SEBAGAI warga yang lahir, tumbuh, dan terus bekerja dalam lanskap budaya di Banjarbaru secara khusus dan Kalimantan Selatan secara luas, saya menyadari bahwa kota ini tengah berada di persimpangan penting. Banjarbaru bukan lagi sekadar kota administratif penyangga ibukota provinsi. Ia telah menjelma menjadi ruang hidup yang dinamis, dengan kompleksitas sosial, kultural, dan ekonomi yang terus bergerak. Dalam konteks inilah, saya merasa terpanggil untuk mengambil peran yang lebih strategis dan aktif dalam proses pemajuan kebudayaan di Banjarbaru.
Keinginan ini bukan semata ambisi pribadi, tetapi merupakan panggilan kolektif untuk menghadirkan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan kota. Saya percaya bahwa kebudayaan bukan pelengkap pembangunan, melainkan napas yang menuntun arah pembangunan itu sendiri. Sehingga ketika Banjarbaru menetapkan Visi EMAS: Elok, Maju, Agamis, dan Sejahtera, saya melihat peluang besar untuk menjadikan kebudayaan sebagai pengikat dan penggerak dari seluruh nilai tersebut (Deeper Dive saya tentang itu bisa di Baca di akun Instagram saya pada link berikut; https://www.instagram.com/p/DMB3-Klzmh8/?igsh=MXJ2OGZsY3VlcXlzOA== ).
Salah satu bentuk nyata dari niat saya adalah dengan terlibat aktif dalam kelembagaan kebudayaan di Banjarbaru. Secara teknis, saya mendorong lahirnya Dewan Kebudayaan Kota Banjarbaru, sesuai amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jika hari ini yang tersedia adalah Dewan Kesenian, maka saya melihatnya sebagai ruang awal yang strategis sebuah laboratorium gagasan, tempat membangun arah, dan alat partisipasi langsung dari pelaku budaya kepada pemerintah daerah.
Hari ini dalam dinamika pembangunan kota yang terus bergerak maju, isu kebudayaan sering kali tertinggal di antara prioritas-prioritas lain yang lebih konkret dan terukur. Banjarbaru, sebagai kota yang tengah tumbuh pesat dan mencari identitas khasnya, memiliki tantangan sekaligus peluang besar dalam menjadikan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan jangka panjang. Dalam konteks inilah, Dewan Kesenian Kota Banjarbaru tidak lagi dapat dipandang sebagai institusi seremonial atau sekadar pelengkap dalam penyelenggaraan acara-acara budaya. Ia harus bertransformasi menjadi ruang kolektif yang mampu merangkul ekosistem kesenian secara inklusif, progresif, dan kontekstual.
Dewan Kesenian bukanlah ruang milik seniman semata. Ia adalah simpul pertemuan antara kreativitas warga, kebijakan publik, dan semangat zaman.
Fungsi representatifnya tidak cukup hanya menghadirkan perwakilan seniman berdasarkan disiplin atau komunitas, tetapi harus mewujud dalam kerja-kerja advokasi kebudayaan yang berpihak pada keberagaman ekspresi seni, keberlanjutan praktik kreatif, dan pemberdayaan warga melalui seni. Ia perlu menjadi lembaga yang memiliki arah kultural yang jelas, berani mengangkat isu-isu kontemporer, dan membuka ruang dialog antara generasi, antar tradisi, bahkan antar wilayah. Peran strategis inilah yang harus dipegang dan diambil oleh Dewan Kesenian; agar kerja-kerja budaya tidak tercerai dan bersifat sektoral, tetapi terintegrasi dalam kebijakan, anggaran, dan pembangunan kota.
Salah satu strategi penting adalah mendorong pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemajuan Kebudayaan Kota Banjarbaru. Perda ini bukan hanya sebagai wujud keseriusan daerah terhadap amanat UU Pemajuan Kebudayaan, tetapi sebagai kerangka kerja jangka panjang yang memungkinkan pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan budaya dilakukan secara sistematis.
