AKU menyingkap tirai jendela. Menatap satu ruangan di seberang sana yang lampunya masih menyala. Tirai jendelanya tidak ditutup sehingga aktivitas di dalamnya samar dapat terlihat dari luar.

Satu sosok tengah menghadap layar. Jari jemarinya dengan lincah menari di atas keyboard. Sesaat dia berhenti. Mengambil gelas di depannya. Menyesap, pelan.

Aku mengambil gawai. Mengetik satu pesan di aplikasi berwarna hijau.

Belum tidur?

Kembali kulihat sosoknya di seberang sana. Meraih gawai di hadapannya. Sekilas membaca kemudian menoleh ke arahku. Dia mengangkat tangannya menyapa. Melempar senyum. Aku membalas dengan senyum yang sama.

Ada deadline pekerjaan yang harus diselesaikan. Kamu juga belum tidur?

Sepertinya kafein menguasai mataku. Aku baru saja menghabiskan dua gelas kopi.

Dia melihat ke arahku. Membuka mulut dan membulatkan mata, seolah-olah terkejut. Lantas menutup mulutnya sembari tertawa. Dia selalu mengerti bagaimana cara kami saling bercanda. Aku tergelak melihat ekspresinya.

Aku tahu kamu menyindirku. Bukankah kamu tidak suka kopi? Aku, ya aku yang benar-benar menggilainya.

Ya. Mungkin coklat hangat lebih baik bagiku.

Kamu tahu? Tadi sore anggrek di halaman rumahku berbunga. Sudah tiga tahun aku merawatnya dan dia baru saja berbakti mengeluarkan bunganya.

Aku kembali menatap gawai. Membaca pesan singkat darinya. Dapat kubayangkan matanya berbinar Ketika menuliskan pesan ini. Aku tahu, dia sangat mencintai bunga-bunga.

Warna apa? Kamu belum menunjukkannya padaku.

Dia Kembali melihat ke arah gawainya. Kulihat jarinya kemudian mengetik balasan lantas kembali menatap ke arahku. Wajahnya tersenyum.

Aku kembali membalas senyumnya.

Warna ungu. Nanti besok akan kuntunjukkan padamu. Tadi sore aku pulang agak terlambat. Kulihat, pintu rumahmu pun masih tertutup. Aku tidak berani mengetuknya.

Ya, aku baru tiba di rumah dua jam yang lalu.

Dari seberang sana kulihat dia melambaikan tangannya padaku. Kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya dan mengarahkanya ke sisi telinga sebelah kanan. Aku mengerti, dia menyuruhku untuk segera tidur. Aku mengangguk memberi isyarat bahwa aku pun sudah lelah dan ingin segera beranjak ke tempat tidur. Dia memberi jempol tangannya dengan senyum terkembang. Akh, senyum termanis di dunia yang pernah aku temui selama ini. Senyumnya pula lah yang membuatku ketagihan dan selalu melongok jendela pada malam hari. Menatap ke arah kamarnya. Jika beruntung, seperti malam ini, kami akan saling menyapa. Saling bicara lewat aplikasi pesan di gawai sembari ditingkahi aroma malam yang sepi.

Dia pindah ke depan rumahku sekitar 5 bulan yang lalu. Rumah itu sudah 2 tahun kosong semenjak penghuni awalnya, sebuah keluarga kecil pindah ke daerah lain karena suaminya dipindahtugaskan. Kabar terakhir yang kudengar, rumah di depan rumah yang kutempati dikontrakkan. Rumah tersebut semenjak penghuni lama pindah, tidak pernah sekali pun berisi penghuni baru. Namun, kali ini, ada penghuni baru. Dia yang kemudian datang mengontrak rumah tersebut, persis di depan rumahku.

Awal kepindahannya, aku mengintip di jendela. Ada banyak sekali pot-pot tanaman diturunkan dari mobil yang mengangkut barang-barangnya. Pikirku, dia bersama keluarganya yang akan menempati rumah di depan, mengingat banyak sekali beraneka jenis tanaman yang dibawa olehnya. Bisa saja seorang perempuan di rumahnya, sangat menggemari menanam tanaman hias dan bunga-bungaan.

