PADA Selasa (10/1/2023) aku berangkat untuk memberikan pelatihan menulis bagi anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Martapura, Kalsel.
Itu adalah hari pertama pertemuan dari rencana 12 kali pertemuan. Aku sadar betul, pertemuan pertama ini akan sangat menentukan apakah pelatihan menulis yang akan kuberikan bakal bisa berhasil dan berlanjut, atau malah gagal dalam arti tak menarik sama sekali bagi mereka dari sejak awal.
Sebab itulah, aku benar-benar mempersiapkannya. Termasuk apa yang kuminta untuk disediakan yang ternyata tak bisa dipenuhi oleh pihak LPKA.
Buku.
Ya, itulah yang kuperlukan di hari pertama. Dan karena pihak LPKA tidak memiliki anggaran untuk keperluan mendesak itu, aku mengikhlaskan buku-buku di rumahku untuk diboyong ke LPKA.
Di hari pertama itu aku memilih dan membawa sebanyak 33 buku, sebagian besar buku novel, cerpen, dan puisi. Sebab para anak binaan ini diminta agar dilatih menulis cerpen dan puisi.
Memasuki tembok bangunan LPKA– sebelumnya izin dengan satpam di pos sebagai instruktur menulis, dari luar bangunan utama terlihat seperti kantor biasa pada umumnya, tidak terlihat sebagai sebuah penjara. Pintu depan dari kaca tebal yang dibuka tutup dengan ditarik atau didorong.
Di lobi, aku disambut Zika, staf LPKA yang mengkoordinir program pelatihan menulis. Selanjutnya aku diajak masuk ke dalam dengan melewati dua pintu berat dan tebal.
Tampaklah sebuah halaman luas hijau di tengah-tengah layaknya ruang terbuka hijau (RTH) yang sering kita lihat di lingkungan perumahan. Di sudut kanan, ada bangunan tempat ibadah tanpa dinding, di sanalah anak-anak binaan salat, mengaji, atau mendengarkan ceramah agama. Selebihnya bangunan-bangunan yang dari luar sama sekali tidak mengesankan itu sebagai penjara.
Dan memang bukan penjara. Karena bangunan dengan ruangan-ruangan besar tanpa sekat itu tidak memiliki terali besi. Di sanalah anak-anak binaan tidur. Sangat lapang.
Zika membawaku ke bangunan paling besar, yakni Gedung Serba Guna DR. Sahardjo, SH. Di gedung yang berada pada sayap kiri inilah tempat akan digelar pelatihan menulis.
Di sana sudah terlihat anak-anak binaan duduk lesehan beralas karpet seperti di masjid. Ada lebih dari 30 anak. Sejumlah kursi disediakan di depan, tentu tempat Zika dan rekannya, juga aku. Acara tidak langsung dimulai. Suara anak-anak binaan ramai berbincang, seperti tidak siap dan berminat untuk mengikuti kegiatan.
Seorang petugas yang sedang mempersiapkan sound didatangi anak yang paling kecil. “Ayah, ulun tidak usah ikut lah, kada paham jua,” ucapnya dalam bahasa Banjar.
“Sudah, pokoknya duduk dan ikuti saja,” sahut petugas itu yang sepertinya memang sudah sangat paham dengan tingkah polah anak binaan mereka.
Para staf atau petugas laki-laki memang dipanggil “Ayah”, sedangkan yang perempuan dipanggil ” Ibu”.
Tak lama, ada seorang anak binaan lagi yang minta izin keluar, padahal acara belum dimulai.
Aku sudah mengira hal seperti itu akan terjadi. Mereka sebagian besar pasti sudah merasa tidak akan mengerti apa yang akan mereka pelajari.
Zika pun membuka acara. Disampaikan bahwa anak-anak binaan akan mendapat pelatihan menulis di bawah bimbinganku. Diterangkan juga sedikit tentang siapa aku.
“Kalian ikuti dan perhatikan dengan baik apa yang disampaikan. Pelatihan ini dilakukan beberapa kali pertemuan, sampai kalian bisa menulis, yang nantinya akan dijadikan buku,” jelas Zika.
Para anak binaan masih terlihat kurang antusias. Beberapa bahkan harus ditegur karena tak memperhatikan dan bicara.
Lalu aku pun dipersilakan untuk memulai pelajaran.
“Hari ini kita tidak langsung belajar menulis,” seruku. “Aku akan memberi kalian hadiah.”
Mendengar itu, mereka terlihat tertarik dan memperhatikan.
Aku kemudian mengambil kantong kresek berisi buku-buku yang kubawa dari rumah.
“Aku akan membagikan buku-buku ini untuk kalian sebagai hadiah. Ada buku novel, cerpen, dan puisi,’ ucapku, sambil mengambil buku-buku.
Mereka lantas mengacung-acungkan tangan agar kebagian. ” Ulun, Ayah.., ulun Ayah…,” teriak mereka. Ya, aku pun telah mereka panggil Ayah.
Satu-satu mereka mendapat buku yang kubagikan. Beberapa di antaranya bertanya buku apa yang telah mereka dapatkan. “Oh itu buku novel… Itu buku cerpen.. Puisi…,” jawabku. Dan seterusnya.
Mereka terlihat senang dengan buku yang kubagikan. Mungkin itu adalah buku pertama yang mereka punya. Setelah ini, aku merasa tidak akan terlalu sulit lagi untuk mengajak mereka belajar bersama.
“Kalian baca buku-buku itu. Besok kalian ceritakan apa isinya. Misalnya satu cerpen, atau hanya bagian halaman awal novel, atau cukup satu puisi bagi yang mendapatkan buku puisi,” ucapku, dengan tidak lupa meminta mereka berjanji untuk itu.
Selanjutnya, aku lebih banyak menanggapi pertanyaan terkait buku yang barusan mereka dapatkan. Aku sengaja belum langsung memulai bagaimana perihal tentang menulis.
Yang terpenting, aku telah mendapat hati mereka, dan itu tentu akan memudahkan aku untuk selanjutnya memberikan pelatihan menulis.@
BERSAMBUNG