Apa pentingnya mengetahui genre dalam karya? Saya seringkali menanyakan itu kepada kawan-kawan dan, seringnya, jawaban yang saya dapat tak jauh-jauh dari: Itu sih tugas kritikus, tugas kita cuma menulis.
Oke, baiklah. Mula-mula, sebagai disclamer sebelum oceh-oceh ini dilanjutkan, saya katakan bahwa saya bukan kritikus sastra, bukan pula penulis yang dididik dengan buku-buku ilmiah kesusastraan sebagai pijakan berkarya: saya cuma anak muda yang kemarin sore mulai belajar membedakan cara menulis di-pisah dan di-sambung. Jadi, dengan segala kerendahan hati, apa yang saya sampaikan di bawah ini mungkin salah belaka, jauh dari kata benar. Saya berharap kritikus sastra, setidaknya yang berada di Kalimantan Selatan, bisa melakukan kajian lebih mendalam tentang usaha penjelajahan bentuk dari Iberamsyah Barbary ini secara lebih ilmiah dengan refrensi yang jauh lebih relevan.
SINOPSIS TIPIS-TIPIS TENTANG BANGKU PANJANG
Secara garis besar, novel ini berisi dua cerita dengan dua masa yang dirakit menjadi satu kesatuan:
Pertama, cerita antara Shasa dan Haiku yang bersetting waktu di masa depan, 2176. Yang melakukan wisata-masa lalu dengan kota tempat buyut mereka tinggal, Banjarbaru. Haiku, buyut dari Asyad Indradi, dikisahkan hidup di Jepang sementara Shasa, buyut dari Iberamsyah Barbary, tinggal di Banjarbaru. Dalam pembuka novel ini digambarkan bahwa Haiku sedang berada di ruang tunggu bandara sesaat sebelum kepergiannya ke Banjarbaru. Haiku dan Shasa, terlepas dari kedekatan kedua buyutnya, adalah dua orang yang menjadi sahabat selepas pertemuan pertama mereka di satu event sastra di Rusia.
Jujur saja saya cukup terenyuh ketika menyadari bahwa ada sebentuk optimisme penulis dalam novel ini yang dititipkan dipundak dua karakter utamanya, Shasa dan Haiku, bahwa Banjarbaru, jauh di masa depan nanti, tak lepas dari apa yang hari ini kita lihat. Sungai yang masih terjaga, budaya yang makin erat dengan suku yang meninggali kota ini, keagamaan yang masih sama terjaga. Percakapan-percakapan di antara kedua tokoh ini sebagian besarnya merupakan hal-hal baik saja mengenai Banjarbaru Lama, para seniman yang diabadikan di museum, kuliner, dan tempat-tempat bersejarah. Namun begitu, saya kira, satu-satunya hal yang cukup meyakinkan bahwa setting waktu cerita ini berada di masa depan adalah gambaran-gambaran tentang pembangunan kota yang kian megah saja, gedung bertingkat, jalanan, dan lain-lain. Sementara untuk beberapa hal lainnya tak cukup “masa depan”, kota literasi, yang digaungkan karakter-karakter dalam novel ini ketika menyebut Banjarbaru bahkan tak cukup “masa depan”. Sebab, dalam novel ini, satu-satunya yang baru perihal literasi Banjarbaru hanyalah perpustakaan megah dan sudah, itu saja, sementara geliat keliterasiannya, sepembacaan saya, masihlah sama: rainy day, poetry in action, aruh sastra, dan lain-lain yang diucapkan sebagai dialog-cerita masa silam oleh Shasa kepada Haiku. Apakah Iberamsyah Barbary cukup meyakini bahwa kegiatan literasi Banjabaru hari ini masih dan akan terus relevan dengan zamannya seratus tahun mendatang? Saya tidak tahu dan, saya kira, kita perlu menanyakan ini kepada beliau serta sastrawan-sastrawan Banjarbaru lainnya selepas oceh-oceh ini selesai.
Lalu, masih soal cerita antara Haiku dan Shasa, dialog di antara keduanya cendrung puitis, sopan, dan terpelajar. Sangat terpelajar. ini mungkin disebabkan karena keduanya merupakan orang yang terpelajar—doktor. Ketika membaca percakapan tersebut, saya merasa jadi orang dungu yang sesekali tanganga menyaksikan dua orang pintar bicara di hadapan saya. Sebagai orang yang lahir serta besar di lingkungan tambang dan cendrung bicara keras serta jauh dari kata sopan, saya sangat mengapresiasi usaha penciptaan karakter ini, sungguh.
