YA udah, pindah aja dulu…

Kira-kira gitulah (pasti bukan gitu) keputusan mengapa ibu kota negara akhirnya dipindah. Pilihannya wilayah Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian di Kabupaten Penajam Paser Baru. Soal bagaimana duit buat pindahan yang mencapai 466 triliun, bagaimana memobilisasi ASN di Jakarta boyongan ke ibu kota baru, bagaimana nasib kantor, bangunan, dan gedung yang ditinggalkan pegawainya, itu bisa dipikir sambil jalan. Lagi pula kan, pindahannya tidak langsung “besok”.

Di luar urusan ribet itu, termasuk juga keribetan bagaimana menyiapkan ibu kota negara baru, mulai dari soal lahan, pembangunan infrastruktur, menyiapkan SDM, dampak lingkungan, ekonomi, sosial dan budayanya, saya hanya ingin menulis soal remeh temeh saja. Untuk urusan yang bisa bikin otak berkeringat, ya biar Pak Presiden dan mereka yang berkepentingan saja yang memikirkan, termasuk orang-orang hebat dan pintar yang di Indonesia jumlahnya pastilah banyak.

Tidak perlu juga pemidahan ibu kota negara ini terlalu diprotes, dikritik– kecuali siap sedia dibilangin nyinyiran. Barangkali cukup awasi– ini juga sebenarnya kesannya sok gimana gitu, proses dan perjalananan pemindahannya. Apakah jalannya lurus saja, gak belok-belok, atau malah muter-muter gitu aja nantinya.

Sejauh pengamatan saya– ya tidak jauh-jauh amat juga sih, seputaran medsos saja, orang Kalimantan (lebih khusus orang Banjar di Kalimantan Selatan, khususnya lagi teman-teman saya)  cukup antusias dan hepi-hepi aja menyambut Kaltim sebagai ibu kota negara. Tidak ada yang protes. Sekalipun bukan Kalsel yang dipilih. Seperti contoh status di bawah ini:

Selamat untuk Kalimantan Timur, resmi dipilih sebagai lokasi baru pusat pemerintahan Indonesia. Waluh sudah mulai dijarang wal ai. Jangan sampai linyak… (FB Erwin D. Nugroho—urang asal Kalimantan Timur yang sudah lawas jadi anak Jakarta, sebenarnya sudah bapak-bapak sih…)

Selanjutnya Erwin D. Nugroho juga membuat status nangkaya ini:

Banyak yg betakun ke gue jarnya handak mencari lahan di parak lokasi ibukota hanyar. Apa salajur gue buka jasa pahayaman haja ini lah, gaes…

Atau, misalnya status FB Randu (pernah tinggal di Kaltim, tapi kemudian hijrah ke Banjarbaru, Kalsel, dan lebih terkenal sebagai seleb fesbuk ketimbang sebagai penyanyi, karena memang bukan penyanyi)

Akhirnya cita-cita onda handak malihat buhan Cinta Laura, Farah Quinn wan Hotman Sitompul barucauan bahasa banjar satumat lagi terkabul.

Lebih panjang, Randu membuat postingan berupa catatan bergaya anak ibu kota (mungkin kalian sudah baca juga ya?), begini sedikit cuplikannya:

Gua pernah tinggal di Kaltim. Pernah bekerja di Balikpapan, Kukar, samboja, dll. Kalau gue liat sih, Kaltim memang cocok. Gak tau deh. Kayaknya udah ngeblend banget dengan ibukota, ya orang-orangnya, ya gaya hidupnya, ya perekonomiannya…

Dan masih ada banyak lagi postingan status orang Kalimantan atau orang Banjar yang nada-nadanya “mencandai” pemindahan ibu kota negara ke pulau mereka. Padahal kan, ini perkara serius ya… Tidak gampang lho mikirnya, dan sudah berapa banyak duit yang dikeluarkan buat kajian-kajian, rapat-rapat, seminar-seminar, membahas soal ini.

Yang saya maksud soal remeh-temeh terkait berpindahnya ibu kota negara ini ke Kaltim, misalnya tadi soal berbahasa (eh, ini soal serius ya?). Berbahasa sehari-sehari. Secara, kan, orang Jakarte pakai “lu, gue” gitu. Nah, apakah nantinya orang Kalimantan, khususnya Kaltim, harus pakai bahasa gaya Jakarte juga? Soalnya, Kalimantan yang sukunya Dayak dan Banjar, biasanya berbahasa Banjar dalam lingkungan pergaulan. Walaupun di Kaltim sekarang cukup banyak suku Bugis dan Jawa. Kalsel yang bagaimanapun akan menjadi tetangga dekat ibu kota negara, tentu juga akan bisa terpengaruh meniru gaya bahasa ibu kota negara. Yeah, kalau ini gak mau dianggap soal remeh temeh, maka bisa masuk ranah diskusi soal ketahanan budaya, kearifan lokal, dan etnografi.