Namun, ternyata aku salah. Tidak ada satu perempuan pun di rumahnya. Dia masih sendiri. Menjadi sedikit aneh bagiku ketika seorang lelaki begitu menggemari menanam bunga-bungaan dan tanaman hias, walau tidak pernah ada larangan untuk itu. Bukankah penyuka bunga dan tanaman hias lebih banyak perempuan? Apakah benar begitu? Namun, aku sendiri pun seorang perempuan, tidak lantas begitu menyukai menanam tanaman hias dan bunga-bungaan. Jadi, kesukaan tentang sesuatu tampaknya tidak harus berdasarkan gender.

Pada beberapa hari sejak kepindahannya, suatu sore, hampir senja, aku melihatnya tengah menyiram tanaman. Aku yang baru saja pulang bekerja melempar senyum padanya. Sebagai tetangga yang baik, sebuah senyum tentu adalah sapaan yang paling ramah dan mudah. Dia membalas senyumku.

“Mampir?” tawarnya “Aku punya banyak tanaman bunga. Apa kamu ingin juga menanamnya di rumahmu? Aku punya banyak.”

Spontan aku menggelengkan kepala. Aku tidak pernah mengerti dengan bunga-bunga. Aku hanya suka melihatnya, namun tidak merawatnya.

“Apa nama bunga itu?” tunjukku ke sekumpulan bunga yang tegak berwarna hijau kekuningan dan memiliki bercak-bercak hitam di tengahnya.

“Itu anggrek khas Kalimantan Selatan. Pandurata,” jawabmu dengan mata berbinar. “Di sebelahnya anggrek Vanda dan di sana ada anggrek merpati. Mereka sedang berbakti. Menebarkan aroma bahagia.” Dia meneruskan penjelasan tanpa diminta. Aku hanya bisa membulatkan mulut mendengar penjelasannya, mencoba memahami.

“Namamu siapa?” tanyanya sejurus kemudian.

“Eh, iya.  Sudah beberapa lama kamu pindah ke sini dan kita belum berkenalan,” sahutku.

“Di pagi hari, kamu selalu pergi pagi-pagi sekali. Aku juga biasanya berangkat pagi-pagi sekali. Beruntung sore ini kita bisa bertemu,” jawabnya.

“Aku Lintang,” ujarnya

“Nuala,” sahutku.

“Nama yang manis,” komentarnya. Aku hanya tersenyum.

“Hari ini tidak pergi ke kantor?” tanyaku sejurus kemudian “pagi-pagi aku tidak mendengar suara deru mobilmu keluar dari garasi.”

“Kamu tahu? Kebijakan sekarang membuat kami harus banyak tinggal di rumah. Ada beberapa orang di divisi kami yang terpapar dan terkonfirmasi positif virus yang tengah merajalela. Untuk itulah kami diminta bekerja di rumah selama beberapa hari. Kantor dilakukan penyemprotan dan pembersihan.”

Aku mengangguk tanda mengerti. Sebelum berpisah kami saling bertukar nomor WA. Dia yang meminta lebih dulu dengan alasan sebagai tetangga siapa tahu saling perlu bantuan.

Semilir senja jingga mengawali perkenalan kami hari itu.

***

Gawaiku bergetar, beberapa kali. Aku yang tengah dibuai mimpi tersentak. Meraba meja di samping tempat tidur. Meraih malas benda kecil tersebut. Setengah memicingkan mata aku melihat ke arah layar, mencoba menajamkan penglihatan. Kulirik jam kecil di sebelah gawai, ini jam 00.00. Siapa yang menelpon larut malam begini?

Sebuah nama terpampang di layar. Lintang. Untuk apa dia menelpon malam-malam begini.

“Ya,” sahutku dengan nada sedikit malas. Jujur aku sangat mengantuk karena baru saja sekitar satu jam tertidur. Ada beberapa pekerjaan kantor yang harus kubawa pulang dan kukerjakan di rumah.

“Tolong aku!” sahut suara di seberang sana dengan tegas.

Aku mengernyit.

“Tolong? Untuk apa?” sahutku ragu.

“Suara-suara itu mengejarku. Tolong hentikan mereka!” pekiknya

“Suara apa? Aku tidak mendengar apapun? Ini sudah malam, Lintang. Tidurlah”

“Apakah kamu tidak mendengar suara sirine ambulans yang lewat. Suaranya berpendar di kepalaku.”

“Ambulans? Aku tidak mendengar apapun. Aku mendengar, ya, mendengar suaramu di telingaku.”

“Aku tidak bercanda, Nuala. Ada suara sirine ambulans!” kukuhnya bersikeras.

