Kami bertiga menerima e-tiketing dalam pesan WA dengan jadwal keberangkatan yang berbeda. Saya berangkat pada tanggal 15, sedangkan Sandi Firly dan Gusti Setya atau yang akrab disapa netizen Mika pada tanggal 19. Sejak peristiwa itu, saya bergumam, pasti ada yang tidak beres dalam hal koordinasi dan komunikasi. Membayangkan betapa ruwetnya menggelar kegiatan bertajuk Pameran Besar Seni Rupa yang sebesar itu ada dalam kantong imajinasi sudut kepala bagian kiri. Ribet memang, dan tentu saja melibatkan banyak pihak. Dan juga kepentingan.
Dalam kepala, saya langsung membentang blueprint komunikasi tiga sisi, atau segitiga komunikasi antara pihak penyelenggara dalam hal ini Kemendikbud, pihak pelaksana (UPTD Taman Budaya Kaltim) dengan beberapa senimannya, dan kami para peserta (kolektif), yang sudah tentu dibarengi dengan ratusan peserta lain yang turut diterbangkan dari daerahnya masing-masing. Ok, fine. Pelajaran pertama, saya harus membuat komunikasi satu pintu, segala hal yang berhubungan dengan tim, saya yang urus. Cukup 1 orang saja. Jadilah saya yang paling aktif menghubungi pihak ticketing dan pemberkasan ke kemendikbud, serta teknis lapangan ke panitia.
Done, jadwal direvisi, dan sesuai jadwal yang diminta panitia, kami diterbangkan di hari yang sama bertiga satu pesawat, 16 September 15.50. Saya memang sengaja request kepada Mei, panitia dari Kemendikbud yang sedang di Jakarta agar penerbangan agak siang lantaran paginya masih berurusan dokumen-dokumen lain. Plus urusan lain yang berkaitan agar jangan dipisah, selalu bertiga, karena kami 1 tim.
Entah apa yang merasuki, (plis jangan auto nyanyi) kami selalu berurusan dengan pihak bandara di menit-menit terakhir. Sehari pasca berangkat, saya sudah wanti-wanti dua rekan yang tadi agar tidak terlalu banyak membawa barang menghindari biaya tambahan bagasi. Dan saya membawa koper, yang isinya sedikit sekali. Betapa senyum kecil yang malas muncul saat ditimbang, memang kurang 7 Kg, tapi malah gak ngeh kalau pesawat yang dipakai adalah Wings Air, dengan baling-baling tanpa penutup, ya pesawat kecil gitulah. Volume Koper saya dinilai terlalu besar di kabin pesawat, karena kali ini bukan boeing. Petugas maskapai tidak menaksir jumlah beratnya, melainkan volume barang, maka tidak ada pilihan. Saya terpaksa rogoh kocek agar koper tetap sampai ke tujuan. Pada tangga menuju gate 3 Bang Sandi berucap: “Kan kamu sendiri yang wanti-wanti kami jangan banyak bawa barang?”
“Gak banyak sih bang, tapi mana saya tau kalau kabin wings begini gak terima koper sekecil itu, kecil padahal tu,” saya melakukan pembelaan.
Kami tak ada waktu sekadar duduk menunggu karena memang sudah last call. Berlari-larilah kami menuju pesawat. Olahraga sore-sore. Kami masuk, duduk, terbang dengan pemandangan lahan terbakar di beberapa titik Kalsel. Lantas mendarat di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan pada 17.45.
***
“Bookingan atas nama Nanda, 3 orang,” ucap saya kepada petugas travel kanggoro di sudut pintu keluar Bandara. Tiket fisik diprint dan posisi duduk kami terpisah. Nomor 1 samping supir, nomor 9 dan 10 paling belakang. Saya memilih sendiri nomor 1 membiarkan diri berkomunikasi dengan driver, plus menjadi wadah keluh-kesahnya. Saya sudah mengantongi topik-topik yang segera menjadi bumbu-bumbu perjalanan. Ya, so pasti tak akan jauh dari bidang pekerjaan, pengalaman, perantauan, keluarga, serta yang paling privasi, rumah tangga.
Mini bus berangkat, dan sepanjang perjalanan dua rekan di bangku belakang mengirim foto dari sudut pandang mereka ke dalam grup wa yang saya bikin. Yang satu merasa beruntung dan yang satu lagi merasa dirugikan, harusnya mereka bertukar tempat. Dari berbelakangan dengan cewek cantik, sampai bersebalahan dengan perempuan bermini kits. Ah, saya tidak terlalu peduli. Sebab yang harus ditahan adalah, perjalanan darat 3 jam dalam AC tanpa smoking. Itu berat, sih cuy. Ditambah anugerah Tuhan yang diberikan kepada saya, sopir yang ternyata punya banyak sekali cerita. Naiisee lah.
Shuttle Awanglong. Poin pemberhentian. Kami tetap harus menggunakan transportasi lain untuk tiba di Taman Budaya Samarinda. Dan jaraknya, masih sekitar 11 Kilometer. Kami berjalan mencari tempat untuk sekadar makan malam dan mengisi daya hape. Sebuah warung nasi goreng dan teh panas menjadi peraduan sekitar pukul 9 malam. Saya menghubungi rekan seperjuangan era teater kampus sedang galak-galaknya, dan dia datang dengan tawanya yang khas. Adalah Dahoy. Dia juga telah membantu menghubungkan dengan travel sebelumnya.
