak, pertumbuhan dan perkembangan sastra Banjarbaru yang diasumsikan sebagai salah satu barometer sastra Kalsel sampai hari ini tetap terjaga eksistensinya.

Setengah abad sudah perjalanan sastra Banjarbaru, bukanlah waktu yang singkat. Ia adalah perjalanan yang sangat panjang, mengiringi perjalanan sejarah sastra Kalimantan Selatan yang mulai tumbuh dan berkembang selama 89 tahun (1930 – 2019).

Dalam rekaman perjalanan 50 tahun sastra Banjarbaru ini, tentu masih ada beberapa momentum peristiwa maupun para pelaku sastra Banjarbaru yang tercecer, tak terekam dan tak sempat tercatat tersebab minimnya data serta terbatasnya informasi yang diperoleh oleh tim penyusun/penulis buku ini. Semoga pada edisi penerbitan berikutnya (kalau ada), segala kekurangannya bisa lebih disempurnakan atau dilengkapi lagi sehingga menjadi sebuah buku sejarah sastra Banjarbaru yang representatif.

Di dalam Bab II buku ini, penyusunnya menetapkan bahwa tonggak historis perjalanan sastra di Banjarbaru dimulai sejak akhir dasawarsa 1960-an. Bahkan saya pun memprediksi bahwa pertumbuhan dan aktivitas bersastra di Banjarbaru malahan sudah ada sejak awal 1960-an. Prediksi ini berdasarkan informasi yang pernah saya dengar tentang adanya penerbitan buku antologi puisi seorang penyair yang namanya tak tersebutkan dan bermukim di kota ini. Mungkin masih ada lagi beberapa penyair Banjarbaru di masa itu yang menerbitkan buku puisinya secara tunggal dengan format sederhana (dicetak secara stensilan) namun juga tak bisa dilacak siapa saja nama para penyair tersebut. Dalam konteks ini, bisa diasumsikan (tapi saya tak berani untuk menyimpulkan) bahwa penetapan tonggak sejarah sastra Banjarbaru bisa ditarik mundur ke awal dasawarsa tahun 1960-an. Akan tetapi saya harus setuju dengan pernyataan para penyusun buku ini, bahwa penetapan tonggak sejarah sastra adalah adanya bukti secara fiksi berupa naskah/manuskrip karya sastra itu sendiri. Kalaupun para penyusun buku ini memperoleh informasi penting lainnya mengenai adanya penerbitan Majalah Sastra Anjung (terbit antara tahun 1965-1969), bukti fisik majalah sastra itupun juga tak bisa ditemukan.

Berdasarkan pada fakta dan kenyataan tersebut, pada akhirnya para penulis/penyusun buku ini berkesimpulan bahwa tonggak sejarah sastra Banjarbaru ditetapkan pada awal 1970-an, tepatnya tahun 1974. Kesimpulan ini diperkuat dengan adanya data faktual penerbitan buku kumpulan puisi Banjarbaru Kotaku yang memuat karya 12 penyair Banjarbaru, diterbitkan oleh Dewan Kesenian Daerah Banjarbaru (1974).

Seiring waktu, terbentuknya Dewan Kesenian Daerah (DKD) Banjarbaru di tahun 1974 memberikan angin segar bagi kehidupan sastra di Banjarbaru. Hal ini ditandai dengan prakarsa DKD Banjarbaru menerbitkan buku antologi puisi yang dicetak sederhana (stensilan) bertajuk Banjarbaru Kotaku – Rekaman Puisi Penyair Banjarbaru pada Januari 1974. Buku ini menghimpun karya puisi 12 penyair, yaitu Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, Suriansyah Ramlie, A. Chair Karim, R.A. Benawa, T. Noor Is. Amendy, Hanna, Muhammad Rais Salam, Achmad Fadjeri AS, AC. Sjahrani Hasjmi, M. Hasfiany Sahasby, dan Roeck Syamsuri.

Menurut saya, keduabelas penyair inilah sebagai pelopor dan generasi pertama kepenyairan Banjarbaru pada awal tahun 1970-an.

