BERBEDA dengan Tadarus Puisi dan Majelis Puisi yang biasa digelar, Ngaji Puisi adalah mendalami karya seorang penulis puisi, yang melalui karya puisinya mungkin saja memberikan pembelajaran atau bahkan meninggalkan satu pencerahan kepada pembaca dan penikmatnya. Dan malam itu, tepatnya malam 25 Ramadhan, dalam rangka mengenang dua sastrawan Kalsel yang baru berpulang, yaitu Abdussukur dan Jamal T Suryanata, dilakukan ngaji puisi oleh Dewan Kesenian Kota Banjarmasin.
Tidak banyak yang datang, sebab acaranya berlangsung hingga larut malam. Awalnya, para pembicara memang lebih banyak mengisahkan profil kedua sosok sastrawan tersebut. Sebab, semua narasumber dan yang hadir, memiliki kedekatan emosional, baik sebagai kawan, senior, junior, atau pun rekan kerja dan berkegiatan.
Cerita haru, sedih dan gembira, bercampur jadi satu, sebagai ungkapan hati serta perasaan kehilangan. Hingga antara membicarakan karya dan sosoknya, sulit dipisahkan. Jamal T Suryanata memang melahirkan karya sastra yang sangat banyak, sehingga membicarakan kiprahnya dalam dunia sastra pasti tidak cukup waktu. Sementara Abdussukur, hanya sebentar menggeluti dunia sastra, lebih banyak berkiprah dalam dunia pertunjukan, baik mamanda, bapandung, maupun bentuk teater lainnya. Karya sastranya tidak terlalu banyak, bahkan panitia mengakui kesulitan mencari karya-karyanya.

Sambil mendengar paparan soal sosok para sastrawan tersebut, saya membuka lembar demi lembar bahan yang disampaikan panitia. Saya ingin kembali memfokuskan pada soal ngaji puisi, yaitu mendalami dengan hikmat terkait karya yang sudah dihasilkan seorang sastrawan. Tidak lama membolak-balik, akhirnya saya menemukan satu puisi pendek yang cukup menarik dari Abdussukur. Puisi tersebut terasa sangat mewakili diri dan kepribadian penulisnya yang sederhana, lugas, kritis dan suka berterus terang dalam menyampaikan sesuatu. Walau dalam beberapa hal suka “bamantik”, tapi kalau pun dimaknai secara harfiah, tetap mengandung pesan yang bermakna.
Pusi tersebut berjudul Mandi Basah. Dalam puisi tersebut dia mengatakan:
mandi nang sabujurnya mandi
gusuk nang sabujurnya gusuk
mandi jangan asal mandi
banyak urang mandi
banyak urang bagusuk
tapi kada basah
tapi masih hibak daki
Puisi ini ditulis di bulan Mei, pada 2021.
Sederhana isinya, tapi maknanya dalam sekali. Hanya soal mandi dan bagusuk, mestinya bertujuan untuk membersihkan tubuh, namun ada banyak yang sekadarnya saja. Sekadar dianggap mandi dan bagusuk, tapi masih penuh daki. Padahal tujuan mandi dan bagusuk justru menghilangkan daki.
Puisi ini tentu memberikan pembelajaran yang tidak sederhana, dia dengan lugas mengatakan bahwa kalau ingin bersih-bersih, dan serius betul-betul ingin bersih-bersih, jangan sekadarnya saja. Pastikan bahwa yang kotor, yang tersembunyi atau menempel di sana-sini, sirna. Jangan takut membersihkan daerah-daerah paling senstitif sekali pun, sebab begitulah semestinya mandi.
Puisi ini menyindir segala tindakan yang sekadar formalitas saja.
Kalau negeri ini ingin berbenah, entah bentuknya reformasi birokrasi atau fakta integritas, maka tidak ada cara kecuali benar-benar serius membersihkan segala benalu, hambatan, dan segala problem mental, yang oleh Abdussukur disimpulkan dengan daki. Kalau daki masih menempel, tidak ada gunanya mandi dan bagusuk. Pun, kalau masih tidak jujur, tidak tulus serta diselimuti problem mental, jangan berharap reformasi bisa berjalan.
Kenapa Abdussukur meminjam daki sebagai perumpamaan? Sebab daki selalu mucul, hadir, kapan pun, bahkan setiap waktu, dalam situasi apapun. Apalagi bila jarang mandi, pasti semakin banyak potensi daki. Karenanya, rutinlah berbenah, jangan hanya sekali-sekali. Pas ada moment atau kejadian, baru berbenah, setelahnya kembali pada rutinitas yang berpeluang melahirkan daki.
Daki enggan menempel pada orang yang suka dengan kebersihan. Carilah yang bersih sejak dari awal, lihat track recordnya – jejak rekam, setelahnya senantia selalu menjaga kebersihan agar tidak pernah tercemari oleh apapun yang dianggap kotor. Menjaga kebersihan, salah satunya dengan turut mengawal, memastikan semuanya berajalan bersih.
Puisi Abdussukur yang sederhana itu, dengan hanya 7 baris dan 25 kata, memberikan pembelajaran, bahwa kerja bersih-bersih tidak sederhana dan sekadarnya saja, harus serius dan bahkan dengan segenap kemampuan serta perhatian. Kerja serius tidak pernah dilakukan sambil lalu. Kalau sambil lalu, pasti tidak membawa hasil, pasti masih hibak daki.@