SAYA selalu menyukai puisi-puisi Muhammad Daffa. Lelaki muda ini menyuguhkan figurative Language yang kuat dalam puisi-puisinya. Namun, sesuai dugaaan, ia takkan puas bertahan hanya dengan menulis puisi. Lalu muncullah beberapa cerpennya dan saya merasa tertarik membicarakan dua cerpen yang berjudul Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang. Sebagai teks naratif, keduanya menarik perhatian karena merupakan nama sekaligus sebutan untuk perempuan, memberikan petunjuk bahwa mereka menjadi sorotan utama dalam cerita. Bagi saya, lelaki yang menceritakan perempuan selalu menarik untuk diperhatikan, bagaimana perempuan diceritakan, sebagai apa, kecenderungan macam apa yang terjadi dalam penceritaan. Semuanya menarik untuk diamati.

            Cerpen Nyi Banjarpurwa dipublikasikan di koran cetak Radar Banjarmasin pada 8 september 2019, sementara itu Mak Kembang diterbitkan di Radar Banyuwangi pada 15 September 2019. Waktu publikasi yang berdekatan membuat saya berasumsi, barangkali kedua cerpen diproduksi dalam waktu yang juga berdekatan. Kedekatan waktu memungkinkan hubungan pengaruh memengaruh antara keduanya, dan hubungan yang terlihat dengan jelas seterang matahari di hari siang ini membantu saya untuk melihat bagaimana keterkaitan antara dua karakter perempuan ini.

            Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang adalah adalah perempuan-perempuan rekaan Muhammad Daffa yang perlu untuk diketahui seluk beluk kejiwaannya karena kedua tokoh ini dalam masing-masing cerpennya telah mendiami sebuah dunia kebatinan tertentu yang membuat pembaca bertanya, jiwa dan spiritualitas macam apa gerangan yang mengkonstruksi keduanya.

 

Psikologi Transpersonal

            Pembacaan mengenai kejiwaan kedua tokoh perempuan ini dilakukan dengan menggunakan psikologi transpersonal sebagai pendekatan. Teori transpersonal dalam psikologi digunakan untuk memahami hubungan manusia dan hal-hal kebatinan (spiritual). Sebuah kajian psikologis yang sama sekali berbeda bahkan boleh dikatakan bertolak belakang dengan obyek kajian sebelumnya seperti psikoanalisis yang obyek kajiannya adalah psikofisis yang memusatkan perhatiannya pada libido sebagai pusat penggerak manusia, psikologi behavioristik yang hanya memusatkan diri pada fenomena fisik manusia, atau psikologi humanistik yang pusat studinya pada  kerja humanistik-kognitif. Psikologi transpersonal melihat ke dalam dimensi yang lebih jauh, yaitu manusia sebagai makhluk transenden, (Mujidi, 2005).

            Transendental sendiri dapat dimaknai sebagai sesuatu yang melampaui pemahaman serta pengalaman biasa dan melampaui penjelasan-penjelasan yang sifatnya ilmiah. Hal-hal transenden bertentangan dengan dunia material, (Bagus, 1996). Melihat manusia sebagai makhluk transendental berarti melihat manusia dalam hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis.

            Obyek pengamatan dalam psikologi transpersonal antara lain adalah spiritualitas manusia terkait hubungannya dengan Tuhan dan agama. Ini adalah fokus utama di samping hal-hal metafisis lainnya seperti pengembangan diri, kemampuan diri berada di atas ego, kriris ruhani, kerasukan, dan pengalaman-pengalaman hidup non-material yang tidak umum lainnya.

Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang

             Cerpen Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang memiliki kemiripan struktur narasi dan kesamaan bangunan karakter. Keduanya menceritakan sepak terjang dukun perempuan terkenal, Mak Kembang di Tenggara Angin-Angin dan Nyi Banjarpurwa di Jatilawang. Kedua perempuan ini sama-sama memiliki kesaktian di luar akal yang memungkinkan mereka melakukan berbagai praktik sihir (saya menggunakan kata sihir secara fungsional tanpa membawanya dalam konteks apapun untuk menjelaskan praktik di luar akal yang dilakukan kedua tokoh). Keduanya juga sama menjadi dukun terkenal yang disegani sekaligus memiliki musuh yang tidak menyukai keunggulan mereka. Pada akhirnya tokoh-tokoh yang tidak menyukai mereka, Kemblak di dalam Nyi Banjarpurwa dan Mbah Karta di dalam cerpen Mak Kembang, berhasil meyakinkan orang banyak untuk menghukum mati dukun perempuan itu. Ajaibnya, kematian yang diharapkan menghampiri kedua perempuan ini ternyata tak datang, mereka masih hidup dan menuntut balas. Pembalasan dilakukan dengan cara serupa dalam kedua cerpen, perempuan-perempuan itu menurunkan bala berupa gemuruh dan angin hitam kepada penduduk desa.