Kemudian, dalam rangka percepatan perubahan status Banjarbaru dari Kota Kecamatan menjadi Kota Administratif Banjarbaru, peran para sastrawan Banjarbaru pun tak bisa dinafikan. Pada tahun 1973, para seniman Banjarbaru membentuk Dewan Kesenian Daerah (DKD) Banjarbaru yang diketuai oleh M. Rais Salam, BA. Pada tahun 1974, penyair Eza Thabry Husano selaku Ketua Divisi Sastra DKB Banjarbaru memprakarsai penerbitan sebuah antologi puisi bertajuk Banjarbaru Kotaku yang menghimpun karya puisi 12 penyair Banjarbaru. Penerbitan buku puisi dimaksud sebagai gerakan massif untuk mempresure pemerintah pusat agar segera meresmikan status Banjarbaru sebagai sebuah Kota Administratif. Akhirnya, setahun kemudian, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965, Tanggal 11 November 1975, tentang Pembentukan Kota Administratif Banjarbaru. Pada tahun 1997, kembali penyair Eza Thabry Husano bermanuver dengan mengirim surat bernuansa puitis kepada Gubernur Kalimantan Selatan (Drs. H. Gusti Hasan Aman) dan dimuat di kolom Surat Pembaca harian Dinamika Berita (Selasa, 11 November 1997). Surat Eza tersebut kemudian dibacakan oleh penyair Ir. Fakhruddin tepat pada Hari Jadi Kota Administratif Banjarbaru, di Lapangan Murdjani. Akhirnya, pada era reformasi tahun 1999, Kota Administrarif Banjarbaru berubah lagi statusnya menjadi Kotamadya Banjarbaru, kemudian sekarang menjadi Kota Banjarbaru sebagai Pusat Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan.

Luar biasa dahsyat, ternyata manuver penyair dan buku puisi memiliki bargaining position (posisi tawar-menawar) dan bargaining power (kekuatan tawar-menawar) yang strategis untuk mengubah status sebuah wilayah bernama Banjarbaru. 

Dinamika Kesenian dan Sastra Banjarbaru Tahun 1970-an

Dinamika kehidupan sastra Banjarbaru di tahun 1970-an ditandai dengan berdirinya beberapa komunitas/sanggar seni pada tahun 1972. Kegiatannya kedua sanggar ini lebih terfokus kepada seni drama/teater dan seni rupa, seperti Sanggar Ilalang (Budi S, dkk) dan Sanggar Karamunting (Muchtar AS, dkk). Kemudian ada Sanggar Banaung (didirikan tahun 1974 oleh Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, dkk). Sanggar ini aktif mengisi kegiatan ruang sastra di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah). Sanggar ini pun tak berumur panjang dan bubar pada tahun 1978. Masih di tahun 1978, berdiri pula komunitas seni bernama Lambung Mangkurat Museum Club dan Sanggar Alit (didirikan oleh Arsyad Indradi).

Sastrawan/penyair yang aktif berkarya pada periode 1970-an ini, antara lain: Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, Suriansyah Ramlie, A. Chair Karim, R.A. Benawa, T. Noor Is. Amendy, Hanna, Muhammad Rais Salam, Achmad Fadjeri AS, AC. Sjahrani Hasjmi, M. Hasfiany Sahasby, dan Roeck Syamsuri (nama dan karya para penyair ini dimuat dalam buku antologi puisi Banjarbaru Kotaku, 1974). Kemudian ada sastrawan/penyair Arsyad Indradi, M. Syarkawi Mar’ie, Iberamsyah Barbary, M. Syaifullah Baseri, dan Yuniar M. Ary.

Dinamika Sastra Banjarbaru Tahun 1980-an

Dinamika kehidupan sastra Banjarbaru di tahun 1980-an ditandai dengan berdirinya beberapa sanggar seni dan komunitas sastra, seperti Sanggar Amandito (didirikan oleh Hamami Adaby pada tahun 1981). Pada tahun 1982, Sanggar Amandito ini sempat menerbitkan buku kumpulan puisi Dawat yang memuat puisi-puisi Hamami Adaby dan Eza Thabry Husano. Ada pula Sanggar Martha Intan (didirikan oleh Ahmad Fahrawi dan kawan-kawan pada tahun 1981). Aktivitas Sanggar ini lebih fokus di bidang sastra, antara lain mengisi acara pembacaan puisi dan cerpen di Radio Mercu Clan Martapura dan sempat menerbitkan buku kumpulan puisi penyair Ahmad Fahrawi, Jala yang Ditebar (1981). Sanggar Martha Intan ini membubarkan diri tahun 1982. Kemudian ada KPB (Keluarga Penulis Banjarbaru) yang didirikan tahun 1989 oleh M. Rifani Djamhari dan kawan-kawan.

Sastrawan/penyair yang aktif berkarya pada periode 1980-an ini, antara lain: Ahmad Fahrawi (bermukim di Martapura, tapi lebih banyak beraktivitas sastra di Banjarbaru dan Banjarmasin), Ahmad Samsuri Barak, M. Rifani Djamhari, Alex Leme (Alexander Leme Tengkedatu), Tarman Effendi Tarsyad (domisili Tarman sebenarnya di Banjarmasin, tetapi di masa itu ia bekerja di Balai Penataran Guru, Banjarbaru), Radius Ardanias Hadariah (berdomisili di Banjarmasin dan menempuh pendidikan di APDN Banjarbaru), Ariffin Noor Hasby, Rudi Karno, Zain Noktah (Qinimain Zain), Ali Syamsuddin Arsi, Sri Supeni, Ersis Warmansyah Abbas, Fitri Zamzam (Dewa Pahuluan), Fakhruddin, Aria Patrajaya, dan Sahdi Anak Amid (Noor Syahdi).

