Di Minggu pagi yang anu kemarin, Sandi Firly lewat unggahan status fesbuknya, membagikan tautan esai sastra dari Rafii Syihab yang baru saja terbit di laman asyikasyik.com (7 November 2021). Saya pun langsung mencari sebilah kretek. Lalu menyulutya, mengisapnya, menikmatinya. Dengan begitu, membaca esai Rafii pun menjadi semakin nikmat dan nyaman.

Esainya cukup klir, kritis. Menyoal poin-poin dari dialog sastra bertopik dampak sastra terhadap masyarakat. Dialog itu terjadi antara Rahim Arza (host) dan dua orang pematerinya, Dewi Alfianti serta Budi Kurniawan. Salah satu program Komite Sastra Dewan Kesenian Banjarmasin, yang belum lama ini tayang pada kanal Youtube-nya (Dewan Kesenian Banjarmasin). Dari apa yang disimak Rafii dalam materi dialog itu, ia mengaku tergelitik, tertarik, dan menertawakan.

Gelitik yang ditanggung Rafii nampaknya bukan akibat kegelian, atau, mungkin saja begitu. Entahlah. Yang lebih beralasan adalah, hasutan dari konsep idealisasi sastra dalam pernyataan dialog. Makanya, hasutan dialogis itu pun melahirkan kritiknya atas idealisasi sastra, yang kemudian ia bawa pada term “sastra-sok-heroik”. Pun pada pertanyaan-pertanyaan kritisnya semacam berikut ini.

Mengapa dialog bertendensi pada sastra perjuangan sebagai sastra ideal, yang melulu menunjuk karya sastra jadul, dan semua itu dianggap paling berdampak pada masyarakat? Jangan-jangan, dominasi sastra jadul sebagai rujukan kritikus sastra untuk menunjuk sastra serius itu kerna kealpaan perhatian mereka pada karya sastra kekinian? Jika dibandingkan dengan sastra pop, apakah sastra serius memang lebih berdampak? Apakah yang dimaksud “dampak” pada konsep: dampak sastra bagi masyarakat? Soal sastra serius nan ideal yang harus mengangkat isu lingkungan dan kritik sosial, jangan-jangan ini soal selera belaka?

Ketimbang menjawab atau bahkan membahas gugatan-gugatan Rafii itu, membacanya saja adalah kenikmatan yang amat cukup bagi saya. Barangkali, Dewi Alfianti dan Budi Kurniawan sebagai “penghasut”, paling kita tunggu untuk segera menanggap dan membahasnya. Kita bayangkan, nanti ada diskusi atau mungkin juga perdebatan yang asyik. Yang mau saya bahas di sini, adalah satu soal saja. Yakni tertawanya Rafii. Lantas, apa yang ditertawakan Rafii?

“… saban kali ada event kesusastraan di Banua, setiap tahun, setiap acara, karya yang direkomendasikan selalu berkutat pada perjuangan. Kita diberi asupan sastra bagus adalah sastra yang seperti itu. Kita Percaya. Lalu karena kepercayaan mutlak atas idealisasi arus utama kesusastraan tersebut kita pelan-pelan meminggirkan sastra yang ‘bicara tentang dirinya sendiri’ (an sich), menyebutnya sastra hiburan kelas rendah. Kita, penulis yang baru ingin timbul merebut hati kritikus dan pembaca, berlomba-lomba menulis karya sejenis demi sebuah pengakuan. Saban tahun karya dipenuhi sastra perjuangan! Sungguh menarik untuk ditertawakan, bukan?”

Melalui retorika pada penggalan esainya di atas, Rafii memang menertawakan sastra sejenis, suatu sastra ideal yang membicarakan perjuangan. Bukan sastra rendah yang membicarakan diri sendiri. Sastra sejenis inilah yang direkomendasikan oleh arus utama sastra kita, untuk kemudian diakui. Diakui sebagai apa? Sastra serius.

Ha ha ha!

Realitas sastra sejenis yang dibahas Rafii itu memang layak, bahkan wajib untuk kita tertawakan. Kita tahu lah, daya penyebab tawa paling kuat adalah fenomena humor yang lucu. Dari beberapa bentuk prakondisi kelucuan, yang relevan dengan nilai humor pada kasus sastra sejenis tadi adalah bisosiasi. Yaitu kelucuan akibat adanya kontradiksi dalam penyandingan dua realitas (konsepsi) yang tidak mungkin terjadi dan tiada logis.

Pada matra logika definitif, “selera sejenis” masihlah memiliki kemungkinan konseptualnnya, jika dan hanya jika memenuhi prasyarat material pembentuk komposisi atas selera. Sastra ideal? Masih memungkinkan, tentu dengan terpenuhinya komponen material dan formal idealitasnya. Lantas, sastra sejenis? Konsep ini teramat tidak logis. Bagaimana mungkin, sastra sebagai genus realitas kreatif-seni penciptaan dipertemukan dengan ketunggalan, yang di situ bernilai pembeda (diferensia)? Bagaimana? Mungkin, tak? Belum lagi penambahan aksidensi “perjuangan” yang semakin melemahkan konsepsi “sastra sejenis” sebagai genus definitif.

Sampai ranah logika ini, sepertinya tensi kelucuan tadi menjadi kendur. Menuju tak lucu, dan makin serius. Kenapa ya, bahasan soal sastra ini kerap terjebak pada tendensi serius? Sebagai yang sungguh-sungguh, keseriusan sama sekali bukanlah remeh-temeh atau tidak penting. Keseriusan sastra yang terdaulat sebagai sastra serius, seperti maksud Rafii, memang bukan pada “sastra sejenis”. Saya kira berada dalam “sejenis sastra”. Apapun jenisnya.

Di dalam konsep “sejenis sastra”, karya sastra yang bernilai sastra bukan berarti kemiripan atau kesemacaman dengan “sastra”. Tekanan maknanya lebih kepada keluasan tampungnya, kelenturan penerimaannya. Bagaimanapun nganunya, baik jadul atau kekinian, serius atau pop, laku atau tidak, berbobot gemuk atau kurus, semua realitas kekaryaan itu dapat diterima oleh “se” untuk masuk ke dalam “jenis” sastra. Begitulah.

Mengakhiri catatan cekak ini, agar tak sok-serius, saya harus mencari kelucuan dari beberapa halnya. Salah satunya, fakta bahwa proposisi awal penggalan esai Rafii yang saya kutip dan komentari sebelumnya di atas, tidak saya sertakan. Berikut ini proposisinya: “Sekarang bayangkan jika kita berdamai dengan idealisasi (sastra serius, pen.) tersebut, …”.

Kalau proposisi pengandaian itu saya sertakan, duh, tentu penertawaan Rafii yang imajinatif itu tidak perlu saya seriusi. Bagaimana, cukup lucu?@