BEBERAPA waktu yang lalu saya bersama keluarga menghadiri perkawinan Badri di kampungnya di Tabatan, Kalimantan Tengah. Kami mulai berangkat dari rumah pagi hari, menjemput teman untuk kemudian melanjutkan perjalanan melewati kota Kapuas dan sampai di sebuah dermaga kecil di ujung jalan tak beraspal menjelang sore. Di tempat sandaran perahu atau kapal kecil bermotor (klotok, kalsel dan kalteng; ces, kaltim dan sebagian kalteng) yang terlalu sunyi untuk disebut dermaga itu kami baru dijemput klotok kecil menjelang gelap hari. Maka bergelap-gelaplah kami malam itu menyusuri sungai yang sunyi sepi tak ada pemukiman di tepian kiri kanannya, diterangi cahaya bulan yang tak seberapa. Juru arah di depan hanya menyorotkan cahaya senter, untuk sekadar membantu melihat apa yang ada di depan dari jalur yang sudah dihapalnya bersama juru mudi di belakang.

Perjalanan ini cukup mendebarkan mengingat klotoknya cukup kecil untuk kami penumpang sejumlah 10 orang (termasuk juru arah dan juru mudi), di tengah suasana sungai yang gelap dan sunyi. Tak terbayangkan ada apa di sekitar dan di bawah kami, dan tak banyak yang bisa kami lihat malam itu selain kegelapan. Terbayangkan di benak saya bagaimana Badri menghabiskan masa kecilnya hingga kemudian remaja menjelang dewasa, berangkat ke Banjarmasin dan Solo untuk sekolah seni. Betapa tak mudahnya mengejar impian ke tempat yang jauh. Beragam pengalaman hadir tentu saja, selain wacana akademik yang menjadi tujuan dari perjalanan itu.

****

DUNIA pengalaman tak urung juga membentuk wacana intelektual. Meski kadang susah dijelaskan secara verbal-tekstual, bagi sebagian orang pengalaman membentuk wacana khayali (fantasi) secara visual. Pengalaman diserap melalui indera, mengendap dalam hati, dan oleh pikiran disusun ulang dalam rupa-rupa imajinasi yang kemudian terekspresikan melalui penggambaran yang khas-otentik oleh masing-masing orang.

Badri datang dari Kalimantan Selatan/Tengah, sedangkan Haidar dari Lampung, mereka bertemu di Solo. Rute yang mereka tempuhi berbeda dan karenanya cerapan visual, audio, dan lainnya pasti berbeda pula. Meski demikian, mereka lahir sebagai generasi yang kemudian terhubung secara luas melalui internet. Tak dapat dipungkiri dunia maya yang bisa diakses di mana dan kapan saja juga membentuk “ke-se-ragam-an” global yang lain.

Dunia pengalaman mereka, di antara yang beragam dan seragam itu, menimbulkan efek kejut di dalam jauh kesadaran mereka. Carl Gustav Jung menyebut arketip sebagai basis pengalaman masa lalu (arkais), dari pengalaman-pengalaman manusia yang terus diulang-ulang, di mana mitos dan dongeng memuat motif-motif tertentu yang muncul di (bagian dunia) mana pun. Arketip bersifat psikis—tersalurkan di antaranya melalui (mimpi dan) fantasi, dan ia dapat membentuk kepribadian. Setidaknya semacam karakter dalam wacana visual yang mereka mainkan (lakukan).

Badri, setidaknya dalam pameran ini, memilih kenangan masa kecilnya untuk dipresentasikan kembali. Ia mengambil potret diri masa kecilnya yang ekspresif sebagai model, yang kadang ia ulang-ulang dalam satu kanvas. Sifat mengulang-ulang itu ia pertegas kembali dalam kesan warna monokrom dan garis atau tekanan yang kemudian mengesankan bentuk pointilistik. Penguasaannya terhadap bentuk plastisitas yang menghasilkan volume ruang pada objek-objek yang disusunnya, baik pada objek utama maupun ruang kosong di sekitarnya, adalah warisan para naturalis yang diteruskan oleh pelukis realis. Kekuatan garapannya, selain pada tekanan kuas kecil-kecil—garis cadar—yang mengesankan pointilistik itu, adalah pada bagaimana ia memberi “jiwa” melalui ekspresi mimik dan terutama melalui “mata”. Dengan demikian, mata menjadi jendela bagi jiwa keseluruhan lukisannya.

Sementara objek-objek Haidar cenderung lebih kompleks. Perbendaharaan rupanya diambil dari semerata kebudayaan dunia klasik maupun modern, dan bersifat ilustratif-dekoratif layaknya dunia dongeng dalam kisah-kisah H.C. Andersen. Dunia di mana binatang, benda mati seperti jam dan rumah kayu, malaikat serta manusia, “hidup” dan berinteraksi. Seperti karya-karya seniman art nouveau, kekuatan karyanya bertumpu pada narasi yang diekspresikan secara dekoratif-padat pada setiap sisi ruangnya. Sifat ilustratif dan dekoratif semacam ini sudah sedemikian pada mulanya sehingga kadang tidak memerlukan warna lagi untuk mengisi bagian-bagiannya, dan lukisan Haidar—seperti halnya Badri—cenderung monokromatik. Pelukisannya dalam mengisi ruang padat dan kosong mengingatkan saya pada bentuk-bentuk vignet pada majalah tahun 80-90an awal.

Mari kita lihat beberapa karya mereka berdua untuk memberikan penjelasan lebih jauh.
Karya Badri “Mengamati” menurut saya cukup menarik, dari sisi artistik maupun kedalaman gagasannya. Seorang anak membelalakkan matanya, dengan menarik kantong mata/pipinya ke bawah. Tak jelas ia sedang mengamati apa, tak ada objek lain yang bisa membantu kita menarik satu kesimpulan, kecuali empat mata yang satu-satu disebar pada empat sisi kanan kiri, atas dan bawah. Yang terbayang di benak saya ia tengah berada dalam selimut—bagian atas yang sekadar terang itu tak membentuk apapun, bahkan peletakan objek mata di atasnya makin mengaburkan “bentuk” tersebut. Lukisan ini malah terkesan “surealistik” dan bebas untuk ditafsir.

Arketip tersalurkan melalui mimpi dan fantasi yang bisa ditelusuri asal muasalnya sampai ke pengalaman masa kecil. Cerita atau dongeng orang tua, baik yang menghibur atau bermaksud menakuti anak-anak dalam kerangka pesan moral tertentu, mengisi bawah sadar yang terus terbawa hingga masa sesudahnya. Hanya sebagian kecil saja yang mungkin tersisa pada kesadaran yang dapat diceritakan segala lugas, selebihnya mengendap dan terus menghantui untuk sekali-kali muncul dalam “kesadaran” mimpi dan fantasi. Bentuknya adakalanya jelas dan bila-bila seabstrak hantu dalam kisah-kisah pada kebudayaan mana saja.

Badri menyatakan dalam keseluruhan gagasan visualnya:

“Aneka endapan yang direkam, direnungi dan diungkapkan di seputar kehidupan yang dijalani. Saya mengambil sisi kritis terhadap penghayatan hidup tentang ke-diri-an. Akan misteri tentang hal-hal yang dialami manusia meski dalam hal-hal kecil. Apa yang dilihat? Apa yang didengar? Apa yang tersentuh oleh cangkang tubuh merupakan bagian dari bentuk kehidupan manusia.”