asyikasyik, LIPUTAN KHUSUS-Selepas menonton empat film pendek di Misbar, saya dan Helman duduk di sebuah kafe di jalan Panglima Batur. Berdua saja. Kami sepintas-lalu membicarakan film-film yang barusan kami tonton, tentang produksi, akting, dan lain-lain. Sebenarnya ada beberapa hal lain yang kami bahas, tapi tak patut untuk ditulis dan begitulah ingatan itu saya buang jauh-jauh.

Edo datang setelah lima belas menit kami memulai obrolan. Saya melepas kacamata dan bergurau kalau semua omong-omong yang kami bicarakan sudah habis sejak tiga menit lalu, baiknya kita pergi saja sekarang. Ia bilang oh yang pendek dan mengambil sebatang rokok. Ada proyek apa lagi Kampung Teater, ia bertanya seraya menyulut rokok. Dan kami tertawa.

Kampung Teater, kelompok kecil yang kami bangun lima tahun silam, hingga hari ini masih ada. Tak ada keanggotan pasti, barangkali jika didata hanya ada berempat atau, ya, mungkin segitu saja, jumlah yang membikin kami seringkali berpikir untuk ganti nama menjadi Rumah Tangga Teater. Selain itu, sejak awal berdiri, jumlah pentas kami tak lebih banyak dari jari-jari kaki dan sekarang barangkali kami harus menghapus pula teater di belakang rumah tangga.

Seni, harus kita akui, tidak punya jenjang karir seperti kerja di perusahaan. Ia tidak vertikal, naik ke atas macam pegawai gudang yang sewaktu-waktu jadi kepala gudang. Tidak ada, misalnya, penulis naik jabatan. Jika kapan hari ia menjadi redaktur, maka itu tugas yang lain lagi. Karir seniman, seingat saya Raditya Dika, deh, yang ngomong, itu horizontal. Menyamping. Bentukannya menjadi pengembangan dari keterampilan seni itu sendiri. Contoh, penulis cerpen mengeksplorasi kemampuannya untuk menulis naskah drama, dari naskah drama ke naskah film pendek, dan seterusnya dan seterusnya.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami selalu mengutuki nasib mengapa harus teater jalan yang kami pilih. Sebab, jangankan perkara tidak adanya panggung, masalah sepele macam perlu uang untuk beli cat saja bikin pusing. Mesti latihan berbulan-bulan pula. Belum lagi ketika hendak pentas, siapa nanti yang nonton. Ribetnya minta ampun, deh. Pikiran-pikiran semacam ini tidak jarang membuat kami duduk termenung dan berpikir untuk membubarkan komunitas yang bahkan tanggal dibentuknya saja tak tahu kapan. Kami, harus diakui, merasa teater tak punya masa depan. Tidak untuk kami. Ilmu-ilmu, yang kendati sangat sedikit kami kuasai selama ini, hanyalah sia-sia belaka.

Namun, melihat bagaimana belakangan Banjarbaru makin rajin membuka diri terhadap seni dan pelaku seni, apalagi sejak Februari silam Banjarbaru telah sah menyandang status sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan menggantikan Banjarmasin, membuat kami berpikir ulang. Barangkali bukan seninya yang salah, tapi cara kami menjalani kesenian itu yang selama ini keliru.

Seperti yang saya katakan tadi, kami seringkali berpikir teater hanyalah perkara panggung, namun sekali lagi, jenjang karir berkesenian mestinya horizontal, ia mengekplorasi satu keahlian menjadi bermacam-macam bentuk.

Salah satu yang paling dekat dengan teater adalah film—dan itulah yang kami bahas malam itu.

Hingga beberapa bulan lalu, jika bicara soal film di Banjarbaru secara khusus, dan Kalimantan Selatan secara umum, satu-satunya bayangan untuk memasarkannya barangkali hanya ada dua: ikut lomba dan/atau diupload di youtube. Atau, kalau tidak dua itu, barangkali bisalah dengan sedikit kerjasama ditayangkan di gedung-gedung kesenian, atau di kafe, dan tempat-tempat terbuka lainnya yang bersifat tak pasti. Selebihnya hampir tak ada.

Film jadi jenis kesenian yang sulit sekali dijangkau, terutama film-film lokal, tidak ada jembatan yang menyambungkan antara pelaku dan penikmat seni. Bahkan secara luas, film-film blockbuster pun bisa tayang berapa layar sih di Kalimantan Selatan? Tiga, barangkali. Atau bahkan cuma dua. Bioskop terletak di pusat kota, di dalam gedung-gedung bertingkat, hanya bisa diakses oleh orang-orang yang duitnya labihan. Layanan streaming? Hmm… sama saja saya kira.

