KEBENARAN atas peristiwa di masa lalu dan jalan pilih seluruh perjuangan para pejuang yang membangun dan memajukan Kalimantan dengan segenap daya dan upaya harus dinarasikan dengan menyeluruh, sebagai oleh-oleh bagi generasi masa yang akan datang.

Sehingga kelak di lintasan waktu, generasi penyambung estafet pembangunan Banjarbaru mengetahui secara gamblang sejarah masa lalu leluhur–muasal beserta cerita yang menjadi identitasnya. Kendati, penelusuran jejak-jejak heroik, kisah-kisah yang berserak dan belum dituliskan dari rentang jarak yang sedemikian jauh–ratusan, bahkan ribuan tahun memiliki tingkat kesukaran berlapis untuk menembus koleksi akurasi datanya.

Wabul Sawi (Wani Baidabul Sanggup Manggawi) Sampai Kaputing adalah spirit yang membuka tabir untuk lebih keras lagi meriset seluruh fase dan periode-periode kejadian di Ibu Kota Kalimantan beserta napak tilas yang mengikutinya. Sebab, rasa-rasanya masih banyak data yang abai dijemput untuk ditimang dan masih banyak informasi yang belum dikoleksi dalam analogi pencarian.

Bila ada pertanyaan ke mana sumber pencarian jejak masa lalu harus dituju? Jawaban itu secara khusus mesti diarahkan kepada Artum Artha.

Sebab tokoh pers Artum Arthalah yang intensif memperjuangkan pencarian data terkait gubernur-gebernur yang menjabat semenjak awal Pemerintah Provinsi Kalimantan hingga menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. Tak berlebihan bila ucapan terima kasih diberikan karena catatan-catatannya sangat membantu untuk mengenal lebih dekat para tokoh pembangun Kalimantan, terlebih sekarang jejak-jejak para tokoh masa lalu terasa sunyi di pencarian digital.

Banyak buku diterbitkan di era mutakhir namun tidak mendeskripsikan kesaksian peristiwa dengan terang dan dalam. Narasi dibangun sekadar lewat bak kulit yang nampak di permukaan saja, sangat dangkal informasi dituangkan. Tetapi, lewat buku Album Pembangunan Kalimantan yang ditulis Arthum Artha sangat benderang riwayat hidup tokoh-tokoh penting Kalimantan disuguhkan.

Dalam tulisan ini banyak bersumber dari tulisan Artum Artha dengan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan (bukan sekadar opini atau argumentasi). Semoga di alam sana, Allah SWT melapangkan kubur Arthum Artha karena amal jariahnya melapangkan pintu pengetahuan, mendedah disitorsi informasi yang pernah sesat di buku-buku terdahulu sebab data-data hanya dikemas berdasarkan pendapat lintas generasi ke bawah, bukan bersumber dari para penyaksi sejarah.

****

Muhammad Moerdjani Sang Gubernur Politik

Orang-orang hanya tahu sepenggal namanya sebagai Moerdjani, padahal nama lengkapnya adalah Muhammad Moerdjani yang dilahirkan di Tulungagung pada 17 Juli 1906. Dalam catatan karirnya, sebelum menjabat menggantikan Ir. P.M. Noor, ia adalah Gubernur Jawa Barat ketiga (1946) dan menjadi Gubernur Jawa Timur (1947-1949). Ia merupakan tokoh Parindra dan karib Ir. Soekarno.

Pada masa itu, sebagai Gubernur Kalimantan ia dan isteri tinggal di Banjarmasin dan mendiami kediaman Gubernur dr. H.J. Haga (tokoh Hindia Belanda yang lama memerintah di Kalimantan). Di pencarian digital dan referensi tidak ada yang meriwayatkan pendidikan yang ditempuh oleh Moerdjani. Namun dalam Album Pembangunan dan Buku Kalimantan (1963) ditemukan data bahwa mula-mula ia bersekolah di Euspesche Lagere School di Surabaya. Kemudian melanjutkan ke Meer Uit Lager Onderwijs (MULO) hingga ke Algemeene Middelbare School (AMS).

