KERIS Paranca, begitu Empu Naidah memberi nama. Keris dengan sembilan lekukan dan bermata dua. Gagang keris terbuat dari tanduk kambing, diukir dan dibentuk serupa kepala sapi. Hati bilah diambil dari logam pilihan dengan pamor gadis menari. Adapun kayu untuk warangka, sengaja dibuat dari tubuh cendana. Dan satu lagi, di tengah bilah keris itu, tepat di pamor perut gadis menari, terdapat setetes darah yang sudah mengering.

Semua orang tahu, Keris Paranca bukan sembarang keris. Keris itu adalah kebanggaan dan hasil kerja keras tangan seorang empu ternama di pulau ini. Ialah Empu Naidah. Tidak, tidak, jangan kau bayangkan sebuah tangan keriput membikin keris itu. Sebab sejatinya, Empu Naidah menciptakan mahakarya itu ketika masih perawan. Dan konon, keris itu pula yang telah memerawani Empu Naidah.

Aku tak hendak bilang, bahwa Empu Naidah telah menyerahkan hidupnya pada sebilah keris. Namun, kita tak bisa mengelak, bahwa perihal itu benar-benar terjadi pada empu satu ini beserta kerisnya. Menurut warta yang tersiar, sejak balita Empu Naidah telah bersitatap dengan keris.

Bapa dan biyung Empu Naidah juga seorang empu keris, kakek dan neneknya juga seorang empu, begitulah seterusnya. Jadi tak heran, bila orang beranggapan Empu Naidah adalah titisan Empu Bukabu, nenek moyang pengrajin keris pulau kecil ini. Di umur lima tahunan, Empu Naidah telah lihai merawat keris, mengolesi keris-keris bapa-biyung dengan minyak pewangi. Di umur sembilan tahunan, gadis kecil itu mulai belajar membuat kerisnya sendiri.

Banyak orang tertarik dengan keris buatan Empu Naidah di waktu muda, banyak lelaki memandangi keringat yang mengalir dari kening hingga ke tekuk Empu Naidah saat memanaskan bilah keris di atas pijar api. Katanya, saat itulah sisi kemurnian seorang gadis mulai tampak dalam diri Empu Naidah. Namun, pandangan para pemuda berubah sembilan puluh derajat, kala gadis itu mulai dapat wangsit dari Empu Bukabu.

Empu Bukabu tak jemu-jemu bertandang ke mimpi gadis itu. Dalam mimpi Empu Naidah, Empu Bukabu memakai pakaian serba hitam dan belangkon hitam, ia menunggangi seekor sapi. Empu Naidah tak pernah cerita, dialog apa yang terlontar dari bibir keduanya. Yang jelas, dimulai dari bulan Sura, gadis itu mulai membuat suatu keris dengan tekun. Katanya, Empu Bukabu yang menyuruh. Kelak, keris itulah yang dikenal dengan nama Paranca.

Dengan diawasi mata elang dari timur tenggara, Empu Naidah mulai memilah logam-logam terbaik. Dalam pembuatan keris tersebut, banyak warga menawarkan diri memberi sumbangsih. Tukang penebang misalnya, menebang pohon cendana untuk diberikan pada Empu Naidah. Dan seorang peternak, rela memberikan kambing terbaiknya untuk ditebas tanduknya. Perihal itu membuktikan, warga menghormati Empu Bukabu sebagai nenek moyang, dan menyayangi Empu Naidah selaku gadis yang dapat wangsit.

Kejadian mistik supra-rasional pun ikut mengiringi pembuatan keris tersebut. Saat bilah keris dipanaskan, pijar api tak lagi merah, melainkan ungu kehitam-hitaman. Setelah dipanaskan, ditempa, dan dilipat-lipat, mulailah Empu Naida mengukir gagang dari tanduk kambing. Ia membentuk tanduk tersebut persis kepala sapi, tentu pekerjaan seperti itu membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sebelum penyepuhan, petir seketika menyambar keris itu, sehingga terbentuk pamor gadis menari di bilah keris.

Empu Naidah seakan tak percaya tentang apa yang ia lihat menggunakan mata sendiri, ia baru tahu, bahwa petir ternyata seorang seniman yang ulung. Ia meraba bilah bekas sambaran petir, terperanjat Empu Naidah saat salah satu jarinya tergores oleh tajam tubuh keris. Setetes darah menetes, dan ia membiarkan darah itu mengering.

