(Catatan pengantar Pameran “Sampai Batas Tarung” Sanggar Bumi Tarung ke-5)

PAMERAN Sanggar Bumi Tarung (SBT) di Galeri Nasional kali ini, (21 Juni-12 Juli 2024), merupakan peristiwa yang sangat istimewa karena bakal menjadi pameran yang terakhir. Saat ini tinggal dua anggota yang masih hidup: Misbach Tamrin (83) dan Gumelar (81). Bahkan hanya tinggal Misbach Tamrin sendiri yang masih terus berkarya, dengan ingatan yang relatif prima.

SBT ini sangat unik, karena begitu lahir, dalam usianya yang relatif muda, sudah dihantam badai politik yang begitu dahsyat. Setelah peristiwa prahara G30S, SBT mengalami mati suri yang panjang, sepanjang masa Orde Baru sejak 1965 sampai dengan 1998. Pada masa reformasi, SBT ini baru bisa bangkit dan kembali berkarya dengan napas kebebasan yang merangsang kreativitas.

Pada masa inkubasi politik yang panjang, SBT yang semua anggotanya dipenjara, bahkan ada sebagian yang dibuang ke Pulau Buru. Para anggota SBT ini kemudian bermetamorfosis semakin matang di dalam berkesenian. Karya-karyanya tak lagi bombastis dan politis semata, tetapi mengalami pengendapan dan pematangan konsep lewat metafora dan beraroma filosofis. Tentu saja unsur politiknya tetap kental, tapi sudah mengalami pergeseran makna dalam artian Politik (P huruf kapital). Segala peristiwa besar dalam politik, bencana alam, tragedi kemanusiaan, tak luput direkam dalam sejarah perjalanan seni rupa mereka. Karenanya tak heran karya- karya SBT juga dikoleksi oleh kolektor yang berorientasi ‘kanan’, antara lain seperti Fadli Zon. Kami berdua Fadli Zon bahkan mengoleksi karya pahat kayu Amrus seri perjuangan dan perang revolusi Indonesia, di mana masing-masing lima karya.

Misbach Tamrin sebagai penggagas dan aktif mengorganisasikan pameran Sanggar Bumi Tarung dua kali terakhir ini, karena beliaulah yang masih sehat di antara tiga anggota yang masih hidup.

Misbach Tamrin seorang perupa yang juga mahir menulis dan memahat. Beliau sudah menulis beberapa buku tentang sahabatnya Amrus Natalsya dan memoarnya sendiri dengan latar peristiwa G30S yang mengenaskan.

Menyadari keterbatasan usianya yang sudah sepuh dan satu-satunya perupa SBT yang masih memiliki tenaga untuk berikhtiar menyelenggarakan pameran terakhir SBT bersama seluruh anggota bersama simpatisannya. Karyanya realis dengan latar peristiwa pergolakan politik yang dialaminya. Pergulatannya dalam pusaran politik yang menegangkan, telah mematangkannya untuk menggoreskan karya-karya seni yang kaya metafora dan nilai kemanusiaan.

Penulis dengan lukisan Misbach Tamrin berjudul “Mandau dan Talabang” yang menjadi koleksinya.

Misbach Tamrin pernah berpameran tunggal di Galeri Nasional saat beliau sudah berusia cukup senior dan itu merupakan pameran tunggal satu-satunya sepanjang riwayat karir kesenimanannya. Karakternya yang egaliter dan rendah hati, memungkinkan kami bisa bersahabat sampai sekarang. Sebagai sahabat dan pengagum karyanya, saya mengharapkan dengan doa supaya Misbach Tamrin bisa mengadakan pameran tunggal keduanya setahun ke depan.

Misbach Tamrin lewat WA tertanggal 27 Maret 2018, saya dikirimi tulisannya tentang perkenalan dan persahabatan kami yang sangat menyentuh sanubari:

“Pak Halim yb., saya postingkan foto, ketika saya sudah selesai melalui operasi hernia dengan lancar dan selamat, pagi hari ini tadi. Tinggal merasakan perawatan sesudah operasi beberapa hari, sebelum pulang ke rumah.

Dulu, saya masih ingat ketika Pak Amrus, sekitar sepuluh tahun yang lalu, juga dioperasi yang sama seperti saya ini. Kita: Pak Halim, Bung Toga dan saya mengunjungi beliau di RS. Saya tak lupa, di situlah saya mengenal Pak Halim pertama kali, seorang tamu (kolektor) Pak Amrus yang khusus bezuk sambil membawa bingkisan. Dari situ terukir sekelumit sejarah yang berkesan bagi saya, dari sepintas cerita Amrus yang memperkenalkan, siapa Pak Halim? Hingga sekarang, sejak itu barulah kemudian saya tahu, tamu itu dulu ternyata siapa? Bahwa kami telah dijodohkan oleh kehendak takdir “di atas”. Bukan hanya dengan seorang kolektor yang baik, ramah, santun dan dermawan seni saja. Namun, juga adalah seorang figur kemanusiaan, sahabat karib & akrab yang punya jiwa humanisme dan kepedulian yang tinggi, yang bukan hanya ditujukan kepada person kesenimanan pribadi Pak Amrus dan saya sendiri saja, tapi juga kepada segenap warga seniman SBT yang akan tercatat karya-karyanya dengan tinta mas di Museum EZHAM.

Salam hormat dan sejahtera bagi Pak Halim Sekeluarga….. LA.”

Amrus Natalsya
Amrus Natalsya yang berasal dari desa Natal di Tapanuli Selatan, sudah menunjukkan bakatnya menggambar sejak usia dini. Dari desa kelahirannya, Amrus muda bertekad menuju Yogya melanjutkan studinya di bidang seni rupa. Pada saat masih berstatus mahasiswa tingkat awal, karyanya saat pameran di kampus ASRI diminati oleh Bung Karno, Sang Proklamator yang pencinta seni sejati.

Amrus menciptakan lukisan pahat kayu dan kanvas, patung serta puisi. Karyanya saat usianya relatif muda, sudah terpilih dimasukkan dalam entri buku koleksi Bung Karno “Lukisan-lukisan dan Patung-Patung Koleksi Presiden Sukarno” yang disusun oleh Lee Man Fong terbitan 1 Januari 1964. Juga, karyanya dibahas secara khusus oleh Claire Holt dalam bukunya: “Art in Indonesia: Continuities and Change” dipublikasikan tahun 1967.

Facebook Comments