KAMI bersama beberapa anak muda, duduk melingkar di undakan lantai balai adat pada malam digelarnya aruh. Ngobrol dan membaur dengan para pemuda adat yang gelisah, sambil menunggu aruh dimulai.

Satu persatu para tetuha datang menghantarkan persembahan aruh, berupa padi yang baru dipanen, dikemas rapi dalam bakul warna-warni, dibungkus dedaunan, diselipkan bunga serta manisan.

Para pemuda adat gelisah, sebab warga yang ikut aruh semakin berkurang. Dua tahun lalu jumlahnya masih 32 kepala keluarga. Tahun kemaren berkurang menjadi 26 kepala keluarga. Malam ini yang ikut aruh hanya 16 kepala keluarga.

Bila mengenang lima atau sepuluh tahun sebelumnya, aruh masih sangat ramai. Semua bilik yang mengelilingi ruang induk balai, penuh terisi oleh keluarga-keluarga yang ikut serta dalam aruh. Mereka datang ke balai beserta seluruh keluarganya, dan menginap di balai tersebut berhari-hari, bahkan ada yang seminggu, sambil mempersiapkan acara aruh.

Bila sudah datang dan menginap di balai, tidak boleh pulang – pamali, kecuali aruh sudah selesai. Karena itu semakin mendekati hari dilaksanakannya aruh, semakin ramai balai dipenuhi warga yang merayakannya.

Sekarang aruh sudah tidak seramai dulu lagi, kata Syahrani, salah seorang pemuda adat dengan nada gelisah. Dengan hanya 16 kepala keluarga, bukan mustahil beberapa tahun lagi aruh sudah tidak ada. Sebab aruh bermakna mensyukuri atas hasil huma yang sudah dipanen.

Apakah banyak yang pindah agama? Tanya kami kepada Syahrani.

Ada yang pindah agama, tapi tidak banyak. Yang jadi soal, agamanya tetap menganut agama lokal, namun tidak lagi mau ‘bahuma’, yaitu menanam padi di gunung-gunung, di kaki pegunungan Meratus.

Suasana dalam balai adat tempat pelaksanaan aruh.

Kalau tidak bahuma, bagaimana mungkin bisa ikut aruh? Kalau nanti semuanya tidak mau bahuma, maka aruh sudah tidak penting lagi. Aruh hanya tinggal cerita dan kenangan. Tidak mungkin ada aruh tanpa ada yang bahuma, kata Syahrani sambil menatap langit-langit balai yang dibangun undakan dan dihiasi untaian daun kelapa muda.

Kenapa warga tidak bahuma? Tanya kami penasaran.

Mereka menganggap ritualnya ribet, bikin repot, prosesnya panjang dan pekerjaannya capek. Terutama anak-anak muda, mereka lebih memilih menjadi tukang ojek, joki lanting arung jeram, atau joki river tubing. Sedangkan para tetuhanya sudah tidak kuat lagi bahuma karena dimakan usia, dan tidak sempat meneruskan bahkan menanamkan filosofi bahuma kepada anak-anaknya.

Menjadi tukang ojek, joki lanting atau river tubing, langsung dapat uang. Sedangkan bahuma, harus menunggu berbulan-bulan, bahkan setahun. Itulah sebabnya anak muda banyak yang tidak mau lagi bahuma dan lupa bahwa itu berdampak pada adat, pada tradisi aruh, pada kelestarian balai dengan segala fungsinya, dan berbagai upacara yang terhubung dengan kalender musim, lanjut Syahrani.

Facebook Comments