BEBERAPA tahun silam, saya membaca buku James Yee, seorang chaplain (pendamping spiritual) para narapidana di Guantanamo. Ia menulis buku itu bukan sebagai seorang chaplain, tapi sebagai tahanan karena dia muslim dan dicurigai atas sesuatu (saya lupa apa). Saya tidak akan menceritakan segenap penderitaan yang dialami James Yee, tapi ada satu bagian yang saya ingat dari buku itu. Kisah tentang anak-anak belia yang ditahan di sana dan mereka secara terpisah disuruh menonton film Cast Away secara berulang.

Tahu Cast Away, bukan? Itu lho, film masyhur Tom Hanks yang terombang ambing di pulau tak berpenghuni. Agaknya film ini mengawali jenis film hampir bisu serupa di Hollywood. Pertanyaannya, kenapa anak-anak itu disuruh menonton film semacam itu? Jawabannya sederhana, ada penderitaan psikologis tertentu yang ingin dicapai dari hal itu.

Ingat tak peristiwa penembakan massal di bioskop di Colorado tahun 2015? Pelaku penembakan, James Holmes, mengaku terinspirasi dari Joker -dan menjuluki dirinya sebagai Joker-, setelah menonton Batman, The Dark Knight Rises.

Belakangan sebagian manusia Indonesia ribut karena film Midsommar batal tayang di Indonesia karena tidak lulus sensor. Oleh beberapa kalangan, Midsommar memang jenis film gore yang dianggap kelewat sadis, jadi wajar kalau tidak lulus sensor. Saya membaca, bahkan para pemainnya mendapat perawatan mental dini agar kesehatannya mentalnya baik-baik saja saat menjalani syuting. Kesehatan mental penonton? Jangan tanya saya. 

Saya juga masih bisa mengingat, selama beberapa hari mental saya agak terganggu setelah menonton Inception-nya Nolan. Bukan karena Inception film gore yang sadis berdarah-darah atau film horor yang tidak bisa saya sukai itu. Inception adalah film cerdas khas Nolan yang rugi kalau belum ditonton. Tapi Inception pernah membawa saya pada semacam imajinasi dan rasa was was mengenai tertukarnya realitas dan mimpi. Pengaruh film itu bertahan sekitar satu dua hari setelah ditonton.

Well, sebegitu besarkah pengaruh psikologis film atas diri penonton? Agaknya begitulah qadarullah-nya. Cerita-cerita selalu menggerakkan jiwa manusia, cerita yang dituangkan dalam media tulis bisa tersimpan dalam ingatan pembaca hingga puluhan tahun setelahnya. Kita mungkin masih mengenang pertemuan pertama kita dengan Harry Potter yang kurus dan agak lusuh di novel pertamanya, atau masih merasakan perasaan bersalah Amir terhadap Hasan dalam Kite Runner. Jika bacaan tanpa visualisasi mampu memengaruhi jiwa kita dengan begitu kuat, apalah lagi film yang segenap visualisasinya mampu memerangkap ingatan kita dalam adegan demi adegannya.

Dahlan Iskan pernah bilang, apabila seseorang menonton film, dia akan terpengaruh. Lalu, siapa yang bisa menyalahkan Dahlan Iskan, apalagi jika Anda penggemarnya. Hehe… Menonton film tanpa menyadari bahwa apa yang ditonton akan memberikan pengaruh psikologis tertentu terhadap penontonnya mirip dengan penderita diabetes yang hobinya makan donat dengan toping coklat caramel plus choco chips tapi sok tidak ambil pusing kalau donat gula macam itu salah satu pantangan utama.

Film akan selalu memengaruhi jiwa kita, dan karena itu pula lah, film akan selalu diincar untuk menanamkan pemahaman tertentu kepada para penontonnya. Saya tidak akan menggunakan istilah propaganda karena terlalu vulgar, tapi film, sesederhana apapun, disadari atau tidak oleh pembuatnya, senantiasa menuntut pemahaman tertentu untuk diamini dan kalau bisa diikuti oleh penontonnya.