Kedua, cerita yang dibangun dari sebuah pijakan di tahun-tahun awal pembentukan Akedemi Bangku Panjang di Mingguraya. Cerita ini jauh lebih membikin saya merinding, entah sebagai fiksi atau tidak, dalam cerita kedua ini fokus penceritaan terpusat pada Iberamsyah Barbary dengan cara tutur orang pertama—pada cerita pertama pov menggunakan orang ketiga. Kita akan disuguhi usaha beliau dalam membangun Yayasan Kamar Sastra Nusantara, kehidupan kesastraan beliau, dan pendekatan beliau kepada pemerintah dengan jalan sastra sebagai upaya membangun kota dan budaya. Bagian ini barangkali dimaksudkan penulis serupa surat atau diary semasa hidup yang dibaca anak cucu kemudian hari—dalam hal ini Shasa, sebab saya merasa pada bagian ini, alih-alih sebagai esai, justru terasa seperti otobiografi pengarang dengan segala liku kehidupan sastrawinya.
Mula-mula, bangunan dua cerita ini merayap di dua jalan yang berbeda: satu sebagai cerita masa depan, satu yang lain sebagai cerita masa lalu. Cerita antara Shasa dan Haiku, pada mulanya, selalu dengan judul nama keduanya. Sementara cerita dengan sudut pandang orang pertama ditulis dengan judul bab: Akademi Bangku panjang dan Kota Idaman-Kotaku Sayang. Di antara dua cerita ini terdapat masa yang jauh, ratusan tahun, tapi ketika mendekati akhir buku, bab Akademi Bangku Panjang dan Kota Idaman Kotaku Sayang tetiba saja dimasuki oleh Shasa dan Haiku yang notabene berada di masa yang lain. Saya tahu, ini cuma teknis, tapi mungkin perlu dikatakan karena pada bagian ini bangunan cerita yang disusun dengan bab-bab terpisah terasa runtuh.
ANTARA NOVEL, ESAI, DAN NOVEL-ESAI
Novel dan esai berada di satu daerah yang sama yang sering kita sebut sebagai prosa, namun di antara keduanya terdapat satu jurang yang membuat novel dan esai berada di sisi yang sama sekali berbeda. Novel itu fiksi, sementara esai adalah satu tulisan non-fiksi dengan sifat analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya, dengan bentuk, biasanya, terdiri dari pembukaan dan kesimpulan, dan di antara keduanya terdapat beberapa paragraf sebagai isi dari esai tersebut (Saut Situmorang, 2018).
Dari satu paragraf di atas, kita bisa pahami bahwa ada perbedaan mendasar antara novel dan esai. Namun, sementara banyak orang memilih melompat dari satu tebing ke tebing yang lain secara bergantian sebagai pilihan berkarya, Iberamsyah Barbary memutuskan untuk menggabungkan kedua tebing itu dengan satu klaim yang ditempel di sampul buku terbarunya: Bangku Panjang; sebuah novel-esai.
Novel-esai. Apakah ini ada hubungannya dengan polemik sastra yang diciptakan Deny J.A? Apakah, seperti yang ramai di kolom komentar facebook Hudan Nur ketika memposting poster acara ini, novel-esai merupakan genre baru dalam sastra kita dan layak ditertawakan sebagaimana puisi-esai?
Tanpa bermaksud menggurui, untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu rasa-rasanya menengok ulang kesusastraan dunia—setelah dipikir-pikir, kalimat ini berat sekali—baik di masa sekarang maupun di abad-abad yang telah lewat. Namun, sebelum nantinya hadirin ikut beramai-ramai menengok sastra yang saya maksudkan tersebut. Untuk sementara ini, biarlah dulu saya membacakan hasil dari penengokan saya dan teman-teman Arkalitera yang mungkin tidak terlalu berisi ini.
Halte pertama yang kami singgahi ketika menjelajahi novel-esai adalah buku Stefano Ercolino, The Novel-essay: 1884-1947 yang terbit di tahun 2014.
