“DUNIA pasca manusia”. Barangkali Sainul Hermawan mengutip judul buku Budi Hartanto, ketika mengatakan itu dalam acara Sarasehan dan Pertunjukan Seni Sastra Lisan Banjar, Kamis (11/7/2024) sore di Kambuk, Jalan Sultan Adam.
Buku Dunia Paca-Manusia berisi esai-esai Budi Hartanto yang menjelajahi tema-tema kontemporer filsafat teknologi, mempertanyakan eksistensi manusia, tak terkecuali tradisi kebudayaannya, di tengah masifnya kecanggihan teknologi era kini seperti hadirnya AI (artificial intelligence).
“Dunia pasca manusia, hubungan personal antar manusia semakin berkurang digantikan oleh mesin. Dan itu juga akan berdampak pada terancamnya kebudayaan manusia itu sendiri,” ujar Sainul, dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Terkait mempertahankan budaya atau sastra lisan Banjar, pakar Lamut ini mengingatkan agar tidak tergoda untuk menggantikan bahasa Banjar misalnya dalam ba-lamut, madihin, wayang Banjar, atau bentuk kesenian lainnya yang menggunakan bahasa daerah.
“Mempertahankan seni sastra lisan beda dengan mempertahankan bahasa. Mempertahankan bahasa berarti mempertahankan bahasa dalam seni itu sendiri, yakni dengan tidak tergoda mengubah bahasa Banjar dengan meng-Indonesiakannya atau meng-Inggriskannya,” papar Sainul.
Pembicara lainnya, Dalang Sastra dari Kandangan, memaparkan tentang asal mula wayang Banjar. Menuru cerita yang ia peroleh dari gurunya Dalang Tulur, wayang Banjar dibawa seorang pemuda asal Negara Dipa dari Kerajaan Majapahit di Jawa.
“Lalu, apa yang dimaksud dengan sastra lisan? Bila dikaitkan dengan ba-wayang, maka sastranya itu adalah bagaimana cara dalang mengeluarkan suaranya saat mendalang. Suaranya tidak sekadar seperti panderan duduk atau bicara biasa,” ujarnya.
Menurutnya, ada kendala saat memberikan pelatihan menjadi dalang kepada anak muda. Sebab, di dalam cerita wayang ada banyak percintaan atau kawin-mawin.
“Nah, bagaimana anak muda itu bisa menghayati cerita tentang perkawinan, sementara mereka sendiri belum pernah mengalami atau merasai,” ucapnya yang disambut tawa peserta.
Pembicara ketiga, Budi Zakia Sani atau akrab disapa Zaki, mengaku saat ini tengah mendata pemadihin dengan membuat komunitas bernama Madihinesia.
“Saat ini anggotanya sudah mencapai 100-an. Dan mereka adalah anak-anak muda,” kata dosen ULM yang juga pemadihinan ini.
Zaki meyakini, generasi muda adalah basis bagi pelestarian dan pengembangan seni tradisi. “Kami menetapkan dalam komunitas Madihinesia agar satu orang memiliki minimal satu murid,” ujarnya.
Acara yang dihadiri kalangan anak muda mahasiswa ini didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII Kaltengsel, yang saat itu hadir dan dibuka oleh kepala balai Muslimin AR Effendy.
Muhaimin mengatakan, kegiatan sarasehan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh tentang seni tradisi lisan di Kalsel.
“Kami juga merencanakan untuk menggelar Kongres Budaya Kalsel. Bukan hanya budaya Banjar, tapi budaya apa saja yang ada dan hidup di wilayah Banjar ini,” ucapnya, yang mengaku senang melihat kegiatan semacam ini selalu disambut antusias di wilayah Kalsel.
Sementara Hajriansyah, selaku pemilik Kampung Buku dan penerima bantuan dari BPK, mengatakan bahwa sebagian undangan trrdiri dari mahasiswa, guru, dan dosen.
“Harapannya, guru dan dosen ini nantinya dapat menyampaikan lebih lanjut kepada generasi muda anak-anak didik mereka,” ucapnya.
Selain sarasehan, kegiatan dilanjutkan pada malam harinya dengan penampilan bapantun oleh M. Shufiyadi Akbar dan lamut oleh Ferdi Irawan.@