BANJARMASIN (dan juga Banjar Baru) sebagai salah satu titik simpul wilayah Kalimantan Selatan dengan posisi geografis yang strategis nampaknya hanya dikenal sebagai wilayah sumber daya alam (SDA), yang memang tak terkira. Melalui kekayaan SDA itulah muncul kaum elite pengelola politik ekonomi, yang bukan hanya berpengaruh di wilayah provinsi, tapi juga sampai dengan tingkat nasional. Di balik itu, jika kita melacak sejarah kebudayaan-peradaban nusantara, maka wilayah yang berujung di Kota Baru, di situlah kita bisa menyaksikan lalu lintas, lalu Lalang dan saling silang tatanan nilai dari arah Utara Asia Timur dan arah Barat wilayah Asia Tenggara yang ikut membentuk kebudayaan-peradaban nusantara sampai sekarang. Wilayah ini menjadi sejenis ruang transit arus dari Utara, Barat, Timur dan Selatan, dan memainkan peran dalam percaturan perkembangan tatanan nilai dalam berbagai seginya.

Sudah pasti kesadaran seperti itu menjadi khasanah bagi warga Kalsel dan khususnya Banjarmasin. Namun masalah mutahir muncul dari praktek pembangunan yang tak memahami betapa pentingnya tata ruang sosial dalam konteks kehidupan kebudayaan. Perspektif politik ekonomi yang hegemonik telah menciptakan suatu praktek di mana tata ruang publik kian surut dan bahkan lenyap dampak dari arus ekonomisasi tata ruang. Ruang sosial atau ruang publik menjadi komoditas. Singkat kata, itulah yang terjadi di wilayah atau di ruang perkotaan (urban), yang hampir sepenuhnya dikuasai oleh kepentingan politik ekonomi.

Yang menjadi pertanyaan kita, di manakah ruang untuk berekspresi warga melalui karya kesenian. Di manakah ruang kebudayaan yang menjadi ruang bagi warga untuk menyatukan diri dan membentuk tradisi dan kehidupan kultural sebagai medium kohesi sosial? Banjarmasin yang identik dengan sebutan kultur Banjar terbentuk melalui rentang dan proses sejarah sosial yang panjang, yang sudah tentu pembentukan kultur Banjar itu melalui suatu ruang publik yang diisi oleh warga yang sangat beragam. Ada masyarakat Dayak, Melayu, Timur Tengah, Cina, Bugis, Makassar, Jawa, juga bahkan dari Eropa dan berbagai etnis lainnya yang pernah ikut membentuk suatu lingkungan sosial di mana kota terbentuk melalui berbagai komunitas yang berinteraksi secara intensif melalui tatanan nilai masing-masing dalam proses interaksi dan terciptanya kondisi kohesif.

Jika kita merenungi perjalanan sejarah sosial Banjarmasin dan lalu kita melihat kondisi aktual melalui suatu peristiwa kesenian Banjarmasin Art Week (BAW) 2024 yang diselenggarakan belum lama ini, di situlah kita masih bisa menyaksikan jejak sejarah sosial yang secara potensial masih memiliki dinamika dan enerji untuk menciptakan keberlangsungan hidupnya. Berbagai jenis kesenian yang hadir dan dengan tafsir mutahir yang kritis dan dinamis membuktikan bahwa sesungguhnya Banjarmasin memiliki khasanah. Dan khasanah itu, yang paling menarik justru pada pelibatan kaum muda yang terasa terus mencari makna kehadiran dirinya dalam kaitannya dengan kehidupan kebudayaan melalui jejak yang lampau dan dihadirkan pada kondisi masa kini.

Dalam peristiwa BAW yang telah berulangkali diselenggarakan, terasa betapa tata ruang kebudayaan Banjarmasin jauh dari memadai, walaupun sesungguhnya secara fisikal masih sangat mungkin untuk dikelola. Salah satu yang menarik pilihan peristiwa BAW itu terletak pada acara yang diseleggarakan di sekitar bantaran sungai, di antara kerindangan pepohonan dan juga jejalan warung serta ruang parkir. Kita tahu, sungai yang membelah Banjarmasin merupakan jalur utama bagi pertumbuhan dan perkembangan Banjarmasin sejak ribuan tahun yang lampau. Sungai itulah yang menjadi ciri khas Banjarmasin sebagai wilayah perdagangan dan jalur pertumbuhan kebudayaan dan peradaban yang hingga kini terus hadir.

Namun kita perlu memikirkan bagaimana kelanjutan ekosistem peradaban sungai yang telah ikut membentuk Banjarmasin. Dalam konteks inilah betapa pentingnya suatu politik tata ruang untuk ikut kembali mengembangkan berbagai khasanah kebudayaan lokal. Dalam hal ini, tentu keterlibatan Pemkot Banjarmasin untuk membuat rancangan tata ruang yang bersifat inklusif dalam kaitannya dengan kehidupan kebudayaan dengan melibatkan pelaku kesenian dan stake holder kebudayaan. Kita menunggu praktek policy Walikota dan Pemkot Banjarmasin hasil pilkada 2024 dalam kaitannya dengan kebutuhan ruang publik kebudayaan.@