Selesai itu semua, kami sempatkan berjalan menuju Taman Samarendah yang tak jauh dari warung tadi. Dari kami bertiga, yang paling gak asyik abang bilang: adalah saya. Karena harus menyeret koper, sedangkan dua rekan saya tadi dengan ransel masing-masing yang stylenya sudah mirip orang-orang backpacker. Keren, sih.
Selesai mengambil beberapa foto dan video, saya memesan grab menuju taman budaya dengan tarif lumayan. Ini adalah driver pertama yang lumayan. Lumayan ember. Dengan Black Brio kami menuju Taman Budaya. Seperti biasa, posisi kami tidak berubah, saya duduk di depan sebagai co-driver, dua rekan saya di baris belakang.
***
Driver Pertama
Sebut saja namanya Bondan Prakosa. Badannya tinggi, rambut pendek berkacamata. Jam Operasional dari sore pukul 5 sampai dini hari. Karena wajib jemput para ladies dari diskotek atau pub menuju hotel-hotel yang tersebar di kota besar ini, bagian utara calon ibu kota baru.
“Apalagi kalau malam Kamis, kan ladies free tuh, mas. Lumayan gacor lah. Kadang dikasih lebih juga. Wah, pokoknya, wangi kabin mobil,” ujarnya bercerita.
“Masa begitu, emang operasionalnya thm di sini sampai jam berapa?”
“Bervariatiflah, regulasi biasa pukul 3. Tapi kalo lagi rame ya dihajar aja sama yang punya pub sampai pukul 4.”
“Tapi sering dapat bonus juga, gak sih? kayak dikasih lebih dari customer gitu?” saya berasa jadi wartawan investigasi. Tapi si driver iye-iye aja sih. Riang gembira ditanya-tanya.
“Ya banyak lah. Apalagi kalau om-om. Biasasnya nih, mereka order, gak mesti sampai ke tujuan, mintanya carikan cewe yang cantik, yang penting mau antar ke hotel, dan kita dibayar gede tuh. Kan lumayan juga, gak melulu nunggu bonus,”
Bondan bercerita banyak sekali tentang kehidupan malam. Jam operasionalnya memang dia pilih malam sampai dini hari, karena siang-siang mesti bekerja di salah satu perusahaan swasta di Samarinda.
“Yah namanya rejeki ya gak kemana, yang penting usaha kita udah bener-bener maksimal,” ujarnya menghibur diri.
Kami tiba di mes Taman Budaya. Tempat pertama yang mesti kami malami. Setelah beberapa batang dan kopi dalam bentuk botol kami minum, barulah masuk dengan lusuh ke dalam mes. Ada dua ranjang bertingkat, Mika tidur di paling atas, kami di bawah, dan Mas Surya Darma, yang juga seorang kurator meletakan kasur di lantar, tidur di bagian bawah.
Ada beberapa seniman yang sedang mengobrol di meja luar, kami diajak bergabung setelah meletakkan beberapa barang ke dalam kamar. Mereka adalah kurator, ketua pelaksana, koordinator lapangan, dan beberapa seniman penting lainnya. Jadilah itu obrolan tengah malam, meski kami sudah sama-sama kelelahan.
Saya menelpon salah seorang kurator. Yang juga mengkoordinatori teknis di lapangan. Adalah Aidil Usman. Konsep jukung yang awalnya telah disetujui untuk di mural pada bagian ekskalator fix ditolak oleh Mall. Ya kita mikirnya gitu juga, sih, tapi mau lihat situasi belum kesampean ke lokasi.
Aidil bilang, masih akan bertemu dan berurusan dengan pihak manajemen mall. Persidangan a lot. Alhasil, kami belum tahu dan belum bisa membayangkan bagian mana yang mesti dikerjakan. Sementara menunggu, bermediasosial, dan setelah mengerjakan apa yang memang mesti dikerjakan.
Dan beberapa jam kemudian, kami saling mencari muka masing-masing, ternyata, memang sama-sama belum bisa tidur. Sebagian lagi masih kepikiran, dinding apa dan bagaimana caranya kita bisa mengerjakan dengan waktu yang terus berjalan, berputar, tik tik waktu berdetik.
Menghubungi koordinator sudah pasti mendapatkan jawaban yang sama, dan ini belum lagi 24 jam. “Kita tunggu saja besok pagi, sementara kita belum keputusan, istirahat dulu,” kata Bang Sandi membijaksanai.
Sementara itu, masing-masing sibuk dengan drawing pen dan kertas. Dan saya sibuk dengan Mario bros dan Tank 90 di game boy mini. Apa yang akan digambar pada dinding sedangkan konsep sebelumnya sudah pasti tidak seusuai dengan medianya. Sementara saya push rank juga, mereka di tempat masing-masing menggambar. Hingga terlelap, dan paginya, kami tak pernah menyangka apa yang bakal terjadi.
Bersambung… @