Selepas dari AMS, Moerdjani melanjutkan ke Fakultas Ilmu Kedokteran di School Tot Opleiding voor Indische Arts (STOVIA). Selama 6 tahun Moerdjani berkuliah di STOVIA yang waktu itu pendidikan kedokteran menggunakan bahasa pengantar Inggris, Jerman, Perancis, sehingga Moerdjani cukup fasih berbahasa asing.

Tahun 1932 ia telah menggondol ijazah sebagai dokter kesehatan dan kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum di Magelang. Jiwa sosial Moerdjani telah dipupuk sejak ia masih belia, ditambah pengalamannya selama 12 tahun sebagai dokter praktek umum, sejak saat itu ia tahu dan dekat dengan kaum rakyat yang menderita macam-macam penyakit. Sampai ia mengerti sebab musabab keadaan dan “kedunguan” kaumnya, daerah, dan bangsanya. Dari sinilah faham atau isme kebangsaan dimiliki oleh Moerdjani.

Dalam catatan di kancah perpolitikan, Moerdjani telah menjadi anggota Indonesia Muda (IM) tahun 1919 dan menjadi anggota partai politik.

Ia juga bergabung dengan organisasi Budi Utomo, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), lalu bersama-sama dokter Sutomo (Bung Tomo), dokter Wahidin, M.H Thamrin, Surajo Wiryopranoto bergabung dalam Partai Indonesia Raya (Parindra). Sebelum menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, ia pernah menjadi Bupati Indramayu dan sempat menjadi Residen dalam keresidenan Cirebon.

Moerdjani juga pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Parindra (Hoofd Bestuur) di Surabaya dan berjuang bersama-sama Bung Tomo pada 1939. Semestinya Moerdjani pada 1940 hadir di acara Kongres Parindra III di Gedung Bioskop Eldorado Pasar Lama Banjarmasin, namun karena menelan dana yang besar agenda besar itu dibubarkan, tidak dilaksanakan.

Hal ini terjadi dikarenakan Belanda telah dicaplok oleh Hitler dan Jerman Raya menguasai Negeri Belanda. Olehnya sebagai penguasa di Indonesia, melihat kongres yang akan dilaksanakan Parindra menjadikan pihak Belanda takut dan pemerintahnya memasuki fase kemelut.

Ir. Soekarno selalu menugasi Moerdjani untuk membereskan situasi-situasi pelik, keadaan gonjang-ganjing yang mengakibatkan ketidaktenteraman. Olehnya Moerdjani bagi kawan-kawan sejawatnya dikenal sebagai Gubernur Politik. Moerdjani telah banyak makan asam garam politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan di kancah politik kebangsaan Indonesia.

Sebelum menjadi Gubernur di Kalimantan, kebiasaan Moerdjani di Surabaya setelah pulang dari pekerjaan di kantor gubernuran ia membuka praktek dokter umum sebagai dokter masyarakat. Kepada rakyat yang tidak mampu berobat di Rumah Sakit Karang Minjangan dan poliklinik lain di Kota Surabaya, ia bukakan pintu lebar-lebar untuk berobat ke kliniknya dengan tidak memungut uang sepeserpun.

Moerdjani di Surabaya sampai awal tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian serius kepada Kalimantan yang masa-masa itu lowong pimpinan, Ir. P.M. Noor tidak bisa meneruskan pemerintahan di Pulau Kalimantan. Ir. Soekarno berpikir bahwa harus ada orang dari luar Kalimantan yang memimpin daerah itu. Kemudian ia mengangkat Muhammad Moerdjani untuk ditetapkan sebagai Gubernur Kalimantan.

Sang Gubernur Politik memimpin Kalimantan selama tiga tahun, 1950-1953 dengan tugas mandat yang diberikan oleh Presiden Ir. Soekarno yaitu mencari daerah sekaligus mempersiapkan wilayah Pemerintah RI di Kalimantan bilamana Jakarta dan Yogyakarta diserang Belanda.