Juga soal status sosial. Sudah umum kan, biasanya kalau tinggal di ibu kota negara, ada kesan “wah”, lebih update, dan psikologi sosialnya rada-rada naik gitu. Maksud gue, eh saya, apakah mungkin akan terjadi perubahan psikologi sosial kepada orang-orang di ibu kota negara baru, terutama generasi milenialnya. Semisal, memandang yang datang dari luar itu sebagai “udik” atau “kampungan”. Ya, sebenarnya tidak berkonotasi negatif-negatif amat, tetapi tetap akan memberikan efek pada sikap, perilaku, atau attitude. Dan bukan tidak mungkin menggerus nilai-nilai traidisi tentang adab dan kesantunan yang selama ini mungkin masih hidup dan berkembang—hemm… kok jadi agak serius…

Hal lainnya yang penting gak penting, adalah soal artis. Serius. Keberadaan artis ini bagaimanapun penting gak penting, perlu juga dipikirkan. Begini, sering kan dengar kalau ada hiburan di acara hajatan ada yang bilang, “Itu artis ibu kota”. Dan itu maksudnya: artis Jakarta. Tidak peduli apakah si artis itu aslinya asal Bandung, Bogor, Tegal, atau Jember seperti Dewi Persik, termasuk Ian Kasela dari Banjarmasin. Sebab bila tinggal di ibu kota Jakarta, ya artis Jakarta.

Lalu?

Iya, boyong juga tuh beberapa artis Jakarta untuk pindah sementara ke ibu kota negara baru, Kaltim. Bagaimanapun keberadaan para artis inilah yang meramaikan ibu kota Jakarta (yang akan jadi mantan). Ya, mungkin beberapa artis dulu yang diboyong untuk meramaikan, semisal Luna Maya, Aura Kasih, Iqbal Dilan, Sule, Rhoma Irama, Kangen Band. Biarkan mereka menetap beberapa lama. Entah apa kek namanya; mau residensi (kayak penulis), pertukaran artis (kalau ini, berarti ada juga calon artis dari Kaltim yang magang dulu di Jakarta), atau muhibah, terserah. Yang penting intinya meramaikan ibu kota negara baru. Kenapa harus dibikin ramai? Bayangkan, bro, kalau ibu kota negara itu sepi sunyi (gak kayak kuburan juga sih), lalu apa asyiknya? Apa hebatnya? Ini memang di luar urusan bangun-membangun infrastruktur, atau SDM, ketahanan negara, lingkungan, dll. Tetapi, bayangkan (sekali lagi), bila tiap akhir pekan para ASN yang asalnya diboyong dari Jakarta mereka kembali ke sana buat cari hiburan? Kan bisa menangis ibu kota negara karena kesepian.

Dan agar lebih berasa benar-benar di ibu kota negara, maka harus ada….

Stasiun televisi! (Benar, seratus buat kamu. Dan juga rumah produksi sinetron, dan film). Ya, kawannya artis adalah televisi. Kalau gak mau boyong stasiun beserta kru dan hostnya dari Jakarta, maka Kaltim harus punya gedung stasiun televisi yang sekelas Jakarta. Ini memang urusannya para pebisnis media lah. Dan mereka pasti bangun. Karena ini bukan hanya soal hiburan artis saja, di ibu kota negara baru ini juga akan dibangun istana dan lembaga eksekutif (kementerian), lembaga legislatif (DPR, MPR, dan DPD), lembaga yudikatif (MA, MK, KY), lembaga keamanan (Mabes Polri dan angkatan bersenjata), Mabes TNI, Bank sentral, perwakilan negara atau kedutaan besar, information and communication technology (ICT), perguruan tinggi, dan lain-lain, yang kesemuanya adalah sumber-sumber pemberitaan.

Dan ingat, akan ada sekitar 1,5 juta penduduk baru (dihitung dari jumlah pegawai negeri dan keluarganya, yang juga akan dibangunkan perumahan) yang berdiam di ibu kota negara baru ini. Di sinilah penting gak pentingnya diperlukan pusat produksi hiburan, agar jangan sampai satu setengah juta penduduk baru itu merasa seperti tidak tinggal di ibu kota negara baru, tapi di “Kampung Baru”.

Demikian. Untuk tulisan soal remeh temeh dan penting gak penting, ini rasanya sudah kapanjangan. Jadi, cukup sekian.@