SAYA mengenal jazz sebagai musik yang menyenangkan ketika pada kali pertama seseorang mengenalkan saya pada Jamie Cullum. Begitulah, Jamie adalah musisi jazz asal London yang muda,  suaranya bagus, dan jazz-nya easy listening.

Jamie –mengambil istilah seorang guru Saya- mendekonstruksi jazz klasik, mencampurnya dengan warna musik lain seperti pop dan R&B sehingga lebih catchy di telinga manusia milenial yang jauh dari cerita suram tentang beratnya perburuhan Amerika Serikat abad 19. Orang-orang menyebutnya overcross jazz.

Musisi jazz model Jamie Cullum ya banyak. Dekonstruktor-dekonstruktor musik jazz selalu ada mengimbangi aliran jazz murni. Dia tidak luar biasa sekali, meskipun di antara yang banyak itu, dia yang mengantarkan saya pada jazz sebagai aliran musik yang mungkin untuk disukai. Setelah lama berkutat dengan Jamie, barulah pelan-pelan saya mulai belajar mendengarkan jazz yang lain, jazz yang konon lebih ‘berat’ ala Ella Fitzgerlad, Louis Amstrong, Duke Ellington, atau Buddy Rich (Saya pertama kenal Om Buddy di film Whiplash, tunjuk tangan penggemar J.K. Simmons) J

Pada tulisan santai nan singkat sederhana ini, saya akan membicarakan album terbaru Jamie Cullum yang rilis Juni lalu berjudul Taller. Sebelumnya, mari kita telusuri sejenak album-albumnya sebelum Taller. Sejauh ini, Jamie Cullum telah membuat delapan album solo. Album pertama tahun 1999 yang berjudul Heard It Before boleh dikatakan proklamasinya sebagai jazz yang mendekonstruksi jazz klasik. Dia menyanyikan ulang lagu-lagu lawas macam Caravan atau I’ve Got You Under My Skin dengan versinya yang overcross itu tadi.

Ia mulai menulis sendiri lagu-lagunya pada album kedua (2002) Pointless Nostalgic. Di album ini musiknya masih dinamis, warna jazz-nya tetap kuat, banyak bicara cinta dan sedikit persoalan hidup. Warna yang sama terdapat dalam album ketiganya tahun 2003, Twenty Something.

Perenungan hidup yang lebih mendalam mulai nampak di album keempatnya, Catching Tales yang rilis tahun 2005. Di album ini, menurut saya, Jamie banyak bicara tentang kondisi sosial London, tentang anak-anak yang kehilangan jati diri mereka, tentang kehidupan pria modern hari ini dan tuntutan-tuntutannya, bahkan tentang tuhan. Meski demikian, lagu-lagu deep thinking ini tak terasa lagi di album selanjutnya, the Pursuit yang rilis tahun 2009. Meski The Pursuit adalah album Jamie favorit saya. Tapi Saya kurang menemukan kekuatan perenungan dalam lirik-liriknya. Sementara dua album terakhir sebelum Taller, Momentum (2013) dan Interlude (2014) lebih merupakan proyek kolaborasi Jamie yang lebih mengedepankan teknis daripada kekuatan lagu –atau dalam kasus Saya, lirik.

Kegelisahan Jamie sebagai seorang manusia muncul kembali di album terbarunya Taller, dengan intensitas yang lebih kuat. Lirik lagunya banyak bicara tentang takdir yang dipertanyakan, luka, kemarahan, bahkan persoalan aktual macam Brexit. Di lagu Taller, misalnya, ia berharap bisa lebih tinggi –well, istri Jamie Cullum, Sophie Dahl adalah seorang model, dan Jamie memang lebih pendek dari istrinya. Agaknya publik Inggris cukup kentara melakukan body shaming terkait ukuran tubuhnya sehingga ia perlu menuliskan gugatan pada sebuah lagu. Dalam lagu itu ia seolah ingin menyampaikan bahwa hal itu bukan masalah dan kehidupan perkawinan mereka mulus-mulus saja. Dan itu benar, sejak menikah pada tahun 2010, kehidupan mereka bisa dikatakan stabil dan kemungkinan besar berbahagia.

Pada lagu The Age of Anxiety, ia banyak mempertanyakan eksistensi kemanusiaan era ini. Di era di mana eksistensi seseorang diakui dari banyaknya subscriber atau hal-hal lain yang mengantarkannya pada ketiadaan makna: I just wanna live inside sometimes/ don’t wanna have to beg you to subscribe/ are you a man before your father dies?/ “But, what’s a man these days?”/ I hear you cry/ and are we raising up our children, right?/ is my career gonna reignite?/see all the virtue signallers tonight/ I want that bandwagon to pass me by/ well, I’ve been scratching around in the dirt/ looking for meaning in the cold, cold earth/ to gather in what’s left of your self-worth. Di lagu ini, ia juga menunjukkan apatisme tentang dunia hari ini dengan mengajak menjadi ‘gila’ di tengah-tengah hiruk pikuk politik Gedung Putih dan Brexit.

Di lagu yang lain, Drink, Jamie menunjukkan rasa skeptisnya tentang kebenaran, kebahagiaan, bahwa segala sesuatunya abu-abu belaka.  Where we all live our lives in greys/ and the hems of your heroes are frayed/ don’t lose your memories prematurely. Beberapa lagu lain memiliki jenis kegelisahan yang sama: Life is Grey, Mankind. Jenis kegelisahan manusia di tengah hiruk pikuk dunia yang berlari terlalu cepat dan sebagian besarnya terasa meaningless.

Sayangnya, tawaran solusi dari Jamie dalam lagu-lagunya di album ini sama gamangnya dengan kegelisahan itu sendiri. Ia menawarkan cinta –yang tidak terlampau dalam itu-, dan keindahan musik. Simak lagu Monster atau For the Love. Cinta dan musik sebagai jalan keluar bagi sebagian orang mungkin cukup. Bagaimana dengan Anda?

Terlepas dari itu, saya toh masih menikmati Taller, so jazzy, so catchy, menyenangkan, kadang menghentak meski tak semengejutkan irama politik kita hari-hari ini.@

 

*)Kali ini mengaku-ngaku sebagai penggemar jazz