Dinamika Sastra Banjarbaru Tahun 1990-an

Dinamika kehidupan sastra Banjarbaru di tahun 1990-an ditandai dengan berdirinya komunitas sastra bernama Kilang Sastra Batu Karaha yang didirikan oleh Eza Thabry Husano dan kawan-kawan (15 Desember 1996 – 15 juli 2011). Komunitas ini lebih fokus bergiat pada penerbitan buku-buku antologi puisi, baik antologi tunggal penyair maupun antologi bersama. Buku-buku antologi puisi bersama yang pernah diterbitkan, antara lain: Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Bentang Bianglala (1998), dan Cakrawala (2000 – antologi puisi penyair Banjarbaru ini pernah saya bicarakan di forum bedah buku, di Taman Budaya Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 2001).

Beberapa nama sastrawan/penyair yang aktif berkarya pada periode 1990-an ini (selain nama-nama sastrawan/penyair dari generasi 70-an dan 80-an yang karya puisinya juga dimuat dalam buku-buku antologi puisi tersebut di atas), antara lain: Hudan Nur, Sandi Firly, Fajar Gemilang, Elang W. Kusuma, Rudi Ante, Akhmad  Setia Budhy, Lieta Dwi Novianti, Ogi Fajar Nuzuli, Aliansyah Jumbawuya, dan Nanie Retno Nurwardayaningsih.

Dinamika Sastra Banjarbaru 2000 – 2019

Banjarbaru, kota ini memang tidak pernah kering melahirkan generasi demi generasi sastrawannya. Generasi baru sastrawan Banjarbaru terus bermunculan dan tak pernah henti berdenyut. Fenomena ini seolah menyatakan, bahwa Banjarbaru tidak akan pernah kehabisan stok sastrawan sebagai penerus cita-cita para sastrawan terdahulu, baik yang masih hidup dan masih berkarya maupun yang sudah meninggal dunia.

Dengan terbitnya buku 50 Tahun Sastra Banjarbaru ini barangkali akan menjadi saksi sejarah tentang kiprah, peran, sumbangsih, dan perjalanan panjang sastra dan sastrawan di kota yang diklaim sebagai ‘Kota Sastra’ ini.

Dinamika kehidupan sastra Banjarbaru hari ini berbanding terbalik dengan keberadaan sastra Banjarbaru di era 1970-an. Pada periode 1970-an, kota ini masih terasa sepi dari aktivitas sastra, demikian pun populasi penggiat sastra (sastrawannya) hanya segelintir. Namun memasuki era 2000-an, begitu banyak sastrawan/penulis baru dan berbakat bermunculan. Berbagai kegiatan sastra seperti lomba cipta puisi dan cerpen yang diselenggarakan cukup mendapat apresiasi dari para penulis muda. Demikian pun buku-buku puisi, cerpen, dan novel semakin gencar diterbitkan. Terbitnya buku-buku sastra di era ini juga menandai hadirnya sastra buku di Banjarbaru.

Demikian pun dengan tokoh-tokoh sastra(wan) baru yang bermunculan, baik di tingkat lokal Banjarbaru, Kalsel, maupun di tingkat nasional, hal ini mengindikasikan bahwa regenerasi sastrawan/penulis di Banjarbaru tak pernah surut dan mengalami masa-masa stagnasi.

Bermunculannya berbagai komunitas sastra di berbagai tempat, baik yang terorganisir maupun organisasi non-formal kian menambah hiruk-pikuknya suasana sastra Banjarbaru.   Komunitas sastra yang bermunculan bagaikan jamur di musim penghujan ini berbasis pergaulan lintas sastrawan, lintas kampung, lintas etnik, lintas sekolah (SMP dan SMA), dan lintas kampus ini diantaranya adalah Forum Taman Hati, Forum Lingkar Pena (FLP) Banjarbaru, Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB), Rumah Cerita, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarbaru, Komunitas Aku Untuk Kamu (AUK), Komunitas Teras Puitika, Taman Olah Seni Indonesia (TOSI), Sanggar Sastra Satu Satu, Sindikat Pemburu Hujan, Akademi Bangku Panjang Mingguraya, Belgis of Arts, Yayasan Kamar Sastra Nusantara, Forum Sastra Loktara, Kindai Seni Kreatif, Inspiralova, Front Budaya Godong Kelor (FBGK), dan WaTas Media. Namun atmosfer yang tercipta dari berbagai komunitas tersebut tentu berpengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan di masing-masing wilayah/tempat komunitas itu beraktivitas. Akan tetapi, euforia kehadiran komunitas sastra tersebut beberapa di antaranya tak bertahan lama kemudian menghilang tanpa jejak.