Penyepuhan terakhir dimulai, sebagai keris yang tidak biasa, Empu Naidah tak berpikir untuk penyepuhan dengan hal yang sudah biasa. Ia melakukan ritual sepuh saru, sebuah penyepuhan dengan memasukkan bilah keris yang masih panas ke dalam gua garba sendiri. Ia rasakan sensasi itu, sensasi perih dan panas. Semenjak itu, berita pun menyebar, bahwa Empu Naidah sudah tak perawan, keperawanannya diregut oleh keris.

Berpalinglah pemuda-pemuda pemuja Empu Naidah. Tentu, mereka tak ingin mendapat istri tidak perawan, atau istri yang sangat tergila-gila pada keris. Namun, Empu Naidah tak ambil pusing, sejak dulu ia memang tak punya keinginan untuk menikah. Hidupnya hanya untuk keris. Keris yang baru dibuatnya, dipamerkan ke khalayak, dan di sanalah Empu Naidah mendengungkan nama Paranca.

Baru seminggu keris itu mendapat nama, ia sudah menampakkan kesaktiannya. Dari banyaknya prestasi keris itu, ada satu prestasi yang kerap Empu Naidah ingat dan ceritakan. Keris Paranca berhasil mematahkan sayap kuda terbang, dan Empu Naidah sangat bangga tentang hal itu.

“Sudahlah, tak usah kau bayangkan bagaimana aku dan Keris Paranca mengiris kedua sayap kuda terbang itu,” ucap Empu Naidah kemudian. Ia mengulang kalimat itu berkali-kali, membuatku terjerumus ke lubang kebosanan.

Meski begitu—dilarang atau tidak—aku tetap membayangkan bagaimana keris itu dapat mengiris kedua sayap kuda terbang yang begitu kokoh. Imajinasiku begitu liar membayangkan itu semua. Mungkin saat kuda terbang berada di atas kepalanya, Empu Naidah menodongkan Keris Paranca, lantas kuda itu ambruk ke tanah, dan di saat itulah Empu Naidah mengambil kesempatan untuk memotong sayapnya. Atau, Keris Paranca dapat mengiris tanpa menyentuh. Kubayangkan bagaimana sebuah bayangan kilat menerpa sayap kuda terbang dan mematahkan kedua sayapnya. Tapi pertanyaannya, “Mengapa Empu tega mengiris sayap kuda terbang tak bersalah itu?”

            “Kuda itu bersalah, Cu. Kuda itu terus terbang mengitari pulau ini, membuat kami kehilangan sinar matahari. Suara ringkikannya juga amat bising, sehingga kami harus menutup telinga tiap waktu.”

Aku mengangguk mengiyakan.

Hanya karena kehilangan sinar matahari untuk sejenak, hanya lantaran suara ringkik kuda, dengan tega mereka membuat kuda terbang tak bisa terbang. Aku tak mengerti jalan pikiran orang dewasa. Tapi semua sudah terjadi dan sudah berlalu, Empu Naidah tak pernah tahu bahwa aku memelihara satu kuda terbang di kandang. Maaf, Empu, bukan maksudku untuk lancang.

Ada banyak sekali garis dan keriput di muka Empu Naidah. Ia bahkan berjalan dengan tongkat. Tubuhnya sudah melemah, ia kesulitan dalam menyelesaikan keris-kerisnya. Di usia senja, ia masih rajin menjadi pengrajin keris. Di waktu senggang, ia habiskan waktu memandangi dengan kagum keris paranca yang terpampang di tembok, seolah sudah kehilangan kesaktiaan. Tapi jangan salah, tiap bulan Sura, Empu Naidah masih tetap memandikan keris itu dengan minyak pewangi.

Semua itu tak terlalu penting bagiku. Yang penting, mata Empu Naidah masih tetap rabun, sehingga yang ia tahu, aku memiliki seekor kuda biasa di kandang. Matanya tak dapat menangkap kedua sayap yang tertutup. Orang-orang juga amat jarang mendatangi rumah, sejak kuda terbang tak lagi menampakkan hidungnya, warga merasa sudah aman seutuhnya. Terakhir, seorang nelayan pernah datang ke rumah ini, untuk mengantar aku yang masih bayi ke hadapan Empu Naidah.