Aku menyibak sedikit tirai kamar. Mengintip keluar. Tidak ada apapun di luar sana selain sepi yang menyengat.

“Lintang, kamu mengigau. Pergilah tidur!” ujarku sedikit kesal. Aku memegang kepala. Rasanya sedikit berdenyut.

“Tidak, Nuala. Aku benar-benar mendengarnya.”

“Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Sampai jumpa besok.”

Kumatikan saluran telepon. Tidak lama kemudian benda mungil itu Kembali bergetar. Aku acuh. Mataku jauh terasa lebih berat. Kubiarkan gawaiku bergetar dalam sepinya malam.

***

“Maafkan aku” ujarnya dengan wajah sendu “Kamu pasti merasa terganggu. Hanya saja aku tidak tahu harus mengadukan segala keresahan ini kepada siapa.”

Angin mendesau. Memainkan anak rambutnya. Kami duduk menghadap jalan. Selepas magrib. Memandangi daun-daun dan bunga hias miliknya yang terantuk-antuk beradu dengan tiupan angin malam. Komplek sepi. Jarang sekali terlihat ramai. Rata-rata yang mendiami perumahan di komplek ini adalah para pekerja yang ketika pagi sekali telah pergi dan pulang saat matahari tak lagi membayang.

“Bunga-bunga ini, semua tanaman hias ini milik ibuku,” lanjutnya. Aku membiarkannya untuk terus berbicara. Aku tahu, saat ini adalah bukan waktu yang tepat untukku menyela “kami berdua, ya, aku dan ibu, sangat menggemari bunga dan tanaman hias. Untuk itulah kami sangat dekat. Ibu, di antara liukan daun-daun itu, aku melihat wajah ibu menjelma di sana,”

Aku melihat dia menahan airmata. Sebagai lelaki, mungkin saja dia tidak ingin terlihat lemah di hadapanku.

“Aku tidak akan pernah sanggup lagi untuk tinggal di rumah kami yang lama. Untuk itulah aku memutuskan mencari rumah baru. Suasana yang baru. Kamu tahu? Sepeninggal ayah, bertahun-tahun kami hidup berdua. Aku dan ibu,”

Dia mulai menutup wajahnya.

“Malam itu, ditingkahi oleh suara sirine yang meraung-raung, ibu dijemput oleh mereka dengan pakaian pelindung lengkap. Aku tidak tahu darimana virus itu berasal dan menghinggapi tubuh ibu. Malam itu dia melemah. Susah bernapas. Akhirnya ibu harus menjalani isolasi di rumah sakit.  Aku seperti berjudi, aku tahu ibu sangat memerlukanku. Namun, kondisi tidak membolehkanku merawatnya secara intensif dengan tanganku sendiri,”

Dia terdiam sesaat. Menarik napas dan mengembuskannya, berat.

“Sejak malam itu, aku tidak pernah mampu mencium pipi ibu lagi. Kami hanya berbicara lewat perantara layar gawai. Aku menyaksikan bagaimana ibu berjuang, namun tidak mampu untuk membelai wajahnya. Hanya menguatkannya lewat kata-kata. Dia kemudian kembali, bukan kembali ke rumah kami. Aku pun tidak mampu mencium wajah dan tangannya untuk terakhir kalinya. Ibu kalah dalam perjuangan ini. Dia pulang. Pulang pada keabadian.”

Dia kembali menarik napas seolah berusaha memberi jeda pada sesak yang mulai menguasai.

“Sejak kepergian ibu, hampir setiap malam aku selalu mengalami mimpi buruk. Aku mendengar suara dengung ambulans. Mereka seolah datang. Aku benar-benar merasa bahwa mereka akan menjemput ibu. Mengambil ibu dariku, walau sebenarnya ibu memang telah pergi, pergi jauh. Aku tinggal sendiri di dunia ini, tanpa ibu yang bahkan saat terakhirnya aku tidak mampu menatap wajahnya,”

“Apa yang bisa kulakukan untukmu?” tanyaku.

“Maafkan aku telah melibatkanmu dalam masalah ini. Aku hanya perlu seseorang untuk mengungkapkan segalanya. Entah mengapa, aku merasa bahwa berbicara denganmu begitu nyaman, hanya itu,”

“Sudah pernah menemui psikolog? Aku punya seorang teman yang mungkin bisa membantumu mengatasi trauma kepergian ibumu,”

“Aku pernah menjalani sesi psikoterapi pada satu orang, semua tetap sama. Mimpi buruk itu selalu datang. Suara ambulans selalu berputar-putar di otakku. Aku merindukan ibu, hanya itu yang kutahu.”