Strategi lainnnya adalah pemetaan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) Banjarbaru, roadmap program kebudayaan yang berbasis data, skema dukungan kelembagaan untuk komunitas dan seniman, serta perencanaan lintas OPD yang menjadikan budaya sebagai kerangka pikir utama. Dengan Perda ini, kebudayaan akan berhenti menjadi urusan seremonial, dan mulai menjadi arus utama pembangunan daerah.
Namun regulasi saja tidak cukup. Kerja-kerja teknis harus paralel dibangun. Saya percaya bahwa kerja kebudayaan adalah soal ekosistem, bukan sekadar event organizer. Maka strategiyang harus diciptkan menurut saya adalah memperkuat ekosistem dengan pendekatan berikut: (1) Pemetaan dan Konsolidasi Komunitas Budaya: Membentuk forum atau ruang reguler untuk berbagi, menyusun kebutuhan bersama, dan membangun peta budaya kota. (2) Pendampingan dan Inkubasi Talenta Muda: Melalui pelatihan, residensi, mentoring, serta akses produksi agar generasi muda tidak hanya mewarisi, tapi juga mengembangkan kebudayaan Banjarbaru. (3) Konektivitas Antar sektor: Membangun kerja lintas antara kebudayaan dengan sektor pariwisata, pendidikan, UMKM, dan teknologi, sehingga seni dan budaya hadir dalam kerangka ekonomi dan inovasi sosial. (4) Digitalisasi dan Dokumentasi: Membuat arsip terbuka berbasis data: video, teks, foto, dan wawancara tentang komunitas, tokoh budaya, praktik tradisi, hingga karya seni kontemporer. (5) Festival Tematik dan Forum Ide: Menggagas perhelatan seni-budaya yang bukan hanya tontonan, tetapi juga menjadi ruang diskusi, kolaborasi, dan ekspansi pengetahuan.
Kita tentu menyaksikan geliat seniman Banjarbaru yang terus melahirkan karya, inisiatif, dan ruang alternatif baik dalam bentuk kolektif musik, seni rupa, literasi, film, pertunjukan, hingga kuliner dan produk kriya. Namun tanpa ekosistem yang mendukung, banyak dari praktik tersebut rentan terputus atau tidak berkembang maksimal. Dalam hal ini, Dewan Kesenian seharusnya hadir bukan sebagai pengendali, melainkan sebagai fasilitator. Ia bisa menjadi penghubung antara komunitas dengan institusi negara, antara seniman dengan dunia pendidikan, antara tradisi lokal dengan wacana global. Menrurut saya ini bisa dimulai dengan memetakan praktik seni budaya yang ada hari ini dan memperkuat basis data kebudayaan kota.
Lebih dari itu, Dewan Kesenian juga perlu memiliki arah etis dan politis. Etis dalam arti memiliki keberpihakan pada kelompok-kelompok yang termarjinalkan dalam narasi besar pembangunan budaya, termasuk mereka yang berkarya di pinggiran kota, perempuan pelaku seni, kelompok adat, maupun warga biasa yang terlibat dalam praktik keseharian yang sarat nilai estetika. Politis dalam arti tidak takut bersuara saat ada ketimpangan atau komersialisasi budaya yang mengabaikan prinsip keberlanjutan dan keadilan.
Secara konteks kelembagaan, Dewan Kesenian memiliki peran yang sangat strategis sebagai narahubung, fasilitator, dan penyusun program yang inklusif. Kelembagaan ini seharusnya menjadi simpul yang mempertemukan gagasan pelaku budaya dengan arah pembangunan daerah. Dewan Kesenian harus hadir bukan sebagai aktor tunggal dalam pentas seni, melainkan sebagai ruang kolaboratif yang memampukan seniman, komunitas, dan warga budaya untuk tumbuh bersama. Di sinilah pentingnya menjaga prinsip kesetaraan akses dan keberpihakan pada keragaman ekspresi budaya.