            Dalam Nyi Banjarpurwa, perempuan ini tidak hadir kecuali melalui narasi para tokoh yang menceritakan tentang dirinya. Ia adalah dukun sakti yang telah lama mati tapi diyakini belum mati. Keyakinan itu terbukti di sepanjang cerpen, ia menuntut balas pada orang-orang. Sementara itu, Mak Kembang hadir sebagai tokoh utama cerita, bercakap dengan tokoh lainnya dan merangkai narasi-narasinya sendiri.

            Hal yang paling mengganggu dalam plot cerpen-cerpen ini adalah  cerita yang tidak fokus, terutama pada cerpen Nyi Banjarpurwa. Kita akan menemukan hal-hal yang kurang relevan atau minimal tidak dijelaskan hubungannya secara eksplisit, pun tak bisa diduga kaitannya secara implisit. Misalnya dalam cerpen Nyi Banjarpurwa, kita akan menemukan makhluk yang tetiba memasuki tokoh Jumadi (Jumadi adalah tokoh yang menceritakan tentang Nyi Banjarpurwa pada orang-orang), atau kehadiran tiba-tiba tokoh aku yang selama lebih dari setengah cerpen hanya menjadi narator luar, dan atau Wak Jarman yang tetiba hadir di ujung cerpen memenjarakan Nyi Kembang. Hal yang sama juga terjadi pada cerpen Mak Kembang, misalnya narasi yang tidak relevan terkait suami Mak Kembang.

Plot yang kurang fokus ini ternyata berkelindan dengan karakter tokoh yang secara transpersonal tampak kontradiktif. Hal ini menyulitkan proses identifikasi karakter, namun di sisi lain kompleksitas macam ini dapat diterima sebagai sesuatu yang memang layak disematkan pada jenis karakter semacam ini.

Transpersonal Psikologis Nyi Banjarpurwa

            Di dalam cerpen, Nyi Banjarpura hadir dalam narasi para tokoh tentang dirinya, terutama dari tokoh Jumadi yang menceritakannya terus menerus. Ia tak pernah hadir secara fisik karena dianggap sudah tewas dibunuh di suatu waktu di masa lampau, namun keseluruhan suasana cerpen dibangun oleh narasi mengenai dirinya. Nyi Banjarpurwa diidentikkan dengan perbuatan-perbuatan di luar nalar kemanusiaan, hal-hal yang secara kognitif tak berterima dan secara fisik terasa luar biasa. Nyi Banjarpurwa benar-benar memasuki dimensi metafisika yang melampaui kondisi normal manusia umumnya. Ia bisa membuat udara menjadi panas, langit menjadi hitam, ia juga tak bisa dibunuh dengan peluru biasa, ia bisa membunuh orang dengan mengirimkan angin hitam pada mereka, mengejar mereka dengan tubuh halusnya (ruh atau apalah itu).

Nyi Banjarpurwa disebut di awal sebagai ahli kebatinan, kemudian dukun. Dua istilah yang memiliki makna yang berbeda dalam konteks transpersonal.  JIka kita mengamati praktik yang dilakukan Nyi Banjarpurwa, misalnya saat ia mengucapka mantra yang menyebabkan angin menjadi panas dan langit menggelap saat ditangkap untuk dibunuh, atau saat ia tidak mempan ditembak peluru biasa. Perempuan ini lebih memenuhi syarat sebagai dukun daripada ahli kebatinan. Apalagi ketika ia berusaha menuntut balas secara mengerikan, dengan mengirimkan angin hitam dan membunuhi para penduduk.

            Kebatinan dalam konteks transpersonal adalah istilah yang cenderung positif untuk menyebutkan bagian manusia yang menghayati hubungannya secera transenden dengan tuhannya, ajaran yang menyuruh menyelaraskan hidup agar sesuai dengan kehendak Tuhan di mana dendam yang mengerikan, mantra yang merusak kenaturalan alam, serta kecenderungan untuk menebarkan ketakutan bukanlah bagian dari itu.

            Di titik ini kita akan menemukan kondradiksi Nyi Banjarpurwa. Dalam salah satu narasi cerpen disebutkan bagaimana Nyi Banjarpurwa memanggil malaikat-malaikat dalam mantranya. Malaikat yang merupakan makhluk yang sama yang kita pahami berada dekat dengan dimensi ketuhanan. Mari kita lihat kutipan berikut.

   Pun jampi-jampi yang biasa ia bacakan setiap kali mengobati orang, semuanya tak ada arti lagi jika dibandingkan dengan mantra yang biasa dibaca oleh si perempuan tua, terdengar teduh dan tidak terlampau terkesan seperti memanggil setan kuburan. Barangkali perempuan tua itu memanggil malaikat di langit dan di bumi dengan mantra-mantra untuk membantunya dalam mengobati pasien yang selalu saja berdatangan ke rumahnya dari pagi hingga sore..”