Saya ingat Mama seringkali bercerita soal masa lalunya menonton film di Pasar Binuang, itu tahun 80-90an, ia masih bujangan ketika itu. Mama barangkali menonton bersama Bapak, mungkin film-film Lydia Kandou, Ira Wibowo, atau film-film cinta yang membikin luluh hati, saya selalu membayangkan begitulah kisah asmara orang tua saya. Bapak tinggal di Binuang, Mama jauh-jauh jalan kaki dari kampung untuk bertemu Bapak. Yah, mungkin begitu. Hal-hal yang tidak pernah saya rasakan sebab setibanya saya di dunia, di pasar hanya ada amis dan bioskop cuma sisa cerita. Setahu saya, selain di Pasar Binuang, dahulu ada banyak sekali bioskop-bioskop rakyat bertebaran; Pasar Martapura, Cempaka, Banjarmasin dan lain-lain. Seiring waktu, sebab teknologi atau pergolakan politik, entahlah, bioskop-bioskop itu pergi meninggalkan cerita-cerita bahagia. Kita bisa bayangkan jika hari ini hal tersebut terjadi, bioskop-bioskop yang ramah terhadap masyarakat, di pusat pasar barangkali, atau di tempat-tempat yang mudah diakses publik, tentu memasarkan film tidak bakal jadi sesulit ini. Saya yakin.

Salah satu yang mewarnai perjalanan panjang perbioskopan di Indonesia adalah misbar, singkatan dari gerimis bubar. Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, misbar—atau di beberapa wilayah disebut sebagai layar tancap—begitu populer. Tontonan diadakan di ruang terbuka, untuk acara besar hingga pesta-pesta kecil sekelurahan. Hari-hari ini—mengutip ucapan Waki Wali Kota Banjarbaru, Bapak Wartono, saat grand opening misbar bulan lalu—misbar di Indonesia hanya tersisa di tiga titik: Purbalingga; Kupang; dan Banjarbaru, tepatnya di jalan Panglima Batur.

Berkurangnya jumlah bioskop rakyat ini, menurut beberapa artikel yang saya baca, disebabkan kalah bersaing dengan gedung-gedung bioskop. Padahal misbar jauh lebih terbuka bagi masyarakat awam, terutama orang-orang kampung seperti saya yang selalu takut bila masuk gedung-gedung mewah seperti mall. Ia juga menyuguhkan hiburan yang berbeda, lebih relatable, terutama jika dilihat film-film yang belakangan ditayangkan di Misbar Banjarbaru.

Peresmian Misbar ini, ujar Bapak Wartono, merupakan dukungan pemerintah Kota Banjarbaru agar menjadi salah satu corong distribusi film dan pertunjukan untuk menggairahkan film maker, production house, dan insan kreatif untuk bertumbuh dan senantiasa berkarya.

Saya kira kita semua mesti sepakat, bahwa kendati barang yang baru diresmikan ini merupakan hal yang kuno belaka, namun ia jelas merupakan terobosan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebuah gerak kecil yang mampu memangkas jarak antara penikmat dan pembuat film. Sekarang yang mesti dibenahi, secara pelan-pelan tentu saja, adalah kualitas dari film itu sendiri. Sebab film yang bagus akan mendatangkan penonton, penonton akan mendatangkan keuntungan (baik dari kepuasan batin dan, terutama, dari finansial) bagi pelaku film. Semakin banyak penikmat dan pelaku, semakin mungkin pula dibangun misbar-misbar lainnya di Banjarbaru dan dearah-daerah lain di Kalimantan Selatan. Begitulah nantinya dunia perfilman kita akan hidup. Sebab, sebagaimana kata kawan saya, hidup sebagai seniman mungkin tidak bisa bikin kita kaya, tapi setidaknya jangan buat ia memiskinkan kita.

Apa yang pelaku, komunitas, gerakan, kelompok, penikmat seni atau apapun itu mesti lakukan untuk merespon niat baik pemerintah Kota Banjarbaru ini? Saya tidak tahu orang lain, tapi bagi kami, momen kebangkitan industri kreatif ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebab, entah bagi penikmat atau pelaku, sayang sekali kalau harus melewatkan momen baik ini hanya dengan sekadar duduk santai dan menyesal lima-enam tahun kemudian karena misbar yang—amit-amit—kepalang sepi (dari pengunjung atau dari pelaku) ditutup tak lama setelah ia diresmikan.

Ia harus hidup. Harus. Kita bisa terlibat dalam panjang-pendeknya umur misbar dari segi yang mana saja.

Saya sesungguhnya pengin menutup tulisan di atas dengan kalimat ajakan klise macam ayo, kita ke misbar sekarang juga, tapi betapa membosankannya mengajak orang lain dengan tulisan macam begitu. Jadi saya memilih untuk mengkahiri tulisan ini dengan satu informasi tambahan saja: bahwa memang jamak kita tahu misbar selama ini diartikan sebagai gerimis bubar, tapi di Banjarbaru kepanjangannya lain belaka, misbar di sini berarti gemisi bareng. Kita akan diberikan jas hujan bilamana langit sedang iseng pada bumi. Bareng-bareng duduk menikmati film dan langit syahdu. Oh ya, Misbar Banjarbaru dalam seminggu punya waktu rehat alias libur yaitu di malam jumat (kamis malam, red). Kalau sekarang masih menayangkan film-film pendek yang dibandrol HTM 3 film pendek Rp. 15.000,00 konon kata Ade Hidayat selalu ketua divisi film Misbar ke depannya akan ada film panjang yang dipastikan akan seru pakai banget!

Saya sendiri, ketika menulis penutup tulisan ini, sedang membayangkan pergi lagi ke Misbar dan menemukan pasangan hidup saya di sana, persis seperti Mama yang bertemu Bapak puluhan tahun lalu di bioskop rakyat Pasar Binuang.@