Kenapa misalnya orang Amerika cenderung memosisikan dirinya vis a vis terhadap orang Rusia, paling tidak dalam pandangan politiknya. Selain karena kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat kontra-Rusia, barangkali film-film Amerika bisa menjadi salah satu penyebabnya. Jika melihat film-film macam serial James Bond, Mission Impossible, atau bahkan, favorit saya, serial Jason Bourne, menjadikan orang-orang Rusia dan pecahannya sebagai pemeran antagonis seperti sebuah tradisi. Masih kuatnya Islamophobia di Amerika Serikat juga dibantu salah satunya dengan citra muslim yang buruk dalam film-film Hollywood. Ingat film macam Four Lion, atau salah satu episode di X-Files, atau yang terbaru, Hotel Mumbai.

Hollywood juga memiliki sejarah yang panjang dalam usahanya untuk memasukkan jenis film pro-queer ke dalam daftar produksinya. Sebelum Brokeback Mountain yang fenomenal itu (atau kalau dipikir-pikir sejak Boys Don’t Cry), tokoh-tokoh dengan penyimpangan seksual seringkali diposisikan sebagai tokoh tidak penting bahkan objek tertawaan. Ingat Mrs. Doubtfire? Kalau saya ingat. Setelah satu dua film memiliki keberanian menjadikan kisah cinta sesama jenis sebagai cerita utama, kecenderungan ini semakin lama semakin menguat. Puncaknya ya ketika Moonlight dapat Oscar tahun 2016 (yang dengan menyebalkan mengalahkan La La Land). Saya tidak merekomendasikan, tapi kalau mau melihat lelaki mencium lelaki secara gamblang dalam film Hollywood, tonton saja Moonlight.

Di sini kita menemukan kenyataan bahwa film adalah juga arena pertarungan ideologi, siapa yang memproduksinya, sedikit banyak akan memasukkan ideologi dan tafsirannya akan dunia di dalam film-film yang dibuatnya. Ia akan mengajak sesiapapun yang menonton filmnya untuk memahami dan menyetujui sudut pandangnya akan sesuatu.

Maka, menjawab pertanyaan dari judul di atas, apakah kita perlu takut pada sebuah film? Ya, kadang kita perlu merasa takut. Jika itu film yang mengajak kita membenci suatu kaum, maka kita sebagai manusia berperadaban mungkin akan takut menjadi tidak adil menilai mereka. Jika film itu mengajak kita memaklumi perilaku seksual menyimpang (dari apa yang agama kita ajarkan), kita mungkin perlu merasa takut bahwa kita akan mengamini dan membenarkan perbuatan itu, atau jika kita memiliki anak-anak yang sedang berada dalam pendidikan dan pengasuhan kita, kita takut mereka akan menjadi orang-orang dengan perilaku seperti itu. Bukankah itu rasa takut yang wajar? 

Maka sebelum menonton film, penting bagi kita menginternalisasi nilai, prinsip dan ideologi yang kita yakini. Persiapan macam itu seperti menggunakan baju zirah sebelum berperang, dengan demikian, film yang kita nonton takkan begitu saja menginfiltrasi kita, lalu membuat kita jatuh dalam taklukannya. Nah, orang dewasa cenderung lebih siap melakukan itu, ia memiliki seperempat atau separuh abad menanami jiwanya dengan keyakinan-keyakinan yang menjadi pijakan hidupnya.

Di sisi lain, anak-anak relatif lebih sulit. Itu sebabnya orang tua perlu ada untuk mendampingi sebelum terlebih dahulu memilihkan apa yang baik atau tidak baik mereka tonton. Referensi mereka adalah orang tua mereka. Oleh sebab itu orang tua harus menjadi referensi yang cerdas dan akurat karena eh karena, bahkan di film kartun, pasangan sejenis itu hari ini dimunculkan. Kita mungkin siap menerimanya –atau menolaknya. Lalu bagaimana dengan anak-anak kita?@

Facebook Comments