Ketika memasuki bagian dalam kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang sekarang biasa disebut “gedung lama” karena FKIP ULM memiliki gedung baru di bagian belakang, kita akan mendapati dua pohon besar nan rindang di halaman tengah. Itu pohon Kasturi, khas endemik Kalimantan Selatan.
Ketika musimnya tiba, pohon itu akan dipenuhi rimbunnya buah. Awalnya berwarna hijau, lama-lama coklat keunguan. Dan buah-buah rimbun itu menjadi target menjuluk (mengambil buah dengan bantuan tongkat panjang) warga kampus yang kebetulan melihatnya.
Itu adalah pohon kesayangan semua orang. Pohon Kasturi itu ditanam oleh salah satu warga terbaik FKIP ULM, yakni Prof. Rustam Effendi, Ph.D.
Prof. Rustam adalah salah satu tenaga pendidik di FKIP ULM Banjarmasin. Ia memulai profesi sebagai dosen sejak tahun 1976 dengan menjadi asisten pada mata kuliah kebahasaan. Saat itu, FKIP ULM dibagi menjadi dua fakultas terpisah, Fakultas Keguruan untuk mendidik calon guru program studi, termasuk bidang bahasa dan sastra Indonesia, dan Fakultas Pendidikan untuk mendidik calon guru administrasi pendidikan.
Saat itu gelar Prof. Rustam masih Bachelor Art alias Sarjana Muda, belum setara sarjana strata 1 (S-1), sehingga tahun 1978 ia melanjutkan studi ke Universitas Negeri Malang (UM) untuk menggenapi gelar kesarjanaan S-1 di bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Tentu saja kuliah di luar pulau saat itu bukan hal yang mudah. Namun kita sering mendapati tekad pemuda dari masa lalu dengan segala keterbatasannya terasa lebih membaja, daripada mereka yang hari ini diliputi segala kemudahan.
Dua tahun berselang, pada 1980, Prof. Rustam menyelesaikan studi S1, dan kembali ke ULM. Setelah mendapat jabatan lektor, barulah Beliau mengampu mata kuliah mandiri bidang kebahasaan dan juga kesastraan.
Prof. Rustam mengenang lingkungan FKIP ULM di awal karirnya sebagai lingkungan yang agak kumuh dengan fasilitas pembelajaran seadanya. Sehingga mungkin itulah salah satu alasan mengapa saat menjabat sebagai dekan mulai tahun 1999, puluhan tahun kemudian, penambahan fasilitas dan pemeliharaannya menjadi salah satu prioritasnya. Beberapa bangunan di FKIP ULM saat ini akhirnya akan dikenang sebagai warisan era Prof. Rustam, termasuk pohon kasturi rindang yang menjadi favorit semua orang.
Di kalangan aktivis mahasiswa pada eranya, Prof. Rustam termasuk dosen yang disukai. Selama menjabat sebagai Dekan FKIP ULM, terutama di periode kedua, ia telah menjadi pejabat yang memberikan ruang hidup dan ruang gerak yang lapang bagi organisasi kemahasiswaan.
Dukungannya terhadap kegiatan politik dan sosial lembaga-lembaga kemahasiswaan, terutama di FKIP ULM terasa betul implikasinya dalam membangun iklim gerakan mahasiswa yang dinamis.
Terlepas dari hal lain, barangkali tak banyak pemimpin lembaga pendidikan yang berpikiran terbuka seperti itu, mengingat karakter mahasiswa yang dianggap sulit dikendalikan, atau munculnya asumsi bahwa pembiaran pada aktivitas-aktivitas politik mahasiswa semacam itu justru menjadi bumerang bagi kepentingan pemegang kewenangan di lingkungan kampus. Penanganan terhadap aktivitas mahasiswa pada akhirnya cenderung represif dan membatasi. Sehingga ketika muncul model pemimpin yang mau membersamai kepentingan mahasiswa, tentunya itu akan dikenang dengan baik. Sehingga pada bulan Mei 2020 silam saat pelaksanaan pelepasan dosen purnabakti FKIP ULM, di antaranya pelepasan Prof. Rustam, diumumkan di media sosial, mereka yang paling mengingat masa-masa kepemimpinannya adalah aktivis-aktivis mahasiswa itu. Mereka mengenang, dan merasa kehilangan salah satu episode terbaik kehidupan kampus.