Sudah barang tentu, aku tidak lahir dari rahim Empu Naidah, bahkan dari rahim anak-anaknya. Empu Naidah tak pernah menikah, mana mungkin ia punya anak atau bahkan cucu. Aku ditemukan seorang nelayan mengapung di tengah lautan. Nelayan itu mengasihaniku, ia memungutku, lantas menawarkannya pada Empu Naidah.

Empu Naidah menerima tawaran itu, ia merawatku sampai sebesar ini. Umurnya sudah amat tua, dan pastinya ia inginkan seorang penerus. Aku dilatih membuat keris sedari masih umur lima tahunan. Katanya, agar aku dapat mengalahkan kelihaiannya dalam membuat keris. Empu Naidah juga menolak dipanggil ibu bahkan nenek. Cukup panggil Empu Naidah, katanya.

Sebenarnya, aku sendiri tidak terlalu suka pada keris. Aku juga sudah bosan melihat dan mendengar tentang cerita Keris Paranca kebanggaan Empu Naidah. Semua ini kulakukan demi membalas budi pada Empu Naidah yang telah membesarkanku. Aku sendiri lebih suka menghabiskan waktu di hutan mencari kayu bakar. Di hutan itu pula, aku menemukan anak kuda bersayap.

Aku terperangah melihat anak kuda itu. Dulu, aku hanya mengira-ngira bagaimana wujud kuda terbang saat Empu Naidah mulai menceritakan kisah itu. Sekarang, aku dapat membawa pulang kuda itu, dan memutuskan untuk memeliharanya. Kini, selain belajar membuat keris dan mencari kayu bakar, aku memiliki aktivitas baru yakni mencari rumput untuk pakan si anak kuda.

Tafsirku, si anak kuda lahir dari rahim si kuda terbang yang sayapnya putus oleh Keris Paranca. Bukankah Empu Naidah sempat berkisah, bahwa setelah sayap si kuda terbang teriris, kuda itu pun lari ke tengah hutan. Dan tidak mungkin pula, bila kuda biasa melahirkan seekor anak kuda terbang. Dugaanku pun diperkuat oleh kejadian malam itu.

Aku berhasil merawat si anak kuda terbang menjadi kuda terbang jantan seperti sekarang. Ia sudah gede, sayapnya pun sudah melebar dan kokoh sekali. Tiap sore, aku menunggangi kuda itu, terbang menjauh dari pulauku ini. Sungguh aku tidak menyesal merawatnya, sehingga aku dapat balasan setimpal, seperti jalan-jalan menembus awan.

Tengah malam saat kuterjaga, hendak buang air kecil di jamban luar rumah, kulihat diam-diam kuda terbangku keluar dari kandang. Aku menguntit dari belakang, kuda itu terus berjalan menuju hutan. Terang bulan memberikan penerangan jelas akan kejadian itu. Kuda terbangku tampak bercakap-cakap dengan seekor kuda asing tak bersayap. Kutilik pula kuda asing itu, terdapat bekas luka di kedua sisi tubuh si kuda asing. Sudah kuduga, kuda terbang yang kutemukan adalah anak dari kuda terbang yang sudah kehilangan sayap.

Ah, aku pun pulang dengan tersenyum, peristiwa yang baru kusaksikan adalah peristiwa mengharukan. Reuni antara anak dan ibu. Namun, esoknya, kembali kulihat kuda terbangku dalam kandang. Ia kembali, barangkali ia enggan meninggalkan aku sahabatnya. Aku senang, setidaknya sampai pada tengah malam berikutnya.

Aku kembali melihat kuda terbangku keluar dari kandang. Kupikir ia ingin kembali menemui ibunya di tengah hutan. Tapi dugaanku meleset, ia memutar balik memasuki rumah. Tentu aku kembali mengutit dengan diam-diam. Kemudian tragedi itu terjadi beberapa menit saja. Kuda terbangku menerjang tubuh Empu Naidah dengan kaki belakang, sehingga Empu Naidah terhempas dan tak bangun lagi. Bergegas aku menghampiri, silih berganti kutatap Empu Naidah dan kuda terbangku. “Mengapa kau melakukan semua ini?” tanyaku pada si kuda.

Kuda terbangku tak menjawab, dan itu wajar bagi seekor kuda.@