Generasi sastrawan (penyair, cerpenis, novelis), esais, dan kritikus sastra yang berkiprah dan turut menyemarakkan sastra Banjarbaru periode 2000 – 2019 ini adalah: HE. Benyamine, Sainul Hermawan, Randu Alamsyah, Hudan Nur, Nina Idhiana, Della Putri Febrina, Shah Kalana Al-Haji, Dwi Putri Ananda, Nurul Karlina Hidayati, M. Nahdiansyah Abdi, Isuur Loeweng S, M. Yandi, Reza Anshari Azmi, Sigit Bagus Prabowo, Rahmatiah, Miftahuddin Munidi, Ahmad Syam’ani, M. Mus’ab, Putra Canada Iriansyah, Zurriyati Rosyidah, Sri Wuryani, Nurul Azmi LS, Tian Halimah, Harie Insani Putra, Abdul Aziz Muslim, Imra’atul Jannah, Agustina Thamrin, Trisia Chandra, Rudi Resnawan, Rahmat Tohir, Rico Hasyim, Kalsum Belgis, Rika Hadi, Della Putri Febrina, Dwi Putri Ananda, Nina Idhiana, Sri Wuryani, Tian Halimah, Edi Santosa, Mulyadi Razak, Ananda Rumi (Ananda Perdana Anwar), Amanda Nasution, Shah Kalana Al-Haji, Aan Setiawan, Aisah Amini, Fitri Meilisa, Isa Parrahullah, Muhammad Achyadi Rahmat, Rizkawati, Rory Aksara, Rudiansyah, Muhammad Daffa, Siti Aminah Finandya, Syanah Gibran, Zainuddin Alwi, Muhammad Amin, Syamli Sumas, Riska Yunida, Wahyudi, Bayu Saputra, Suwandi, Zainal Mursalin, Abdurrahman Al-Hakim, Nunik Wahyu Hidayah, Henita Rahmayanti, Sularso Al-Hadi, Syahrial As-Siliwa, Ryan Ariana, PJS Ektu Borneo As-Syair, Habib Ar-Rahman, Ni Wayan S, Siti Raudhatun Shalihah, Eka Ratih Apprilia, Widi Retna Setyani, Ali Ahmad, Sidra AB-Akmal, Irena Saputri, Fatimah Adam, Sri Naida, Dewi Yuliani Effendi, Muhammad Ery Zulfian, Cornelia Endah Wulandari, Zahra MF, Meutia Swarna Maharani, Nauka N. Prasandini, Rai Noyatri, dan beberapa nama penulis muda lainnya.

Iklim perkembangan sastra dan sastrawan Banjarbaru hari ini sangatlah luar biasa, dan pada kesempatan di forum ini pula saya menyatakan bahwa Kota Banjarbaru memang layak dan sudah sepantasnya menyandang gelar sebagai Kota Sastra dan menjadi barometer sastra Indonesia modern Kalimantan Selatan. Dan untuk mempertahankan predikat Kota Sastra ini kuncinya tentu saja berada di tangan para penggiat sastra atau sastrawannya sendiri, yakni memelihara iklim bersastra yang kondusif, kreativitas yang terus terjaga, serta intensitas dan konsistensi berkarya.

 

Demikianlah catatan sepintas tentang jejak perjalanan sastra Banjarbaru dari periode ke periode, dari generasi ke generasi pertumbuhan dan perkembangannya. Catatan ini sesungguhnya bukan dimaksudkan sebagai tandingan dan perbandingan terhadap isi buku ini, tapi sekadar  informasi yang mungkin berguna sebagai bahan referensi tambahan untuk edisi penerbitan selanjutnya (kalaupun ada cetakan kedua).

Saya merasa berbahagia dan mengapresiasi atas terbitnya buku 50 Tahun Sastra Banjarbaru yang hadir bersama kita pada hari ini. Penerbitan buku ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang perjalanan sejarah sastra Indonesia modern dan sastrawan di kota Banjarbaru khususnya, dan sejarah sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan pada umumnya.

Selamat dan salut kepada ketiga penulis buku dahsyat ini: Ali Syamsudin Arsi, Ariffin Noor Hasby, dan Hudan Nur. Kalianlah penjaga dan penyelamat sejarah sastra Banjarbaru yang hampir terlupakan dan dilupakan!@