Bagaimana sungai dalam pandangan anak muda Banjarmasin generasi terkini?
MELALUI Program Dosen Wajib Mengabdi tahun 2023, Reja Fahlevi, dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mencoba mengetahui perspektif anak muda Banjarmasin terhadap sungai dengan tema “Sosialisasi Literasi Budaya Sungai Berbasis Kewarganegaraan Ekologis bagi Remaja di Kota Banjarmasin”.
Tema sungai ini notabene akrab dengan kehidupan warga Banjarmasin sehari-hari. Betapa tidak, kota ini telah dikenal dengan julukan “Kota Seribu Sungai”.
Bekerjasama dengan Kampung Buku (Kambuk), Reja mengajak para peserta kelas lukis yang diasuh pelukis Hajriansyah untuk melukis dengan tema sungai. Reja membiayai pengerjaan lukisan ini dengan menyiapkan peralatan lukis yakni kanvas, kuas, dan cat.
Sebanyak 17 lukisan dari para pelukis muda usia 17 hingga 25 tahun pun terkumpul dan dipamerkan di Kambuk, Minggu 9 Juli 2023, sekaligus diskusi.
“Sejak 2019 program pengabdian saya memang konsern terhadap sungai. Sebelumnya saya pernah melibatkan para guru, dan sekarang dengan anak muda, khususnya di bidang seni lukis,” ujar Reja yang juga adalah salah satu pengelola Kampung Buku.
Reja berharap, dengan kegiatan ini dapat mengetahui bagaimana sungai di mata para remaja, sekaligus juga menjadi wahana sosialisasi tentang sungai.


Melihat ke-17 karya yang ditampilkan, Reja mengaku agak terkejut karena begitu beragamnya gambaran sungai yang diwujudkan dalam lukisan oleh para remaja ini.
“Semula saya membayangkan mereka akan menggambar pasar terapung, orang memancing di sungai, atau kehidupan keseharian masyarakat di sungai. Tetapi justru ada banyak lukisan bergaya abstrak,” ujarnya.
Kendati demikian, Reja cukup puas dengan hasil karya remaja ini karena telah menampilkan imajinasi yang cukup mengejutkan terhadap sungai.
Benar, tak satupun karya lukis itu mengambil obyek Pasar Terapung. Hanya ada satu karya realis yang menangkap obyek sungai di Kota Banjarmasin di kawasan Alalak yang dilukis oleh Rila. Selebihnya, kebanyakan bernuansa abstrak dan surealis kontemporer.
Pada lukisan berjudul “Sungaiku Tak Lagi Indah” karya Hayyun, terlihat sosok siluet lelaki dengan latar liukan warna biru tua berpilin dengan warna coklat dan merah pekat. Keruh.
Nada kriris lainnya dilukis Arul dengan menampilkan perbandingan sungai di kota dan desa dalam bola mata.
Pada karya lainnya, khususnya pelukis perempuan, gambaran yang ditampilkan cukup manis dengan dominasi warna cerah pink, ungu, atau pastel. Obyeknya perempuan di bawah air terjun, wajah yang menyembul di sungai, juga sungai di balik jendela yang dilukis bergaya ilustratif.
Namun ada juga satu lukisan yang jauh dari penggambaran sungai. Sebiji kepala tengkorak putih teronggok dengan latar warna-warni acak bernuansa dekoratif. Andai sang pelukis, Nafi, tak memberi judul “Hantu Banyu”, niscaya takkan ada tafsir yang bisa menghubungkan lukisan itu dengan sungai.
Kita tahu, ” Hantu Banyu” adalah mitos yang cukup akrab dalam masyarakat Banjar.
Hantu Banyu sering digunakan orangtuaku untuk menakut-nakuti anak-anak yang mandi di sungai, terutama apabila terlalu lama “balumba” hingga menjelang senja atau maghrib.


Dalam diskusi itu hadir juga Sandi Firly sebagai pemateri tentang bagaimana mengapresiasi karya seni dalam bentuk tulisan.
Menurut wartawan seni budaya ini, di Kalsel tak cukup banyak penulis maupun wartawan yang menulis tentang seni rupa.
“Untuk penulis, mungkin hanya Hajriansyah, karena kebetulan dia seorang penulis sekaligus pelukis. Sementara wartawan, meski ada yang meliput tentang lukisan, namun kebanyakan hanya bersifat informatif,” ujarnya.
Sandi menyadari, bahwa menulis atau membuat liputan tentang kegiatan seni memang tak sama dengan berita umum lainnya.
“Seorang penulis atau wartawan mesti memiliki pengetahuan atau wawasan terhadap seni itu, sehingga ia mampu memberikan apresiasi di dalam tulisannya. Baik itu pujian maupun kritikan,” jelasnya.
Berbeda dengan berita umum lainnya, lanjut Sandi, dalam menulis kegiatan seni, seorang wartawan boleh berpendapat atau memberikan pandangan terhadap karya seni.” Di sinilah yang menjadi kendalanya, kemungkinan tak cukup banyak wartawan yang memiliki pemahaman terhadap seni,” ucap penulis cerpen dan novel ini.
Di akhir diskusi, Reja berharap pameran lukisan tentang sungai terkait dengan program pengabdiannya sebagai dosen, dapat menambah pemahaman literasi tentang sungai.
“Karya-karya lukis yang ditampilkan telah cukup mewakili, dari yang bernada kritis, realis, hingga abstrak seperti lukisan Hantu Banyu,” ucap pria berkacamata yang kerap diundang untuk berbicara tentang kewarganegaraan dan Pancasila ini.@
