BAGAIMANA orang-orang berusaha bahagia adalah topik klise. Iksaka Banu paham benar. Ibarat kanvas, tema di atas ia sapu dengan warna yang benderang. Bukan sekadar untuk menarik perhatian. Lebih dari itu; kecenderungan garapan. Pada 13 cerpen yang dihadirkan dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop (Marjin Kiri, 2017), warna itu adalah realisme urban. Dengan sapuan kuas sedemikian rupa, warna itu memiliki tekstur; paradoksitas realisme urban.
Lewat cerpen pembuka “Film Noir”, aroma paradoksitas itu perlahan-lahan menguar dari kanvas cerita. ‘Kepolosan’ seorang sutradara kawakan Arya Panji Diwangkara yang terlambat mengendus potensi kebusukan yang menggeliat dalam diri Anggi, pelayan/peracik minuman (?) yang bukan hanya berhasil ia orbitkan sebagai aktris terkenal, tapi juga menyuntingnya sebagai pendamping hidup, adalah pertanyaan yang mengambang di akhir cerita.
Seorang urban seperti Arya seharusnya paham bahwa memperistri seorang gadis-dari-dunia-malam yang memerankan adegan ranjang dengan sempurna dalam film debut besutannya adalah berisiko. Perkara ia membalaskan dendamnya, itu urusan yang lain.
“Film Noir” bukan lagi menggambarkan reaksi urban menghadapi tuntutan duniawi. Lebih dari itu, ia adalah potret obsesif orang-orangnya. Urban menunjukkan belangnya di hadapan impian bahagia yang mereka tahu adalah utopis; menghalalkan berbagai cara untuk meraihnya. Ambisius, lalu obsesif!
Hal serupa ditemukan dalam 12 cerita lainnya, meskipun dengan motif yang berbeda.
Cerpen “Superstar” adalah yang paling mendekati warna yang diusung “Film Noir”. Sama-sama bercerita tentang muramnya dunia panggung yang lebih kerap ditayangkan kegemerlapannya. Cerpen “Ratu Sekop” menampilkan lebih filosofik. Bagaimana Sambu Werdana akhirnya menemukan Danis, seorang gadis penjaja seks yang cocok menjadi model lukisannya.
Cerpen ini dengan natural menampilkan karakter-karakter urban yang tak bisa ditebak sekaligus tak bisa dipegang. Kehadiran obsesi terasa nyata-dan-manusiawi dalam diri Sambu yang tampil profesional. Keputusannya mengalihkan model Ratu Sekop pada karakter lain di akhir cerita, makin menegaskan bagaimana keliyanan juga menjadi rekan kreatif yang mumpuni bagi seorang urban yang obsesif.
Seperti hanya berubah nama, Sambu Werdana kembali hadir dalam cerpen “Belati” dengan memerankan Armin Kelana, pelukis dengan jiwa yang tidak mampu mengimbangi kebesaran namanya. Armin frustrasi. Para kritikus seperti kompak memberi ulasan buruk terhadap cara berkaryanya yang baru.
Menariknya, Armin justru tidak menyadari kalau keputusasaannya justru menggiringnya “menikmati obsesi baru dalam berkarya” meskipun itu artinya ia harus mengorbankan nyawanya, meskipun “rencana mengorbankan nyawa itu” kembali melahirkan obsesi lain yang disulut oleh ketaksengajaan–atau kecelakaan (?)–yang berakibat fatal; hilangnya nyawa beberapa orang dalam sehari. “Belati” menunjukkan belang obsesi yang gemar beranak-pinak.
Sejatinya, tokoh Aku-Tentara dalam cerpen “Sniper” mati-matian menolak perkembangbiakan obsesi itu, meskipun gagal. Keinginan untuk pulang ke Jakarta yang muncul ketika atasannya mengeluarkan instruksi di tengah suasana perang di hutan sehingga mau tidak mau ia harus melepaskan tembakan ke arah lawan adalah sebuah paradoks yang pelan-pelan menghadirkan empati. Perasaan itu berhasil mengoyak-ngoyak kemanusiaan ketika cerita telah tiba di garis finish.
URBANITAS ternyata tidak berbanding lurus dengan rasionalitas.
Namun irasionalitas yang ditampilkan cerita-cerita di atas sedikit-banyak menguar aroma paradoksitas masyarakat yang digolongkan relatif jauh lebih terpelajar daripada masyarakat nonurban.
Paradoksitas itu makin menyengat umpama aroma cat yang disapukan ke tembok untuk menghasilkan karya mural dengan tujuan menutupi coretan piloks mereka yang melihat vandalisme sebagai kesenangan, dalam cerpen “Cermin”.
Bagaimana seorang urban seperti Arno kehabisan akal menghadapi istrinya yang superposesif-namun-rapuh (ah, bukankah yang posesif sudah jelas rapuh?) sehingga menjadikan solusi ala paranormal sebagai jalan keluarnya. Ya, “Cermin” tidak berhenti sampai di sana sebab paranormal itu memang sakti–dan kejadian itu mengambil latar dan napas urban!