Matanya beralih padaku. Aku mencoba membuang pandang. Aku tahu, gurat kesedihan begitu lekat di sana.

“Kamu tahu, kehilangan seseorang, sementara kamu tidak mampu untuk melihatnya lagi saat terakhir kali, bukan karena kamu tidak menginginkannya, namun dia tidak dapat disentuh, terisolasi dengan keadaan, sungguh membuat hati begitu perih. Dia dijemput pergi dan kemudian tidak pernah kembali lagi memelukmu.”

“Aku pernah kehilangan,” jawabku “Namun, situasinya tidak sepertimu. Jadi, mungkin aku tidak mampu untuk memosisikan diriku pada posisimu.’

“Aku mencoba mengalihkan segala kesedihan dengan banyak hal. Kubuka gawai, namun layar media sosial semua berubah menjadi berita duka. Duka dimana-mana. Kematian mengundang terlalu sering akhir-akhir ini. Suara dengung ambulans kembali meraung-raung di kepalaku. Aku seolah bingung. Pada akhirnya aku memutuskan menghapus semua aplikasi media sosial. Hanya aplikasi berwarna hijau saja yang kusisakan. Selebihnya, aku tidak sanggup untuk membaca segala duka itu di sana,”

“Aku tahu,” lanjutnya “Kematian adalah tinggal menunggu waktu. Seperti daun-daun dan bunga-bunga yang jatuh tak pernah salah mengira. Mereka jatuh dengan waktu dan takdirnya sendiri. Serupa itulah kematian. Hanya saja, kepergian ibu untuk kembali tak mampu kupahami,”

Binatang malam berderit nyaring. Ini sudah hampir dua jam kami berbicara.

“Pada akhirnya aku memutuskan untuk pindah. Agar paling tidak dapat mengurangi segala trauma kehilangan ibu. Hanya bunga-bunga dan tanaman hias saja yang kubawa berkaitan dengan ibu. Juga karena aku mencintai mereka dengan sangat, serupa ketika dulu kami sering berbicara tentang bunga-bunga berdua, bersama ibu. Kupikir dengan kepindahan ini, segala bentuk trauma itu akan hilang. Namun, ternyata aku salah.”

            “Waktu akan menyembuhkanmu. Seperti bunga-bunga dan daun-daun yang jatuh, akan digantikan oleh bunga dan daun yang baru. Hanya masalah waktu. Percayalah!” ujarku meyakinkannya. Dia tersenyum.

“Aku lebih tahu tentang bunga dan daun daripada dirimu,” sahutnya sambil tertawa lebar. Aku membalas tawanya.

“Suatu hari kamu akan jatuh cinta kepada mereka. Bunga-bunga itu, daun-daun itu yang jatuh ke tanah karena takdirnya sendiri, namun tetap kemudian memberikan kehidupan baru. Ya, mungkin tepat katamu, hanya masalah waktu.”

Aku menatapnya.

Aku jatuh cinta, dengan pemilik bunga-bunga itu

***

Aku menyibak tirai jendela, mengintip sedikit ke satu ruangan di rumah seberang sana. Gelap. Sudah beberapa malam ruangan itu gelap. Pagi-pagi sekali pun aku tidak mendengar suara motornya menderu. Saat pulang bekerja, aku berharap akan menemukannya di teras sedang bercengkrama dengan tanaman-tanaman hias dan bunga-bunga miliknya. Namun, semua nihil. Tidak ada sosoknya yang biasanya selalu bersemangat ketika berbicara tentang bunga-bunga dan tanaman hias miliknya. Ruangan itu gelap. Pun juga rumahnya.

Beberapa kali aku mencoba menghubunginya. Akan tetapi, hasilnya juga sama. Nihil. Gawai miliknya tidak aktif. Aku mencoba untuk mengirim pesan. Namun, tanda terkirim pun tidak ada. Ke mana dia menghilang? Apa mungkin keluar kota? Namun, mengapa keluar kota berhari-hari gawainya tidak aktif? Apa mungkin dia pergi ke suatu tempat yang susah untuk mendapatkan sinyal?

Kutimang-timang benda kecil di genggaman tanganku itu. Berharap dia bergetar dan menampilkan nama Lintang.