Buku ini secara khusus mengkaji genre novel-esai pada akhir abad 19 dan 20. Dalam kata pengantarnya, Ercolino mengatakan bahwa genre ini mulanya timbul di Prancis, dan berkembang di Austria serta Jerman. Namun, karena waktu pembacaan yang sedikit, dan kendala bahasa yang mendinding antara saya dan Ercolino, saya merasa tidak mungkin menyampaikan apa-apa yang Ercolino sampaikan dalam kajian di buku tersebut. Tapi, setidaknya, dengan perhentian pertama ini, kita tahu bahwa novel-esai bukanlah sebuah genre baru yang nimbrung di bawah payung puisi-esai.
Selanjutnya, mengikuti kajian Ercolino, saya melipir ke novel La-Bas dari Joris-Karl Huysmans. Novel ini disebut oleh Ercolino sebagai novel-esai, meski dalam dalam La-Bas sendiri sama sekali tidak mencantumkan novel-esai sebagai genre. Novel ini dibuka dengan karakter bernama Des Hermies dan Durtal yang ngoceh tentang naturalisme Zola. Mereka mengkritik Zola, itulah esai dalam novel ini.
Novel kedua yang saya lihat adalah The Pargiter dan Virginia Woolf, dalam buku ini secara jelas ditulis buku ini merupakan The Novel-essay Portion of the Years. The Pargiter merupakan draft pertama yang kemudian hari diterbitkan Woolf sebagai The Years—dengan meninggalkan unsur esainya. Namun, setelah ia tiada, Mitchell Leaska mengedit draft pertama itu dan menerbitkannya sebagai novel-esai. Berbeda dengan La-Bas, novel ini memisahkan antara bab fiksi dan esai. Sayangnya, saya belum membaca novel ini secara utuh dan tidak tahu bagaimana ia membangun novel-esainya. Namun, Robert Higney dalam review yang tak sengaja saya temui di mesin pencari menulis bahwa bab-bab fiksi dari The Pargiter adalah bagian dari sebuah karya yang sedang berjalan, dan antar babnya diisi esai berupa komentar atas bab fiksi sebelumnya yang disajikan untuk pembaca perempuan.
Ada banyak sekali novel yang dikatakan sebagai novel-esai, entah lewat pengakuan penulisnya langsung atau diakui oleh kritikus sastra. Jadi, kembali ke pertanyaan awal, apakah Iberamsyah Barbary menulis genre yang sama sekali baru? Rasa-rasanya pertanyaan ini tidak lagi penting saya jawab sekarang. Sebab setelah catatan yang saya tulis ini sampai pada bagian ini, pertanyaan lain yang kiranya lebih penting justru timbul kepada isi dari novel Bangku Panjang: di mana esai dalam novel tersebut?
Jika menggunakan pendapat Saut Sitomorang tentang sifat esai yang saya disebutkan di atas tadi, yaitu analitis, intrepetatif, dan kritis, maka jujur harus saya katakan bahwa saya tak menemukan ketiga sifat tersebut di dalam novel ini. Ini mungkin pendapat saya pribadi yang terbatas pengetahuan. Tapi, berakar dari pandangan pribadi ini, saya menganggap bahwa novel ini murni merupakan fiksi belaka. Atau, jika memang ada fakta tersirat di dalamnya dan harus ada sebutan lain untuk itu, saya akan menyebutnya sebagai novel-autobigrafi. Apakah ini sebuah kesalahan? Oh tentu tidak. Inilah bagian dari usaha yang penulis lakukan. Saya justru bersyukur sebab klaim novel-esai oleh Iberamsyah Barbary justru pada akhirnya membawa saya (atau kita semua) pada pengetahuan tentang bentuk lain dari cara menulis novel. Kita harus tepuk tangan atas usaha beliau.
KOTA LITERASI DALAM BAYANGAN IBERAMSAH BARBARY
Ini adalah bagian terakhir dari catatan ini. Saya akan menyebutkan nama tokoh dan tempat yang nyata adanya, tapi tolong jangan diambil hati karena, dalam hal ini, saya menganggap nama-nama itu sebagai fiksi belaka, bagian dari realitas yang dibangun Iberamsyah Barbary dalam Bangku Panjang.
Literasi sering sekali saya temui dalam novel ini, utamanya ketika menyinggung kota Banjarbaru. Literasi yang secara pemaknaan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kemapuan menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan dalam mengolah informasi, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Itulah makna literasi dan Banjarbaru, dalam novel ini, digambarkan sebagai kota yang demikian itu.