Dewan Kesenian tidak boleh menjadi menara gading yang hanya melihat satu jenis kesenian sebagai “utama”, sementara yang lain dianggap pinggiran. Ia harus berpijak pada kenyataan bahwa kesenian dan kebudayaan hari ini tumbuh dalam keragaman bentuk dan latar: dari seni tradisi yang diwariskan secara lisan, hingga seni kontemporer yang berkelindan dengan teknologi dan kritik sosial; dari kesenian urban anak muda, hingga praktik populer yang lahir dari ruang-ruang komunitas. Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) harus dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling terkait dan berharga. Tugas Dewan Kesenian adalah memastikan semua elemen itu diberi tempat, diberi suara, dan diberi ruang untuk berkembang.
Kadang alfanya kita karena hanya memandang kebudayaan itu hanya hadir dalam bentuk festival dan lomba. Padahal kebudayaan tumbuh dalam narasi, dalam ingatan, dalam relasi sosial yang tak selalu kasat mata. Maka, tugas Dewan Kesenian juga mencakup kerja-kerja arsip, dokumentasi, dan edukasi publik. Ia perlu berpikir lintas medium, tidak hanya menyelenggarakan pertunjukan, tetapi juga mengaktivasi ruang-ruang belajar, diskusi, dan residensi. Dalam dunia yang kian terhubung digital, strategi kebudayaan juga menuntut penguasaan pada platform, data, dan jaringan kerja yang luas, tanpa kehilangan kedekatannya dengan realitas lokal.
Sudah saatnya Dewan Kesenian tidak hanya diposisikan sebagai penyelenggara acara atau penampung proposal kegiatan. Ia harus menjadi laboratorium gagasan, ruang pembelajaran bersama, dan jembatan antar wilayah, waktu, dan kepentingan. Banjarbaru membutuhkan Dewan Kesenian yang mampu membayangkan masa depan kebudayaan kotanya dengan berakar pada sejarah dan berani bereksperimen dengan kemungkinan baru.
Perubahan ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh satu orang atau segelintir elit budaya. Ini kerja kolektif yang memerlukan keterlibatan semua pihak; seniman, akademisi, komunitas, pemerintah, dan warga. Karena pada akhirnya, kebudayaan bukan milik siapa-siapa, tetapi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga, merawat, dan memperbaruinya agar tetap relevan dan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai penutup bagi saya tongkat estafet pemajuan kebudayaan dalam institusi Lembaga Dewan Kesenian penting sekali memberi kepercayaaan kepada anak muda. Menurut saya anak muda tidak hanya pantas untuk diberi tempat, tetapi juga perlu diberi ruang, diberi peran, dan diberi cara untuk berkolaborasi. Banjarbaru harus menjadi kota yang bukan hanya membangun gedung-gedung, tetapi juga mendulang emas dari dalam: dari imajinasi warganya, dari nilai-nilai budaya yang terus tumbuh, dan dari keberanian untuk bergerak bersama. Melalui keterlibatan ini, saya ingin mewakili semangat itu semangat yang tidak hanya merawat warisan, tapi juga mencipta masa depan. Jika kita ingin melakukan kerja kolektif yang inklusif dan berdaya kolaborasi partisipatif dalam tubuh Dewan Kesenian, maka sekaranglah waktunya. Mari tumbuhkan tunas baru!@
________________________
Novyandi Saputra adalah adalah seniman, penulis, dan penggerak kebudayaan asal Banjarbaru yang aktif mengeksplorasi hubungan antara tradisi, ruang kota, dan ekspresi kontemporer. Karyanya melintasi musik, narasi, hingga kerja kuratorial, dengan pendekatan reflektif dan kritis terhadap ekosistem budaya lokal. Ia juga dikenal sebagai sosok yang konsisten mendorong partisipasi publik dalam pemajuan kebudayaan berbasis komunitas.