Dukun dalam perspektif agama (Islam) sangat jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Hal itu disebabkan kecenderungannya menggantikan posisi tuhan dalam mengendalikan perkara-perkara gaib. Meramalkan masa depan, menolak kematian, membunuh manusia dengan cara yang tidak masuk nalar kemanusiaan, dan praktik lainnya yang seolah-olah ingin meniru praktik ketuhanan ini menyebabkan dukun vis a vis dengan konsep transendensi itu sendiri. Di satu sisi ia adalah produk dari perkara non-material, di sisi lain ia justru bertentangan dengan metafisika ketuhanan, bahwa tuhan dengan segala keagungannya tidak bisa dipersekutukan dengan apapun.

Transpersonal Psikologis Mak Kembang

Dalam cerpen Mak Kembang, pemaknaan transpersonal dalam hubungan manusia dengan Tuhannya dan pengalaman metafisis selain itu bercampur baur sehingga menyebabkan kerancuan. Ketika alim ulama di kampung Tenggara Angin-Angin mengalami kebingungan mendefiniskan kondisi kebatinan Mak Kembang, apakah ilmunya sejalan dengan prinsip ketuhanan atau malah menantangnya, hal itu menjadi suatu hal yang harus dimaklumi karena Mak Kembang sendiri jelas-jelas mencampuradukkannya. Kita dapat melihatnya dari sejumlah kutipan berikut,

   Mak percaya jika tuhan telah menganjurkan supaya umat manusia percaya kepada sesuatu yang gaib. Tapi tampaknya ia salah tafsir, karena setahuku Mak tidak lancar membaca alif, lam, atau ra. Ia hanya bisa membaca mantra-mantra di depan pedupaan

   Ia yakin tuhan akan membantunya untuk tidak terbunuh, sebagaimana tuhan membantu Ibrahim lolos dari kepungan api yang jahanam.

Tapi siapa sebenarnya yang telah menolongnya begitu api itu membakar? Tuhan jelas membantu, tapi rasanya ada sosok lain yang menolong kala tubuhnya mulai panas termakan api.

            Pencampuradukan ini juga dilakukan Ayawan, anak Mak Kembang yang juga mengikuti jejak ibunya mendalami ilmu perdukunan.

Suara Mak Kembang didengarnya begitu jelas, sehingga bisa pula suara itu terpantul ke sekian banyak daun dan genangan air di sekeliling tempat Ayawan berdiri. Maghrib mulai memanggil. Ayawan harus kembali ke puncak gunung untuk menunaikan salat bersama burung-burung merpati, kucing, belalang, dan koloni kupu-kupu usia remaja.

            Dalam kutipan-kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa Mak kembang menganggap pengalaman metafisisnya sebagai dukun adalah pengalaman transendetal ketuhanan yang tentu saja keliru karena di bagian akhir cerpen, kedua anak beranak itu mengakui bahwa apa yang mereka lakukan –membunuhi penduduk desa dengan menurunkan sihir gemuruh dan petir- merupakan perbuatan yang takkan bisa diterima sesiapa apalagi Tuhan. Bacalah kutipan berikut,

“kenapa ibu menyuruhku untuk menghukum semua manusia di Tenggara Angin-Angin?..”

“aku baru menyadarinya. Maafkan aku, nak..”

“ibu tak seharusnya berbuat sedemikian. Ibu tidak berhak mendahului tuhan..”

“diamlah, nak. Bukankah kita sekarang sudah berada jauh di bawah bumi?..”

“jazirah mana lagi yang akan kita datangi, juga mau untuk menerima orang seperti kita?..”

 

            Praktik perdukunan yang dilakukan Mak Kembang dengan kecenderungan menduplikasi Tuhan menjadikannya tidak bersesuaian dengan keinginan Tuhan yang dalam keesaan-Nya tidak menghendaki adanya penduplikasi-penduplikasi. Kemampuan menolak kematian, menghilangkan nyawa di luar logika, dan kemampuan mendatangkan bencana gemuruh dan petir (yang mirip dengan cara Tuhan menghukum penduduk penduduk kaum ‘Ad dengan angin dan gemuruh yang dahsyat) sama sekali tidak menunjukkan hubungan transenden yang harmonis antara Mak Kembang dengan Tuhan.

            Kedua perempuan ini, Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang, secara transpersonal memasuki dimensi metafisis non-material yang melampaui logika kewajaran manusia, sihir sebagai praktik di di luar dimensi fisik dan psikis manusia merupakan hal yang mereka jalani setiap harinya bahkan menjadi pusat kehidupan mereka. Hanya saja pengalaman metafisis ini tidak bisa dimasukkan dalam dimensi spiritual ketuhanan karena memang pengalaman-pengalaman itu menolak esensi ketuhanan yang meresistensi kecenderungan memerankan Tuhan seperti yang mereka lakukan.

            Bagi saya, Nyi Banjarpurwa dan Mak Kembang adalah perempuan-perempuan mistis yang terlalu kuat, yang berusaha mencapai derajat ketuhanan tertentu. Syukurlah mereka hanya ada dalam kepala Muhammad Daffa saja.

            Wallahua’lam.@