Upaya-upaya sastrawan yang bersinergi dengan pemerintah daerah membangun kota terpampang nyata, dicontohkan dengan adanya festival dan event-event kesenian, tempat kumpul seniman, dan perpustakaan yang demikian megah ratusan tahun kemudian.
Namun cukupkah yang ada itu untuk menjadikan Banjarbaru sebagai kota literasi?
Saya ingin membenturkan realitas dalam novel ini dengan kehidupan nyata. Beberapa hari lalu saya pergi ke satu toko buku tak jauh dari Mingguraya, toko buku Hamdi, berada di pasar lama Banjarbaru. Toko buku itu sudah berdiri sejak 20 tahunan silam. Keadaannya cukup mengenaskan—untuk tak bilang sekarat. Tahun ini, kata pemiliknya, barangkali akan jadi tahun terakhir toko buku tersebut. Ia mengeluhkan daya beli masyarakat terhadap buku yang kian berkurang. Padahal ini kota literasi, begitu kira-kira yang ia sampaikan.
Kami bicara panjang lebar tentang dunia perbukuan Kalimantan, salah satunya yang berkenaan dengan buku Hamamy Adaby yang pernah dititipkan langsung oleh penulisnya beberapa tahun yang lalu yang sampai sekarang belum laku. Aku kada tahu ke mana membulikkan duitnya lamun payu. Ada juga buku-buku dari penelitian tentang dayak dan segala sesuatu yang bersifat lokal. Dan dalam suatu kesempatan saya bertanya: pernahkan pian dilibatkan dalam festival literasi Banjarbaru, atau yang lebih sempit dan dekat, Mingguraya. Tidak, jawabnya.
Saya tidak tahu, jujur saja, pernahkan kegiatan literasi Banjarbaru melibatkan toko buku yang ada di Banjarbaru sebagai bagian dari gerakan literasi mereka. Baik itu toko buku sebesar Gramedia dan Salemba, atau yang kecil-kecil seperti toko buku Hamdi dan Riyadh. Padahal, jauh sebelum kita bicara tentang kemampuan membaca, kita perlu membangun habitat yang ramah terhadap literasi itu sendiri dengan komponen-komponen yang lebih luas: salah satunya toko buku. Memang, kita bisa beli online, tapi apa mungkin kota literasi dibangun dengan toko buku yang sekarat? Apa mungkin kita bisa menyebut Banjarbaru sebagai kota literasi dengan toko buku yang punah?
Tadinya saya berharap novel Bangku Panjang memasukkan toko buku sebagai bagian dari gerakan literasinya, namun harapan itu tak cukup berbalas. Kota literasi dalam imaji Iberamsyah Barbary saya maknai adalah kota literasi yang hidup dari festival, perpustakaan, dan kumpul-kumpul penulis yang sesekali ikut membaur ke masyarakat dan pemerintah kota dalam mengambil keputusan. Di masa depan, jika mengacu pada novel ini, kita mungkin akan membeli buku di toko-toko besar seperti gramedia dan online. Di Banjarbaru Kota Literasi sendiri, saya berharap ini tidak terjadi, barangkali tidak ada lagi toko buku kecil seperti toko buku Hamdi.
KESIMPULAN
Kesimpulan saya terhadap novel ini, terlepas dari usaha penulis dalam menjelajahi bentuk sastra yang lain dari pada biasanya, saya cukup kagum dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Saya kira kita perlu membaca novel ini. Wajib, bahkan. Untuk tahu bagaimana gerakan awal seniman Banjarbaru dan usaha-usaha gila mereka. Novel ini, entah hari ini, besok, atau seratus tahun setelahnya, akan jadi bahan bagus dalam membaca Banjarbaru—dan memecut semangat, tentu saja. Saya berharap kami, para penulis yang baru belajar ini, bisa mengikuti langkah beliau dan seniman senior lainnya dalam hal berkesenian. Untuk menutup catatan ini, saya ingin mengutip salah satu dialog Ersis Warmansyah Abbas kepada Iberamsyah Barbary dalam novel ini:
“Saya suka berteman dengan Pak Bram karena Pak Bram senang menulis dan di usia Bapak yanng sudah tergolong lansia justru Pak Bram produktif menulis. Itu saya suka.”@
Martapura| 06-12-2021