Meski orangtua Prof Rustam berasal dari keluarga petani yang bersahaja, yang barangkali tidak terlalu memahami urgensi pendidikan, namun kesadaran akan keutamaan ilmu dan pendidikan agaknya menjadi tradisi intelektual dalam keluarga Prof. Rustam.
Ia menikahi Hj. Raudah, seorang guru dan mendidik putra putrinya hingga mencapai level pendidikan tinggi lanjutan, pun mendorong mereka untuk berkarir dalam lingkungan akademis. Dan yang terpenting adalah semangatnya untuk terus menimba ilmu dan membangun tradisi intelektual bagi dirinya.
Pasca menjabat sebagai Dekan FKIP ULM, sebagian orang mungkin mengira Prof. Rustam sudah selesai dengan capaian-capaiannya. Namun, kabar bahwa ia menyelesaikan pendidikan doktoral di Universiti Utara Malaysia (UUM) Kedah Darul Aman pada Oktober 2010 cukup mengejutkan sebagian orang.
Ia lulus sebagai Doctor of Philosophy dengan mengangkat riset di bidang linguistik terapan, mengenai cucupatian atau tebak-tebakan khas Banjar.
Ia telah menunjukkan pada semua orang, bahwa usia bukan alasan berhenti meningkatkan kualitas diri. Mengingat usia yang memasuki tahun ke enampuluh, ia bisa saja berhenti dan bersantai menikmati masa tua. Namun, pencapaian kelimuan terus dikejar, tak berhenti di level doktor. Pada 22 Oktober 2014, ia resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dengan pidato pengukuhannya yang berjudul “Perspektif Linguistik Antropologi dan Hermeneutika Undang-Undang Sultan Adam”.
Konsentrasi Prof Rustam dalam riset doktoral dan Guru Besarnya pada kajian sastra dan budaya Banjar telah menjadi referensi akademis untuk memahami bidang tersebut. Riset yang selama ini dilakukan dan dipublikasikannya di berbagai jurnal dalam dan luar negeri, agaknya tak lepas dari topik seputar ini. Di antaranya mengenai peribahasa Banjar, makna budaya dalam istilah tertentu dalam kebudayaan Banjar, hingga legenda dan mitos Banjar.
Sebenarnya, ia bisa saja berkonsentrasi pada hal lain. Hal-hal yang lebih global, aktual, dan mutakhir. Namun, pilihan konsentrasi ini menunjukkan besarnya komitmen, dan pada tataran yang lebih sakral lagi, ikatannya terhadap Banjar sebagai bagian dari identitas pribadi sekaligus identitas sosialnya. Menjadi urang Banjar tak hanya harus tercermin dari kepribadian sehari-hari, namun juga terejawantah dalam situasi yang lebih kompleks semisal dalam dunia akademis.
Ketertarikan Prof. Rustam terhadap Banjar sebagai entitas budaya (dan sastra) ini diakuinya dalam salah satu wawancara. Menurutnya, sastra (dan budaya) Banjar tradisional lumayan mengesankan, karena peninggalannya dalam berbagai bentuk (pantun, syair, mantra, peribahasa, legenda, mite, dongeng, dll) sangat kaya. Namun sebagai catatan, ia pun melontarkan kritik mengenai sastra Banjar kontemporer, khususnya yang menurutnya sangat memprihatinkan. Tidak banyak sastrawan Banjar yang menulis sastra Banjar (sastra Banjar adalah karya sastra berbahasa Banjar dan di dalamnya mengandung nilai-nilai kebanjaran atau nilai lokal, di samping nilai nasional dan nilai universal). Sastrawan Banjar lebih banyak menjadi sastrawan nasional (menggunakan Bahasa Indonesia) daripada menjadi sastrawan Banjar.
Meski memasuki masa purnabakti, Prof. Rustam masih menunjukkan vitalitas dan dinamitasnya sebagai akademisi. Sampai saat ini ia masih menjadi pembicara di berbagai seminar dan diskusi terkait sastra dan budaya Banjar, serta mengajar sejumlah mata kuliah. Hal ini menunjukkan masih besarnya kontribusi yang diharapkan masyarakat darinya. Kontribusi yang terasa sama rimbunnya dengan pohon-pohon Kasturi yang ia tanam. (Tim/ Artikel ini pernah dipublikasikan pada majalah Berita ULM No. 34, Edisi Juli-Agustus 2020)