Aku menyerah. Otakku rasanya buntu. Benda itu tidak bereaksi sedikit pun. Kutaruh benda itu di meja kerja.

Tubuhku tersentak. Benda itu bergetar. Sebentar kemudian mati. Aku meraihnya secepat kilat. Nama Lintang tertera di sana.

Tidak lama kemudian ada pesan masuk.

“Tolong!!”

Aku terkesiap. Ada apa dengannya?

Sepersekian detik kupencet tanda panggilan video. Tidak lama kemudian terhubung, hatiku terlonjak.

Aku terpana. Terdiam beberapa saat. Siapa di seberang sana? Wajahnya kuyu.

“Suara-suara itu tidak menggangguku lagi,” ujarnya terbata “namun, aku memerlukannya, aku ingin bertemu dengan ibu”

Aku seolah terlempar keluar. Berlari menyongsong pintu rumahnya. Mengetuknya dengan keras. Semoga saja tidak ada yang terganggu.

Satu sosok memutar gagang pintu.

“Jangan masuk,” ujarnya parau. “Tetap di sana. Aku tidak ingin kamu menyentuhku sedikit pun,”

“Maksudmu?”

“Hentikan langkahmu. Kamu tahu? Dengung itu tidak pernah menggangguku beberapa malam terakhir. Mungkin waktuku sudah dekat serupa bunga-bunga dan daun-daun yang gugur dengan waktu dan takdirnya sendiri.”

“Jangan bercanda!” teriakku sedikit keras.

“Aku sedang tidak bercanda. Aku hanya ingin meminta tolong. Aku sudah mulai mengalami gejala susah bernapas. Tubuh dan sendiku rasanya sangat sakit. Sangat. Tolong, aku ingin bertemu ibu. Panggilkan ambulans. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun setelah ini. Aku hanya ingin pergi dengan cara serupa yang dimiliki oleh ibu.”

“Hentikan! Aku bilang jangan bercanda!”

“Tidak ada seorang pun yang bercanda.” Dia tersenyum. Wajahnya terlihat sangat lelah “aku baik-baik saja, tolong cintai bunga-bunga dan tanaman hias di depan rumahku. Mereka sekarang milikmu,”

“Apa maksudmu?” dengan gugup kupencet nomor di gawaiku. Mengapa lama sekali panggilan telponku diangkat?

Dia hanya tersenyum. Tidak mengertikah dia bahwa saat ini aku sangat merisaukannya.

“Anggrek ungu yang berbunga itu sangat cantik. Kamu pasti menyukainya. Aku lelah, mungkin ibu sudah bersiap menyambutku. Berhari-hari aku di sini, berjuang melawan rasa sakit ini. Aku tidak tahu kapan waktuku akan datang. Namun, bunga-bunga dan daun-daun yang jatuh selalu punya waktu dan takdirnya sendiri. Begitu pun mungkin dengan kematianku. Aku rindu ibu. Sangat merindukan ibu,”

“Jangan bercanda! Hey! Tolong jangan pernah bercanda! Kamu kuat! Sebentar lagi mereka akan datang!” pekikku tertahan.

“Jaga kesehatanmu!”

Dia melambaikan tangannya. Senyum kecil tertinggal di sudut bibirnya.

Aku gontai mendapati adegan itu. Tidak tahu harus berbuat apa. Airmata menyesak menghalangi pandangan. Kulangkahkan kaki ke teras rumahnya yang rimbun. Ada banyak daun-daun dari pohon mangga di depan rumahnya yang jatuh berserakan. Anggrek ungu yang tergantung di sudut teras, bunganya mengangguk terantuk-antuk dipermainkan angin malam. Tetangga macam apa aku ini? Bahkan aku tidak tahu bahwa dia sakit dan sangat memerlukan pertolongan.

Aku akan mencintai bunga-bunga dan daun-daun itu seperti aku mulai mencintainya.

Kupegang kepalaku. Suara dengung sirine ambulans berputar-putar hebat di sana. Argh! Sepersekian waktu, segalanya menjadi hampa ringan tak berjejak. Aku melayang tinggi. Ringan sekali. Jauh, jauh tak berpijak. Terlepas.

Besok, akan ada berita duka yang berjejalan di media sosial. Duka-duka itu, sesering ini, kini.

Bunga-bunga itu, daun-daun itu selalu punya waktu dan takdir sendiri untuk terlepas dan jatuh ke bumi.@

Kotabaru, September 2021

Facebook Comments