GELARAN refleksi akhir tahun Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB) 2024 ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila sebelumnya yang diminta sebagai narasumber para tokoh agama atau tokoh nasional, kali ini yang diundang para anak muda keren berprestasi dengan kiprah pada bidangnya masing-masing, mencerminkan gaya dan bahasa usia mereka.

Dengan tema Peluang dan Tantangan Mewujudkan Kerukunan Substantif empat anak muda menjadi narasumber, yaitu Hudan Nur, Direktur Program BASAkalimantan Wiki; Munir Sodikin Ketua Sineas Banua; Novyandi Saputra, Artprener; dan Khairullah Zain, agamawan muda. Para tokoh agama dari berbagai majelis agama hadir mendengarkan sebagai peserta refleksi, duduk memenuhi aula Sastro Hardjo RRI Banjarmasin, Sabtu 21 Desember 2024.

Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Ilham Masykuri Hamdie menyampaikan, mengundang anak muda sebagai narasumber dalam kegiatan refleksi ini, untuk mendengar dan meminta pandangan, apa yang anak muda pahami soal kerukunan, serta apa yang seharusnya dilakukan FKUB, agar programnya menjangkau kelompok anak muda.

Melalui BASAkalimantan Wiki, kami mengenalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan kerukunan berdasarkan kosakata Banjar.

Sekarang sudah lebih 10 ribu kosakata Banjar yang teridentifikasi dalam kamus digital, termasuk kosakata terkait toleransi, kerukunan, damai, dan lain sebagainya yang dalam bahasa Banjar mungkin berarti barakat-rakat, ruhui, taparukui, dan sebagainya, kata Hudan Nur, menguraikan apa yang dilakukannya selama ini, untuk mempromosikan toleransi beragama melalui bahasa Banjar.

Empat Narasumber Dialog Refleksi Akhir Tahun FKUB 

“Program BASAibu Bakunjang yang mendatangi sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan, sudah menjangkau lebih dari 2000 siswa untuk terlibat secara aktif melestarikan kebudayaan Banjar. Tentu hal ini sebuah upaya berbasis anak-anak muda, bila mereka memahami budaya yang terbuka dan toleransi seperti halnya Banjar, maka kerukunan akan terjaga,” lanjut Hudan Nur.

Sementara itu Munir Sodikin mengatakan bahwa anak muda di sirkel dia mempromosikan kerukunan dan toleransi melalui film atau sineas. Memang satu tantangan yang tidak mudah, karena anak muda sekarang lebih peduli pada dirinya sendiri dari pada isu-isu terkait toleransi yang dianggapnya sudah usang. Bahkan isu agama boleh jadi tidak menarik bagi anak muda, tapi bukan berarti mereka tidak beragama. Namun isu tersebut bila dibungkus dengan agama maka cendrung akan dijauhi.

Hanya peduli pada diri sendiri dan akan tergerak bila ada hal-hal yang bersifat humanis yang bersentuhan dengan kepedulian serta jatinya dirinya. Bahasa, gaya dan cara pergaulan yang jauh berbeda, sehingga mau tidak mau bila ingin mengenalkan toleransi kepada generasi muda, harus menggunakan gaya dan bahasa yang dipahami anak muda tersebut, kata Munir.

“Saya terlibat dalam penggarapan dokumentasi Mesjid Sabilal Muhtadin, foto-foto tahun 1983, saya temukan berbagai kegiatan yang memberi ruang pada seniman untuk tampil di masjid Sabilal Muhtadin. Baca puisi di masjid, pertunjukan budaya di masjid. Kalau sekarang saya tidak menemukan itu lagi, dan rasanya tidak mungkin itu terjadi sekarang. Foto tersebut seolah menggambarkan, bahwa dulu sepertinya lebih terbuka dari pada hari ini. Kenapa itu terjadi?” tanya Munir.

Bagi Munir, kalau FKUB tidak terbuka dan tidak melek terhadap hal-hal yang sekarang ‘menemani’ dunia anak muda, maka jangan kaget kalau berbagai hal yang sudah menjadi ‘agenda setting’ dari agen dan penyandang dana yang memiliki idiologi tertentu, termasuk idiologi yang bertentangan dengan agama, menjadi hal yang digemari dan bahkan menjadi budaya anak muda.

“Saya mencoba mencari FKUB Kalimantan Selatan di Tiktok, dan tidak ditemukan. Padahal media komunikasi anak muda sekarang yang terbanyak adalah Tiktok, maka FKUB harus juga bermain di media-media sosial yang sering diakses anak muda” ungkap Novyandi Saputra.