Angin berdesir di antara pucuk-pucuk pohon pinus. Dengan tergesa sampan kusorong dari bibir pantai. Lalu aku melompat tak ubahnya seperti seekor katak ke atas sampan. Segera sampan kukayuh. Sampan berkeluh, terus sampan mulai menjauh. Dan begitu cepat badan disiram peluh.
Kutinggalkan dermaga dan pantai yang landai. Dari jauh, oii. di bibir pantai, kulihat Salman berdiri dengan tangan entah melambai, atau menyuruhku balik menepi. Atau bisa jadi ia menyuruhku agar pergi jauh ke tengah laut dan mengharapkanku mati di sini. Tapi tentu saja, aku yakin sekali, ia masih meringis dengan bibir pecah. Begitu juga dengan luka itu, tentu masih mengalirkan darah di bibirnya. Darah yang merah. Seumpama warna buah jambu air-ku yang tumbuh di halaman rumah yang masak merekah. Atau sewarna dengan lipstik di bibir Yusniar yang pernah kucumbui pada suatu malam di belakang meunasah.
Hari jumat merupakan hari tanpa melaut. Pada batang pohon mangga yang ada di pintu dermaga di kampungku sudah lama tertulis kalimat, “Di Larang Melaut Pada Hari Jumat.”
Namun aku melanggar pantangan itu. Bahkan papan yang bertuliskan kata larangan itu telah aku babat dengan sebilah parang. Papan itu terbelah dua. Salman yang semula menentang dan mencegahku melaut, tersungkur karena tinju. Bibirnya pecah.
“Aku panglima laut di kampung ini Mae. Aku berhak melarang siapa saja yang melaut pada hari jumat. Ini pantangan,” hardik Salman awalnya.
Salman lalu memegangi kerah bajuku. Ia hendak memukulku, tapi aku lebih dulu memukulnya. Dua kali pukulan mengenai bibirnya.
“Tak ada yang bisa melarangku Salman. Termasuk juga kau,” kataku sangat keras.
Dulu, aku ingat, disebabkan Salman, Tengku Umar di Dayah pernah melecutku sepuluh kali dengan sebatang rotan karena ia melaporkanku sebagai biang keributan salat jumat. Aku tahu, Tengku Umar di Dayah sangat sayang pada Salman karena ia murid teladan.
Apa yang dapat kubanggakan kisah hidupku pada Salman selama di dayah? Mungkin tidak ada, karena aku selalu kalah bila dibandingkan dengan dirinya. Ia hapal bacaan shalat ketika kanak-kanak, sedangkan aku masih gagap. Suaranya merdu bila membaca alquran dengan irama taju’id-nya, sedangkan aku masih belajar tentang alif-ba -ta.
Setelah menamatkan SMA, aku bergabung sebagai pemberontak di daerahku. Sejak itu aku tak pernah lagi berjumpa dengan Salman. Namun bukan aku tak pernah membayangkannya. Bersama kawan-kawan di hutan, dengan menenteng senjata, aku berpikir bahwa aku telah dapat mengalahkan Salman. Ada kebanggaan dalam diri sebagai seorang pemberontak. Tapi Salman, apa yang dilakukannya di kampung? Aku sering tersenyum pada Salman bila mengingat keadaanku sekarang. Sering aku berbisik sendiri dengan kalimat begini, ”Aku lebih pantas menang darimu Salman. Aku laki-laki sejati dan kau adalah seorang banci.”
Mungkin itu adalah bentuk ketidaksukaanku pada Salman, meski ia tidak ada aku masih saja memikirkannya. Membencinya dan berpikir bagaimana cara dapat mengalahkannya.
Ketika aku turun dari gunung pulang ke kampung karena rindu abah dan amak, pikiranku lebih banyak dirasuki oleh wajah Salman. Aku ingin menemuinya dan bicara padanya, “Siapa yang terbaik antara kita. Aku laki-laki sejati yang berani mati demi sebuah negeri yang terkoyak. Sudah beratus ratus peluru yang terbang di atas kepalaku Salman. Dan sudah berpuluh orang pula yang meregang nyawa dengan lepasan peluru dari senjataku. Aku yakin kau akan bergidik dan menarik napas setelah mendengarku bercerita,” bisikku
Namun apa yang kuharapkan tidak pernah terjadi. Abah dan Amak di rumah rupanya bercerita tentang Salman.
“Si Salman sudah tidak di sini lagi Mae, sejak bapaknya mati ditembak di tepi desa, ia hilang tak tahu rimba, kami mengira ia sudah dihilangkan, tapi dugaan kami itu sirna ketika dua bulan yang lewat dia pulang ke kampung ini melihat ibunya. Dan ia juga sempat mampir ke rumah kita.”
“Ada apa ia kemari Mak,” tanyaku penuh penasaran.
“Ia menanyakan keadaanmu.”
“Menanyakanku?”
“Iya Mae. Ia bertanya apa kau sering pulang.”
“Mungkin ia seorang cuak Mak.”
“Tidak Mae, ia sama seperti kamu, seorang pemberontak.”
Aku pun tiba-tiba terduduk mendengar kata-kata Mak.
“Ibu tahu sedari dulu kau tak suka padanya.”
Aku tak menyahut kata amak. Penjelasan beliau membuat semangatku tersungkur. Aku pun meninggalkan kampungku dengan gontai.
***
Sampan terus kukayuh meski lenganku terasa ngilu. Kurasakan kulitku terasa mulai melepuh. Aku terus mencoba meredam sakit di hati dan kepenatan pikiran. Tepi pantai mulai tak tampak. Hari ini laut begitu tenang. Cuaca cerah dan langit biru membentang. Aku mengumpat ketololanku dan kebodohan penduduk yang menabukan melaut pada hari jumat. Dulu orang-orang tua selalu menakuti kami dengan kata menyeramkan.
“Di laut pada hari jumat, gelombang memiliki mata pisau yang siap merobek perahumu. Dan hantu kaut, ihi hi hi, akan bangkit dari tidurnya. Hantu laut sangat suka laki-laki untuk dijadikan suami. Kau tak akan pernah kembali jika berjumpa dengannya. Burungmu akan disunatnya, hi hi hi…”
Kata-kata menakutkan ternyata tak ada benarnya. Di sini tak ada gelombang. Tak ada hantu laut. Di benakku wajah Salman lebih menyerupai hantu. Ke mana pun aku pergi ia selalu ada. Wajahnya tak mau lepas di benakku. Membuat pikiranku terasa kacau. Dulu aku hampir bunuh diri karena Salman. Aku hampir tak sanggup menerima takdirku sebagai orang yang selalu dikalahkan.
Aku berhenti mendayung sampan. Ngilu lenganku semakin parah. Tenagaku terkuras habis. Aku menjuntaikan kaki menatap langit yang menyilaikan mata. Ini adalah kesakitan hatiku yang paling dalam pada Salman. Pada Salman? Kurasa bukan hanya dia saja, tapi juga pada Yusniar. Perempuan cantik yang pernah kucumbui di belakang meunasah itu telah bersepakat kata dengan Salman. Mereka menikamku dari belakang. Dan Salman mengunting dalam lipatan.