Sebagai sahabat baik yang menjalin hubungan baik sejak tahun 1930-an, Moerdjani tahu tugas yang diberikan oleh sabahatnya tak lain untuk kemaslahatan Indonesia, demi masyarakat yang berdaulat. Sejak Parindra tenggelam, Soekarno dan Moerdjani sama-sama bergabung di Partai Nasional Indonesia (PNI). Sehingga ikatan batin dan budi baik untuk berjuang membangun Indonesia, terkhusus Kalimantan yang dimulai dari Banjarmasin, Samarinda, Pontianak, dan Dayak Besar (Kalimantan Tengah).

Selama di Kalimantan, Moerdjani mengadakan proyek Mentaran Polder bersama Ir. Schophuijs, mengadakan Moerdjani Plan membangun Daerah Gunung Apam Banjarbaru yang didesain DAW Van der Pijl dan pada proses pembangunannya banyak pihak yang terlibat karena panggilan nurani membangun ibu kota terkhusus seperti, RP. Soeparto dan para juragan-juragan batu di Cempaka.

Moerdjani juga menyiapkan pembangunan lapangan udara Sungai Durian Pontianak, dan menyiapkan Pemerintahan Republik Indonesia di Banjarbaru dan Puruk Cahu sebagai pengganti Jakarta dan Yogyakarta karena Ir. Soekarno saat itu masih was-was dengan situasi yang dibayangi serangan-serangan Belanda, walau Konferensi Meja Bundar di Den Haag sudah mengakui kedaulatan NKRI namun tetap saja kekhawatiran penyerangan yang tiba-tiba muncul di benaknya. Olehnya persiapan itu dilakukan sebagai antisipasi.

Ada tiga prinsip kerja yang dipegang oleh Moerdjani selama tiga tahun menjabat sebagai Gubernur Politik di Kalimantan;

  1. Pembangunan gedung-gedung pemerintah dan rumah-rumah kesejahteraaan pegawai negeri (Olehnya ia berpesan kepada desainer untuk membuat desain yang berdekatan antara pemukiman dan kantor).
  2. Penguasaan atas air yang mengandung benih penyakit malaria dan penyakit tanaman.
  3. Nilai pendidikan rakyat se-Kalimantan.

Sebelum dipindahtugaskan ke Kalimantan, Moerdjani bersama Bung Tomo di Surabaya, pada masa Parindra masih berjaya menerbitkan harian Tempo dan majalah bulanan yang bernama Soeara Parindra. Itulah penyebabnya saat di Banjarmasin, Moerdjani disegani kaum pers, para pewarta. Di kota berjuluk Kota Seribu Sungai itu, ia dikenal sebagai pembina pers nasional.

Moerdjani mempunyai seorang isteri yang bernama Sri Sumeni yang juga berprofesi sebagai dokter. Ia pernah menjabat sebagai Pimpinan Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin. Jelang pensiun, di lintasan usia Moerdjani yang tidak muda lagi, ia bersama keluarga kembali ke Surabaya, tepatnya beberapa tahun setelah Moerdjani tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kalimantan.

Pada 13 Mei 1956, Moerdjani wafat dan dimakamkan di Surabaya. Atas jasa baiknya membuat Moerdjani Plan Membangun Gunung Apam Banjarbaru, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan pemakaian namanya sebagai nama lapangan yang lokasinya persis berseberangan dengan Kantor Gubernuran Kalimantan (saat ini Balai Kota Pemerintah Kota Banjarbaru, red).@

 

 

*Tulisan ini dimuat di buku WABUL SAWI (Sejarah Ibu Kota yang Tersembunyi) yang ditulis Hudan Nur dan Haris Fadhillah. Anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam sejarah Kalimantan lewat buku tersebut bisa menghubungi narahubung (0821-5774-3289).