BELAKANGAN ini, kabut asap yang mengelambui Kalimantan dan Sumatera memang sudah keterlaluan. Jarak pandang waktu pagi teramat pendek, kadang sependek pikiran orang yang frustasi. Saluran napas kesat, kering, dan perih. Mata juga pedih. Dada jadinya sesak. Semakin terasa menyesakkan lagi ketika pertolongan yang diharapkan dari pengelola negeri ini tak cukup memadai. Sementara doa-doa sudah dipanjatkan, namun Tuhan rupanya belum berkenan menurunkan hujan. Entah ujian, atau semata kesialan.
Perkara kabut asap yang bisa dipastikan melanda bila kemarau begitu panjang mengeringkan rerumputan, pohon, semak, lahan, dan hutan, ini hanya semakin menunjukkan bahwa sejauh ini belum ada mekanisme pertahanan untuk mengantisipasi karhutla. Hanya bersifat pengobatan, bukan pencegahan. Terjadi kebakaran, siram. Kebakaran, siram. Tetapi cilakanya, dan kita percaya bahwa pemerintahan daerah telah berupaya sekuat tenaga mengantisipasi dan melakukan pencegahan dan pemadaman, namun api itu seperti telah berkomplot dan bersekutu dengan angin. Dipadam di sini, muncul di sana. Dipadamkan di sana, muncul entah di mana.
Api seakan tumbuh dari dalam tanah, merayap, menjalar, mengepulkan asap yang memenuhi udara tempat makhluk lemah bernama manusia bernapas untuk hidupnya.
Sementara, hujan belum juga turun…
Benarkah karhutla ini tidak ada solusi pencegahan, atau cara cepat mengatasinya? Sebab katanya, karhutla ini juga terjadi di Amerika dan Brazil, yang dianggap sebagai negara lebih maju. Dan apabila negara modern saja tidak berdaya menghadapi serangan semacam ini, apalagi negeri baru berkembang. Begitulah permaklumannya.
Tapi bukankah Presiden Jokowi, dalam suatu kesempatan waktu lalu, pernah mengatakan bahwa telah berhasil menekan atau mungkin meniadakan karhutla selama tiga tahun? Mungkin pembaca sempat melihat videonya itu. Jika benar, atau kita anggap saja benar, ada kerja yang keras sehingga karhutla waktu itu sukses diminimalisir, dan kabut asap tak semerebak seperti sekarang, lalu mengapa tahun ini tak dilakukan lagi? Atau sudah dilakukan, tapi kurang berhasil? Atau karena kali ini musim kemaraunya terlalu ekstrem? Atau karena kurang beruntung?
Kita ingat benar, foto Jokowi berjalan sendiri menunduk di tengah hamparan lahan dan pohon bekas terbakar yang menghitam dan coklat tanah, tampak begitu kontras dengan baju hem putihnya yang khas. Efek dari penampakan itu seakan menghantarkan gelombang optimisme; inilah sosok yang selama ini kita harapkan mengatasi persoalan pelik karhutla dan asap jerebu. Mungkin sekarang kita takkan melihat itu lagi. Barangkali bukan karena beliau tak mau, atau mungkin karena sesi pemotretan semacam itu sudah selesai, tetapi yang mungkin mengesalkan karena sudah didahului meme penampakan pocong putih (ya pastilah, mana ada pocong merah jambu misalnya) yang berseliweran di medsos.
Tak kalah keras sindirinnya, koran Radar Sampit menampilkan karikatur Jokowi di tengah kepungan kabut asap, namun maskernya bukan dikenakan di mulut, melainkan menutupi matanya. Sudah itu, ekpresi tubuhnya seolah mengatakan: “Mana kabut asap? Saya tak lihat, tuh…” Kalteng termasuk yang parah diserbu kabut asap.
Terlepas apapun, sindiran dan nyinyiran, atau persoalan lain yang tak kalah bikin pusingnya, negara atau pemerintah harus menunjukkan upaya keras mengatasi kabut asap ini. Ya, tak melulu mengharapkan Jokowi turun langsung ke lokasi sepertu dulu, cukup beliau sampaikan apa yang telah dan akan dilakukan untuk sesegeranya memadamkan titik api kabut asap yang menjadi derita anak negeri saat ini. Setidaknya itu akan memberikan harapan. Yang secepatnya kemudian ditunjukkan dengan kerja, kerja, kerja, di lapangan oleh segenap pemerintah di daerah—yang sekarang juga sebenarnya sudah bekerja keras. Juga gerak cepat untuk pencegahan dan pengobatan para korban ISPA, dan hal lainnya.
Bila semua itu sudah dilakukan, dan ternyata kabut asap tak juga lesap dari negeri ini, entah apa hendak dikata lagi. Namun bila ketika tulisan ini tayang kabut asap telah terusir setelah kerja keras, pertahankan, jangan sampai kecolongan diserbu lagi.
Sementara, hujan belum juga turun…@
ilustrasi: Radar Sampit, diolah ulang.